Our Past Future Life(Chapter 4)

Author             : Inhi_Park

Main casts       : Kim Jongin a.k.a. Kai & Kim Hyora

Support casts   :Kim Hyorin, Eomma Kai, Chanyeol

Genre              : Romance, Sad

Length             : Multichapter

Rating             : PG-15

A.N                 : Ini lanjutan flashback dari chapter sebelumnya yaa… n_n

Summary         :

“No matter how dark your past is, the all I know is that you are my future”

(Hyora’s side)

Aku terduduk di salah satu kursi di ruang tunggu rumah sakit. Di sampingku Rin sedang duduk dengan sesekali menguap lalu mengucek matanya menahan kantuk.

“Hyo, masih belum ada kabar?” Tanya appa yang baru keluar dari ruang ICU.

“Belum Appa.” Jawabku singkat.

“Sebaiknya kau ajak Rin pulang dulu. Kasian dia sudah sangat mengantuk. Eomma dan Appa akan langsung ke rumah duka” Usul eomma melihat Rin yang sudah terlelap sambil menyandar di pundakku.

“Ne eomma. Nanti kabari aku lagi ya…”

<><><>

Setelah memastikan Rin tertidur di kamarnya, aku berjalan keluar meninggalkannya. Yang ku tuju bukan kamarku melainkan pintu keluar. Pikiranku benar-benar sangat tidak tenang sekarang.

Aku terduduk di kursi kayu di teras rumah. Berkali-kali mataku beralih ke jalanan saat terdengar suara kendaraan yang melintas, berharap itu adalah orang yang sangat ku tunggu kehadirannya saat ini.

Kai… kau dimana?

Jam yang melingkar di lengan kiriku sudah menunjukan jam 11 malam, tapi sama sekali belum ada tanda-tanda kepulangan Kai. Dan saat aku hampir menyerah, indra pendengaranku menangkap suara deruan motor yang perlahan di matikan di ujung jalan sana. Tidak lama setelah itu mataku menangkap sosok yang sangat ku tunggu-tunggu.

Kai mendorong motornya pelan memasuki pekarangan rumahku. Hal itu  ia lakukan dengan tujuan supaya orang tuanya tidak tahu kelakuannya yang seringkali pulang larut lalu memintaku berbohong dan mengatasnamakan tugas sekolah untuk dirinya.

Dia menghampiriku yang kini sudah berdiri tegak. “Ini sudah malam. Kenapa kau malah diam di luar?”

“Kau berkelahi lagi?” Tanyaku yang sebenarnya jawabannya sudah terpampang jelas di hadapanku. Wajahnya di penuhi luka lebam.

Kai tersenyum tipis. Tanganku bergerak mengusap sisa darah di sudut bibirnya lalu berpindah ke tulang pipinya yang juga berdarah.

Tanpa bisa ku kendalikan, setetes cairan bening menetes dari mataku. “Ikut aku yaa…”

“Kau kenapa? Kita mau kemana?”

Aku menghentikan sebuah taksi yang kebetulan melintas. Setelah mendorong Kai untuk masuk, aku segera menyusul kemudian menyebutkan alamat sebuah rumah duka di daerah Mapo.

“Untuk apa kita kesana?” Tanyanya.

Aku sungguh masih belum sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya. “Kau harus kuat Kai.”

“Katakan padaku sebenarnya ada apa?” Suaranya meninggi.Dia mencengkeram kuat kedua pundakku.

“Abeonim… Kai, abeonim…” Belum sempat ku jelaskan lebih jauh, Kai sudah mampu menangkap maksud kata-kataku.

Cengkeraman tangannya di pundakku melonggar. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran. Kepalanya tertunduk dalam.

Ku genggam erat tangannya yang tersimpan di atas pahanya. Aku tahu dia terluka. Meski ia tidak menangis, aku tahu hatinya sangat sakit sekarang. Walaupun setahuku Kai dan appanya tidak terlalu dekat, tapi aku paham bagaimana rasanya di tinggalkan orang yang kita sayangi. Pasti sakit.

Aku menggandeng lengan kiri Kai dan menuntunnya memasuki ruangan yang terlihat agak ramai dengan banyaknya orang yang keluar masuk. Mereka semua memakai pakaian serba hitam.

Dapat ku rasakan tubuh Kai gemetar saat kami sampai di ambang pintu. Dari sini kami bisa melihat Appaku sedang menyambut para pelayat yang datang sementara Eommaku terlihat sedang sibuk menenangkan eommonim yang tengah menangisi kepergian suaminya. Keluarga Kai tidak memiliki kerabat dekat di Seoul. Hampir semua keluarga dekat mereka berada di Daegu sehingga saat ini hanya keluargaku yang bisa menemani keluarga mereka.

