I’d Lie

 

 

Title : I’d Lie

 

Author : Aello

 

Main Cast :      Park Chanyeol (EXO-K)

 

Song Aerim (OC)

 

Support Cast : ‘Someone’ (EXO)

 

Length : Oneshoot

 

Genre :  Romance

 

Rating : Teen

 

 

 

Disclaimer : Plot is based on my own idea but I don’t own Chanyeol. Do not copy, do not plagiarize, do not post somewhere else without my permission. Please, respect me as an author 🙂

 

 

Jalan raya Seoul terlihat begitu renggang. Sinar dari lampu-lampu jalanlah yang bersatu dengan pekatnya malam. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh para pengendara untuk menambah kecepatan laju kendaraannya hanya untuk mengejar waktu. Tapi hal itu sama sekali tidak berlaku pada pengemudi mobil Kia Kadenza hitam yang menyapu jalan dengan kecepatan rendah malam itu. Dan hal ini membuat seorang gadis didalamnya memberengut kesal.

 

Aerim mengerucutkan bibirnya. Dia memalingkan muka pada jalanan. Menatap sekelilingnya dengan diam. Sudah cukup bodoh baginya untuk menerima posisi  yang membuatnya bosan setengah mati dan membuang-buang waktu seperti sekarang. Aerim merasa lebih bodoh lagi ketika mengingat ini semua hanyalah seperti peran dalam suatu drama. Drama yang dimainkannya kepada lelaki disebelahnya. Lelaki yang sedari tadi sibuk bercerita tentang bagaimana dirinya hari ini. Lelaki yang terlalu buta untuk menyadari tidak ada cinta yang Aerim balas padanya. Lelaki yang terlalu peka untuk tahu bahwa hati Aerim ditutup rapat-rapat hanya untuknya.

 

Aerim melirik jam yang dipakai di pergelangan tangan kanannya. 23.30. Dia berdecak pelan, sekarang sudah terlalu larut. Sesaat dirinya merutuki kembali lelaki disebelahnya. Aerim berani bertaruh bahwa mobil inilah satu-satunya mobil yang berjalan seperti siput. Bahkan kalau dirinya tidak salah lihat, ada seorang ahjumma  memperhatikan mobil ini ketika mobilnya memotong jalan. Aerim yakin ahjumma itu sekarang sedang berbangga hati karena bisa mengalahkan laju mobil yang dikendarai seorang lelaki muda disebelahnya ini.

 

“… seperti itu!” Aerim terlonjak hebat saat mendengar lelaki di sebelahnya menekankan kata-kata terakhirnya. Apa dia tahu sedari tadi Aerim tidak memperhatikannya?

 

“Chanyeol-ah, ada apa denganmu?” Aerim mengalihkan pandangannya dari jalanan pada lelaki bernama Chanyeol itu.

 

Lelaki membalas pandangan Aerim, matanya melebar. “Sudah berapa kali kau tidak mendengarku saat berbicara?” Chanyeol kembali menyusuri jalanan dihadapannya, lalu melanjutkan, “Lagi, lagi dan lagi.”

 

Sedetik Aerim menyadari manik mata lelaki itu berwarna cokelat. Babo, sudah dua bulan mereka bersama. Kenapa baru menyadarinya? Sejurus kemudian dia mengambil kesimpulan bahwa satu bulan terlalu cepat untuk saling mengenal. Atau mungkin dirinya yang terlalu malas untuk mengenal.

 

“Mianhae, aku kekenyangan. Sepertinya itu yang membuatku agak mengantuk,” dirinya berdusta. Aerim mengambil nafas berat seraya mengelus perutnya. Kembali bersandiwara seakan-akan perutnya ingin meledak karena terlalu banyak makan.

 

“Aigoo, sekarang kau sudah seperti ibu-ibu hamil,” ledek Chanyeol kemudian tertawa. Berusaha menjauhkan suasana canggung yang sering tercipta diantara keduanya. Seperti sekarang ini.