Aku menatap Kai yang masih membeku di tempat. Ekspresi wajahnya sangat sulit ku gambarkan. Antara sedih, marah, takut, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Matanya menatap lurus kearah foto yang terpajang di atas sebuah peti kayu. Perlahan ku lepaskan pegangan tanganku di tangannya dan membiarkan dia mendekati peti appanya itu sendirian.

Air mataku tak bisa ku bendung lagi. Amat menyakitkan melihat Kai yang biasa terlihat kuat dan cenderung kasar di mataku menjadi Kai yang rapuh seperti saat ini.

Kai berjalan menghampiri peti tempat jasad appanya tertidur untuk selamanya. Kepalanya masih tertunduk dalam. Ia menjatuhkan badannya. Sekarang ia sedang berlutut di dengan kedua lengannya tertumpu di lantai.

Tak sanggup membiarkan Kai jatuh dalam kesedihannya sendiri, aku berjalan menghampirinya lalu memeluknya dari samping. Ku raih kepalanya dan mendekapnya. Dan saat itulah aku merasa tubuh dalam dekapanku itu bergetar hebat. Kai menangis. Air mata pertama yang ia keluarkan mendarat sempurna di lantai kayu ini.

Aku semakin mempererat dekapanku saat tangisnya semakin keras. Ia mencengkeram kuat lengan kiriku yang semakin basah karena air matanya. Kai terus menangis, meluapkan emosinya. Ia pasti merasa sangat bersalah. Bagaimana tidak, di saat appanya meregang nyawa di rumah sakit karena serangan jantung yang menyerang tiba-tiba, Kai malah sedang berada di lintasan balapan liar. Memacu motornya secepat mungkin karena saat itu, itulah yang menyenangkan baginya. Dan saat appanya menghembuskan nafas terakhir, Kai sedang di tengah pertarungan dengan rival berkelahinya.

Di belakangku, isakan yang semakin keras juga terdengar dari wanita paruh baya yang sedang di peluk oleh eommaku. Eommonim, lukanya pasti semakin dalam saat melihat betapa rapuh putranya kini.

<><><>

Beberapa hari setelah kejadian itu, aku tidak tidak pernah melihat Kai di sekolah maupun di rumah. Ia menghilang. Karena penasaran aku coba cari tahu dan bertanya pada eommonim.

“Yeobuseo…” Pekikku setelah mengetuk pintu rumah Kai sesopan mungkin.

“Yeobuseo… Eh, Hyo. Ayo masuk.” Aku melihat eommonim membuka pintu. Raut kesedihan masih terpampang jelas di wajahnya.

Setelah menyuguhkan segelas teh, ia mengambil tempat di sampingku. “Kau tidak ikut pelajaran tambahan, Hyo?” Tanyanya.

“Ne?” Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang beliau tanyakan barusan Pelajaran tambahan?

“Kai bilang kalau di sekolah di adakan kelas tambahan bagi yang berminat. Dia bilang dia mengikutinya, makanya setiap hari dia selalu pulang malam.” Tutur eommonim.

Ternyata eommonim tidak tahu kalau putranya itu sudah tidak masuk sekolah selama beberapa hari ini. “Ah, ne eommonim. Aku tidak ikut.”Dustaku. Kau kemana Kai…?

<><><>

Aku sedang menonton TV berdua dengan Rin saat kembali teringat apa yang baru saja menimpa keluarga Kai.

“Rin, eonni kasihan sama eommonim. Setiap hari Kai pulang malam, eommonim pasti kesepian di rumah.” Kataku membuka pembicaraan.

“Iya eon, Rin juga kasihan.” Timpal gadis itu sambil terus melahap camilannya. “Bagaimana kalau kita main ke rumah Kai oppa sekarang? Kita temani eommonim sampai oppa pulang. Sekalian kita hibur. Eommonim kan pasti masih sedih.” Ia beranjak dari duduknya saat mengungkapkan idenya barusan.

Aku tersenyum. “Ide bagus. Kajja.”

Kami memutuskan untuk main ke rumah sebelah dan menemani eommonim yang pasti masih berduka. Setelah menyiapkan beberapa persiapan, maka pergilah kami kesana.

“Yeobuseo… Eommonim…” Sapaku dan Rin berbarengan

“Ne, yeobuseo… Ah, kalian ternyata. Ada apa?”

“Ini eommonim, tadi kami melihat acara memasak di TV, chefnya memasak samgyetang yang sepertinya sangat enak. Aku minta eonni membuatkan untukku, tapi eonni kan Cuma bisa membuat nasi goreng dan omelet saja.” Jelas Rin.

“Jadi aku mau minta tolong eommonim membantuku membuatnya…” Kataku sambil mengangkat sebuah kantong plastik besar berisi bahan makanan.