 

Tetapi Aerim hanya membalas dengan sebuah senyuman. Jika dia benar-benar jatuh hati pada Chanyeol, mungkin dia akan melakukan apa yang akan gadis lain lakukan ketika kekasihnya mengejek untuk membuat lelucon. Memukul kekasihnya seraya tertawa atau sekedar berteriak ‘Ya!’ dengan malu-malu. Aerim tidak pernah melakukannya. Bahkan seorang Chanyeol yang notabennya salah satu lelaki humoris di kampus harus bersabar karena leluconnya dianggap angin lalu oleh Aerim. Yang jelas, Chanyeol sudah terbiasa dengan ini semua.

 

Mobil kembali sunyi. Hanya terdengar radio yang memutar lagu Baby Steps milik TaeTiSeo. Aerim diam karena tertarik dengan lagu ini. Jika dirinya adalah Chanyeol, mungkin lagu ini cocok untuknya. Aerim mengaku dirinya memang terlalu jahat. Dirinya memang terlalu naif. Dirinya memang tidak pantas untuk Chanyeol. Dirinya terlalu busuk untuk memanfaatkan cinta seseorang. Dirinya bahkan bersikap masa bodoh ketika Baekhyun, sahabat Chanyeol, mengadu kepadanya jika Chanyeol terlalu ribut karena setiap hari selalu membicarakan dirinya, bagaimana dirinya, dan apa yang dilakukan keduanya setelah bertemu. Lihat sekarang, apa yang Aerim balas pada Chanyeol sekarang hanyalah cinta yang bertepuk sebalah tangan.

 

My scrunched up feelings keep seeping out

 

I try to hide and cover it but it all comes out

 

As I see you, who I can’t touch

 

Bukan Aerim yang menginginkan hubungan ini ada. Bukan Aerim juga yang mau meneruskannya walau hubungan ini terus-menerus terasa hambar. Tapi Aerim-lah yang membuka kesempatan Chanyeol untuk mencoba segalanya. Termasuk membuat Aerim bisa melihat padanya.

 

Somehow the more I’m afraid that

 

you’ll get farther away

 

Sesaat Aerim masih terhanyut pada lagu tersebut. Tanpa sadar kepalanya sudah mengikuti irama, bahkan dia sudah memain-mainkan kakinya untuk menahan agar tidak ada suara yang keluar dari mulutnya.

 

It’s so hard to read your eyes
All day I’m cautious around you

 

Aerim tahu betul bahwa mendengarkan lagu ini justru membuat luka di hati Chanyeol semakin melebar. Dirinya benar-benar egois. Terlalu sombong walau hanya sekedar mengintip apa yang terjadi.

 

I wait for the day that I will touch your heart
For the day you will hold me in your embrace
I need you hey

 

Hati-hati Aerim melirik Chanyeol di tengah kesunyian dalam mobil itu. Mungkinkah dia menyadari lagu ini? Lelaki itu hanya diam. Aerim bahkan bisa kembali melihat dengan jelas seperti apa Chanyeol. Matanya–seperti yang dia katakan sebelumnya–berwarna cokelat, senada dengan warna rambutnya. Wajah tampan dan tubuh yang tinggi bisa membuat gadis-gadis disekeliling keduanya selalu menatap tajam pada Aerim.

 

Chanyeol menghembuskan nafas berat. Apakah dia terganggu dengan lagu ini? Merasa tidak tega, Aerim memutuskan untuk mematikan radio saat itu juga. Tangannya sedang mencari tombol Off, ketika suara Chanyeol terdengar di sampingnya. “Jangan,” suaranya terdengar lirih.

 

“Chanyeol-ah…”

 

“Sudah kubilang jangan!”

 

Baru kali ini Chanyeol berteriak kepadanya. Dan baru kali ini juga dia benar-benar gelisah ketika berada di dekat lelaki itu. Aerim memberhentikan gerakan tangannya. Kemudian menyandarkan tubuhnya pada jendela. Kembali membentang jarak yang jauh di antara keduanya. Sementara Chanyeol tidak menghiraukan tanda-tanda kekesalan Aerim.

 

Aerim lega saat lagu itu tidak terdengar. Sementara DJ kembali menyebutkan deretan nomor telepon kalau ada yang ingin me-request sebuah lagu. Jika dirinya tidak bersama Chanyeol sekarang, Aerim akan mencoba menelepon, mengumpat pada sang DJ karena memutar lagu kelewat galau dan bersumpah akan me-request lagu perjuangan untuk menghindari semua lagu tentang cinta. Dia benar-benar sungguh muak.

 

Yeoboseyo?” Suara DJ yang ingin Aerim umpat terdengar. Rupanya sudah ada yang menelepon. Gadis itu memasang pendengarannya baik-baik. Merasa memang tak ada yang harus dia dengar di dalam sini selain suara radio. Dan tanpa Aerim sadari, dibalik kemudi, Chanyeol juga mendekatkan telinganya pada radio.

 

Yeoboseyo…”jawab seseorang di ujung sana. Tapi, rasanya tidak asing mendengar suara orang ini. Aerim mulai mencocokan suara ini dengan suara teman-temannya, tidak ada yang sama. Masih bingung, Aerim memilih untuk meneruskan mendengar apa selanjutnya.

 

Waaaa.. akhirnya ada penelepon juga. Bisa aku tahu siapa namamu?” tanya DJ sedikit berseru. Aerim memperdekat jaraknya dengan radio.

 

Errr… Bolehkah aku memakai nama samaran?” Aerim mengumpat pada orang itu didalam hati. Tak bisakah harus berpura-pura? Yah, walaupun dia sudah tahu bahwa penelepon ini adalah laki-laki. Tapi siapa ya?

 

Tentu saja boleh, bung.” Dan sekarang Aerim semakin kesal.  “Kami juga mementingkan privasi penelepon kami. Tapi kenapa?

 

Sedetik Aerim ingin sekali terbahak mengejek sang DJ. Dia bilang memetingkan privasi? Bertanya alasan penelepon untuk menutupi identitasnya bukankah itulah yang namanya banyak tanya? Atau lebih jelasnya, DJ itu lupa kata-katanya mengenai privasi tadi.

 

Aku hanya tak ingin menyebutkan namaku, itu saja.” Aerim kali ini yakin sang-penelepon-yang-namanya-tak-ingin-disebut ini juga berpikiran sama dengannya.

 

Oh, baiklah kalau kau maunya begitu. Ehm, tapi aku harus memanggilmu apa?

 

Light.

 

Aerim melongo, begitu juga dengan Chanyeol yang sedari tadi diam. Light? Aerim tadi berpikir, mungkin orang itu akan menyebutkan nama samaran seperti julukan atau apa. Apa ini sebuah julukan? Seperti Chanyeol yang diberi julukan Happy Virus oleh teman-temannya. Dia tidak bisa tahu karena teman-temannya juga tidak ada yang disebut sebagai Light. Dia menarik kesimpulan, mungkin orang ini bukan orang yang dikenalnya selama ini.

 

Sementara Chanyeol, dibalik kemudi, terkekeh pelan. Ya, dia tahu siapa orang ini. Dia bahkan sudah tahu dari pertama saat Light menelepon hanya dengan mendengar suaranya.

 

“Light? Oke,” DJ menyetujui. “Kau mau kami putarkan lagu apa, Light?”

 

Ehm… Lagu milik Taylor Swift yang judulnya I’d Lie. Bisakah?” tanya Light ragu-ragu.

 

Tentu. Kami bisa memutarkanya untukmu, Light.” Aerim menyeringai. Dia pikir radio ini hanya memutar lagu K-Pop. Mengingat ada berita bahwa pemerintah korea mengadakan promosi besar-besaran di industri musik hanya untuk bersaing dengan musik Eropa.

 

DJ meneruskan, “Apa ini semacam pengalaman bagimu? Aku hanya baru membaca liriknya. Aku pikir, yahh… kau pasti sudah tahu seperti apa lagu ini.