Wanita paruh baya itu tersenyum. “Baiklah, ayo masuk…”

Aku ber-high five dengan Rin karenarencana kami berhasil. Ya, Rin mengusulkan untuk membuat eommonim melakukan suatu kegiatan yang menyenangkan agar bisa sedikit melupakan kesedihannya. Dan tebakan kami, memasak adalah salah satu caranya.

Kami bertiga mulai sibuk di dapur. Selain membuat samgyetang, kami juga berencana membuat ddokboki, sundubu jjigae, japchae dan dubu kimchi. Aku dan Rin berusaha membut suasana di dapur seceria mungkin. Beberapa kali kami mencoba membuat lelucon dan berhasil membuat eommonim tertawa. Senang rasanya melihatnya bisa terlihat cerah seperti ini lagi.

Disela-sela kegiatan memasak, aku mencuri kesempatan berlari ke kamar kecil untuk mencari tahu keberadaan Kai. Setelah berada di dalam, aku mengeluarkan benda kotak tipis dari saku celana jeansku. Setelah menemukan nomor kontak orang yang ku maksud, segera ku tekan tombol warna hijau lalu menempelkan ponselku di telinga kanan.

Beberapa saat hanya terdengar nada tunggu monoton yang terdengar. Tapi tak lama kemudian…

“Yeobuseo?” Suara berat terdengar dari ujung sana.

“Yeobuseo. Chanyeol-ah?”

“Ah ne, Hyo. Kau pasti mau menanyakan kai.”

“Ye. Dia bersamamu?”

“Tenang saja, dia ada di rumahku.”

“Bisa tolong bujuk dia untuk pulang sekarang?”

“Emh… aku tidak yakin Hyo.”

“Ku mohon.”

“Akan ku coba.”

“Ne, gomawo.”

Setelah memutus sambungan aku segera keluar dan kembali ke dapur.

<><><>

Jam di ruang tamu sudah menunjukan pukul 7 dan masakan kami sudah hampir selesai. Tapi Kai masih belum pulang. Aku benar-benar khawatir sekarang. Takut namja babo itu tidak pulang dan membuat eommonim tambah sedih.

Tapi kekhawatiranku tidak terbukti. Kai membuka pintu depan yang langsung kami sambut dengan senyum. Ia hanya membalas dengan senyum tipis dan langsung naik ke kamarnya. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Bisa kulihat raut kekecewaan tergambar jelas di wajah eommonim.

“Aku akan melihatnya ke atas sebentar.” Kataku sambil beranjak menyusuri tangga.

Ku ketuk pintu berwarna cokelat mengkilap itu perlahan. Dan tanpa menunggu ijin dari sang empunya, ku buka pintu tersebut.

Ruangannya gelap, tapi dari sinar temaram yang menyelinap dari jendela yang belum ditutup aku bisa melihat tubuh Kai terbaring di atas tempat tidurnya.

“Kai…”

Ia tak menjawab. Aku berjalan menghampirinya lalu mengambil tempat di sisi tempat tidur. “Kai…” kataku lagi. Dia masih tidak menjawab.

“Aku tahu kamu sedih, kamu merasa bersalah dan  bahkan marah pada dirimu sendiri. Aku tahu itu. Tapi ini tidak benar Kai. Yang kau lakukan sekarang hanya berlari menjauhi kenyataan, sedangkan kenyataan itu akan terus mengejarmu sejauh dan secepat apapun kau menghindarinya.”

“Kau tidak boleh begini. Kau tidak boleh menyiksa dirimu sendiri, terlebih kau tidak boleh menyiksa eommamu. Kau tidak lihat kesedihan di wajahnya saat kau menghindarinya seperti tadi. Aku tahu kau sedih, tapi dia juga. Bahkan mungkin kesedihannya lebih dalam daripada kamu Kai. Jangan buat dia tambah sedih.”

Aku menarik nafas dalam sebelum akhirnya beranjak dari tempatku. Namun belum sempat aku berdiri sempurna, sesuatu menahanku. Kai menggenggam pergelangan tangan kiriku.

“Aku harus bagaimana, Hyo?” Katanya pelan. Suaranya terdengar lemah.

Aku kembali duduk di tempatku semula. “Kau masih bisa berubah Kai.” Jawabku singkat.

Ia bangkit dari tidurnya dan menatapku lekat. “Apa kau mau membantuku untuk berubah?” tanyanya.

“Emh… Tentu.” Anggukku.

Ia tersenyum.

“Cepat ganti baju lalu turun. Aku tunggu di meja makan ya.” Kataku sambil meninggalkannya sendiri.

Aku, Rin dan eommonim sudah duduk manis di meja makan. Di hadapan kami tersaji berbagai masakan hasil karya kami bertiga.