 

Aerim sempat mengatai bahwa DJ ini memang banyak omong sesaat dia kembali memikirkan seperti apa lagu ini. Tenpa disadari keningnya berkerut, begitu juga Chanyeol.

 

Bukan. Ini bukan kisahku. Temanku,” jawab Light kedengaran lebih santai.

 

Sang DJ sepertinya merasa tertarik. Dia semakin menggali lebih dalam lagi. “Kau mempunyai teman yang mempermainkan seseorang? Ini mungkin cocok untuknya. Wah, kau teman yang terkesan menyindir, Light.

 

Light tidak mengelakkan pendapat sang DJ, justru tertawa lalu melanjutkan, “temanku bukan mempermainkan. Tapi dipermainkan, asal kau tahu saja.

 

Dipermainkan?” Bukan hanya sang DJ yang tertarik pada pembicaraan ini, tetapi kedua orang yang berduduk diam di dalam mobil juga mulai hanyut dalam percakapan yang terdengar di radio itu. “Aku tahu maksudmu. Ya, aku tahu perasaanmu jika temanmu dipermainkan. Tapi yang harus kita ketahui adalah temanmu lebih merasakan sakit daripada dirimu. Benar, kan?

 

Benar. Aku memintamu memutar lagu ini hanya untuk mengetahui bagaimana sisi pandang gadis itu. Apakah menyenangkan mempermainkan perasaan seseorang seperti itu?

 

Dan ini sungguh menyindirnya,” DJ menambahkan lalu tertawa. “Apa menurutmu gadis itu mendengar ini semua?”

 

Aku yakin dia sedang duduk diam mendengarkan suara kita berdua dengan senyum meremehkan.

 

Aerim tersadar ternyata dia tersenyum seperti yang dikatakan Light. Buru-buru dia meluruskan bibirnya. Apa ini?

 

Kau yakin? Woaaahh… Perlu aku tekankan kepada gadis-gadis yang tanpa sadar sedang tersenyum meremehkan setelah mendengar ini, mungkin saja itu bukan kalian, cantik. Light sungguh jahat ternyata.” Lalu sang DJ dan Light tertawa bersama.

 

Baik dengan segera aku putar lagunya. Ada pesan untuk gadis itu, Light? Silahkan, anggap saja kau sedang bertatap muka dengannya.

 

Hmmm… Aku hanya ingin dia berhenti melakukan ini semua. Dia sungguh buta untuk mengetahui bagaimana perasaan temanku sekarang. Jika kau tak mau melanjutkannya, selesaikan saja hubungan ini. Kau pernah mengatakan ingin memberikan kesempatan pada temanku, tapi kau juga tidak berusaha untuk menerimanya. Aku bisa saja mencarikan temanku seseorang yang lebih baik daripada dirimu, tapi aku juga tidak bisa. Temanku sungguh mencintaimu. Terimalah dia, jangan permainkan perasaannya lagi. Apa kau tahu rasanya sakit? Bayangkan dirimu jika berada di posisinya. Berpikirlah bahwa mempermainkan lebih menyakitkan daripada menolak.

 

Dan kalimat-kalimat yang dilontarkan Light sangat menohok Aerim cepat atau lambat. Ini tidak mungkin untuknya. Dia tidak kenal siapa itu Light. Tapi kenapa firasatnya mengatakan Light benar-benar menyindirnya? Dan kenapa hatinya seakan hancur saat sindiran itu selalu kepada Chanyeol. Seolah kata-kata dari Light barusan membuka hatinya. Seolah dia tersadar kesalahan besar yang dia lakukan dalam dua bulan terakhir. Seolah dia tahu bagaimana sakitnya Chanyeol sekarang. Dan Aerim tetap memalingkan muka. Bersikukuh untuk tetap tidak melihat apa yang dilakukan Chanyeol. Tetapi hati dan perasaannya menolak apa yang ingin dia lakukan. Bertanya-tanya apakah lelaki itu tetap nyaman di tempatnya. Ataukah merasa marah pada Light. Yang jelas, Aerim terlalu buta pada Chanyeol hanya untuk menebak seperti apa sifat lelaki itu sebenarnya. Inikah? Inikah akibatnya jika egoisme-nya terlalu tinggi?

 

I don’t think that passenger seat

 

Has ever looked this good to me

 

Radio sudah memperdengarkan lagu tersebut. I’d Lie.

 

“Akan kubunuh dia.”

 

Pelan tapi pasti. Chanyeol mencengkram kemudi mobil sampai buku-buku jarinya memutih. Tidak ada senyum seperti biasa yang teruntai dibibirnya. Yang ada hanyalah tatapan licik yang tak pernah Aerim lihat sebelumnya.

 

“Siapa yang ingin kau bunuh?” tanya Aerim setelah tersentak kaget.

 

“Diam,” gertak Chanyeol.

 

“Apa yang ada di dalam pikiranmu? Apa kau berpikir ini semua tentang kita? Iya? Aku tak kenal siapa itu Light. Dan aku tidak berpikir dia menyindirku terang-terangan.”

 

He tells me about his night

 

And I count the colors in his eyes

 

“Bagus, ini kalimat terpanjang yang pernah aku dengar darimu.” Chanyeol terbawa emosi.

 

Aerim ternganga. Menyentakan nafasnya tak percaya. Dia yakin Chanyeol sedang kerasukan atau apa. Chanyeol tak pernah berbicara sekasar ini padanya.

 

“Si Light itu menyindirku, lalu kenapa kau yang marah? Dan seharusnya aku yang membunuhnya. Bukan kau.”

 

“Kenapa? Karena aku pacarmu, Aerim! Dan bagaimana kau yang harus membunuhnya jika kau saja tak tahu siapa dia?”

 

“Dan Light tidak meluruskan itu adalah aku. Itu orang lain,” kilah Aerim masih bersikeras itu bukan dirinya.

 

He tells a joke I fake a smile

 

Walaupun lagu bergenre country itu tidak dihiasi nada-nada sendu, tatapi ceria. Memperdengarkan cerita sebuah gadis yang terdengar senang sedang mempermainkan kekasihnya. Menunjukan ada banyak kebohongan di dalam hubungannya. Lagu itu tetap tidak mengubris suasana panas di dalam mobil. Pertengkaran pertama setelah dua bulan menjalin hubungan.

 

“Oh ya? Kau tahu dari mana?” celetuk Chanyeol saat mobil memutar memasuki jalan lebih kecil.

 

Aerim diam. Bagaimanapun dia tidak bisa memastikan lagu ini untuknya atau bukan. Dan si Light itu juga orang yang dikenalnya atau bukan. Walaupun dia sedikit merasa ini untuknya. Bagaimana cara dia mengelak pun dia tak tahu.

 

“Memangnya kau tahu siapa? Huh?” timpal Aerim.

 

“Kalau iya, menurutmu bagaimana?” jawab Chanyeol cepat. Membuat Aerim mematung. Berusaha menyeleksi suara  orang-orang yang di dekatnya dengan suara Light. Nihil.

 

Nugu?” tanya Aerim parau.

 

“Bukan urusanmu.”

 

“Ini urusanku!”

 

And if you asked me if I love him,

 

I’d lie

 

Teriakan dan lirik menyakitkan tersebut terhenti dengan decitan pelan ban mobil Chanyeol. Mereka sudah berada di depan rumah Aerim. Aerim menarik nafas berat, merasa tak mau untuk meninggalkan Chanyeol kali ini. Kenapa? Dia sendiri tidak tahu.

 

Sesaat setelah dia menggantungkan tas pada bahunya, Chanyeol menarik tangannya. Kemudian lelaki itu mengatakan hal yang membuat Aerim–untuk pertama kalinya– merasa perutnya berputar dan pipinya mengeluarkan semburat kemerahan, “Saranghae.”

 

Deg.

 

Tak tau apa yang harus dia jawab, Aerim hanya membalas dengan senyuman. Senyuman yang pengertiannya bukan seperti senyuman paksaan. Senyuman yang berarti dia mulai membuka hatinya pada Chanyeol. Tetapi dia belum bisa membalas kata-kata tadi. Chanyeol harus menunggu.