Mataku langsung menatap tangga saat terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup lagi dari lantai atas. Senyumku terkembang saat namja yang sangat ku kenal itu menuruni anak tangga satu per satu. Ia melangkah ke arah kami.

Tapi yang membuat senyumku semakin lebar adalah ketika Kai sampai di meja makan, yang pertama di lakukan olehnya adalah memeluk eommanya dari belakang, Ia mengalungkan lengannya di leher sang ibu yang sukses membuat eommonim kaget.

“Eomma… mianhae…” meski pelan, aku masih bisa mendengar dengan jelas apa yang dibisikkan Kai pada eommanya.

“Jangan bilang begitu. Tidak ada yang salah.” Kata eommonim dengan senyum keibuan yang penuh kasih sayang terukir indah di bibirnya.

Setelah itu Kai mengambil kursi di sampingku. Aku tersenyum bangga padanya.

<><><>

Acara makan malam selesai. Kami makan dengan ceria. Sesekali aku dan Rin kembali membuat lelucon dengan harapan bisa terus membuat mereka ceria.

“Eomma, aku antar mereka pulang dulu ya?” Kata Kai saat kami berada di teras depan pasca acara makan malam yang cukup menyenangkan.

“Tidak usah, kau tidak lupa kan kalau kami ini tetangga samping rumahmu?” Ujarku.

“Tidak apa-apa, Hyo. Kau antar mereka ya.”

Kai mengantar aku dan Rin sampai di depan pintu masuk.

“Rin, katanya ada PR yang harus di kerjakan. Cepat masuk sana.” Kataku.

“Ah eonni. Bilang saja kalau tidak mau ada yang ganggu… mehhrong~” Bocah itu langsung melesat ke dalam sebelum aku sempat mencubit pipi atau menjitak kepalanya.

“Ish… dasar anak nakal.” Rutukku.

Sekarang hanya tinggal kami berdua. Aku dan Kai berdiri berhadapan.

“Gomawo…” Ucapnya pelan.

“Tidak perlu berterimakasih segala. Aku senang bisa berkumpul dengan keluargamu.”

“Maksudku… gomawo, kau sudah mau membantuku untuk berubah.”

Jantungku tiba-tiba berdetak puluhan kali lebih cepat dari biasanya saat matanya menatap lurus kedalam mataku. Senyum tipis namun tulus terukir jelas di bibirnya membuatku membeku seketika.

“Ah, itu… emh… ne…” Aku menjawab dengan terputus-putus karena rasanya melihat kedalam matanya seperti ini membuatku lupa caranya bernafas. Aku sesak nafas sekarang.

Kai tersenyum sepintas lalu mengusap puncak kepalaku dengan lembut. “Selamat malam…” Katanya lalu pergi.

(Flashback ends)

Aku mengingat jelas bagaimana kerasnya usaha Kai untuk bisa berubah. Setelah kejadian itu, Kai tidak pernah lagi ikut balapan liar apalagi berkelahi. Ia benar-benar menjauhi yang namanya balapan. Ia memutuskan komunikasi dengan teman-temannya di komunitas balapnya(?), ia bahkan berhenti mengendarai motor karena takut tidak bisa mengendalikan diri dan malah kebut-kebutan di jalanan.

Tapi, kini semua masa lalu kelamnya itu kembali. Dan rasa takut menjalari perasannku. Aku takut Kai kembali terseret ke kehidupan kelamnya dulu.

<>끝<>

Author’s talk:

Udah chapter 4 nih… pasti udah pada bisa nebak dong konfliknya sebelah mana??? Hehehe

Makasih buat reader yang masih mau nunggu kelanjutan cerita ini. semoga chapter selanjutanya tidak mengecewakan ya…

Seperti biasa, author nunggu banget nih kritik dan saran nya.. jadi jangan lupa comment yaa…

Makasih… n_n

52 pemikiran pada “Our Past Future Life(Chapter 4)

  1. Authorr pabo!!! Aish.. fiuh.. ternyata chapter kalini khusus falshback yak..
    Hmm… Suka adegan Kai nangis trus dipeluk dari samping sma Hyo.. huhuhu.. bkin terharu~

    • Mwoya igae? Author pabo?? Pabo sebelah mana’y chingu??? mohon di jelaskan… 😥
      Iya, inilah alesannya kenapa chapter kemaren pendek. karena sebenernya chapter 3 dan 4 itu rencana’y jadi 1 chapter aja, tapi ternyata kepanjangan… makanya author potong…
      So sweet bgt lah mereka… author beneran ngefans sm KaiHyo couple ini… kkk~
      Btw makasih banyak yaa udah bersedia mampir lagi… n_n

  2. authorrrrr…
    naksir sama FF ini *padahal langsung yang chap 4*
    lanjutannya jgn lama-lama *aegyo ala tao*

Tinggalkan Balasan ke bridgitta Batalkan balasan