 

Kakinya melangkah keluar. Memasuki pagar rumahnya. Sementara mata Chanyeol menemani kepergian gadis itu.

 

Aerim sudah memasuki kamarnya, suara mobil Chanyeol berjalan menjauh. Cukupkah tadi? Terlalu jahat kah dirinya?

 

Dengan gontai Aerim menuju meja belajarnya. Membuka pelan sebuah laci yang dia tandai dengan kertas bertuliskan ‘X’ besar. Dulu dia senang sekali menuliskan itu, tapi sekarang tangannya meraih kertas itu lalu membuangnya. Merasa kertas itu memang tak wajar tertempel disana. Dia meraih kertas lain, menulisi ‘<3’ dengan cepat lalu menempelkannya dengan rapi.

 

Matanya tertuju pada isi laci tersebut. Dikeluarkannya satu persatu, cokelat (yang diberi Chanyeol dua hari yang lalu, tergeletak sembarangan), boneka beruang kecil dengan bulu berwarna cokelat (tiba-tiba Aerim teringat pada manik mata dan rambut Chanyeol), kalung perak berliontin bunga matahari (yang Chanyeol yakini Aerim akan melihatnya suatu hari nanti seperti bunga matahari dan matahari sendiri), dan terakhir adalah sebuah kartu provider yang Aerim lempar sembarangan seminggu yang lalu karena Chanyeol tak berhenti menghubunginya. Setelah itu dia berganti nomor, dan Chanyeol mungkin sadar Aerim tak ingin diganggu. Dia tidak pernah lagi menelepon kecuali jika ada hal penting.

 

Aerim ingin sekali Chanyeol meneleponnya lagi sesering dulu. Menanyai apa kabarnya, sedang apa dirinya, dan apa yang akan dilakukannya setelah itu. Tapi, dirinya menyadari hanya memikirkan pepesan kosong setelah mengingat dirinya sendirilah yang mementang jarak begitu jauh. Chanyeol mungkin sudah tak berharap dia akan menjawab teleponnya.

 

Sesuatu yang bening menetes keluar dari matanya. Sesaat dia sadar apa yang berkecamuk dalam dirinya. Perang batin. Inikah yang namanya perasaan suka? Atau cinta? Aerim terlalu bodoh dan terlalu jahat.

 

Aerim kembali ke kasur mengambil tas dan membuka isinya. Meraih ponselnya lalu membuka kontak dan mencari nama Chanyeol. Dia merutuki dirinya sendiri karena tidak pernah menghapal nomor Chanyeol yang jelas adalah kekasihnya. Babo.

 

Kemudian dia menemukan apa yang dia cari. Aerim menekan tombol hijau dan menempelkan ke telinganya.

 

Sial, pulsanya dia habiskan untuk menelepon temannya yang di Daegu tadi. Aerim mengigit bibirnya. Tidak tahu harus bagaimana sekarang.

 

Seketika dia teringat pada kartu provider tadi. Ya, apa salahnya kalau dia memakainya kan? Toh, pulsanya masih ada seminggu yang lalu.

 

Dengan cepat dia mengganti kartu. Aerim mengerenyit ketika layar ponselnya menampilkan puluhan pesan untuknya. Apa ini?

 

Deretan pengirim pesan menunjukan nama yang membuat Aerim kembali mengeluarkan setetes lagi air matanya. Chanyeol.

 

Dengan tangan bergetar, dia membuka beberapa pesan dan membaca.

 

From: Chanyeol

 

Tadi siang kau kesal sekali. Aku tahu aku mengganggu makan siangmu dengan teman-temanmu. Maafkan aku.

 

From: Chanyeol

 

Kau sedang apa? Apa kau sudah makan? Ingatlah aku ^^

 

From: Chanyeol

 

Hampir dua bulan kita bersama. Bagaimana perasaanmu? Aku senang sekali. Walaupun seperti hitam putih dan tak berwarna. Aku yakin suatu hari nanti akan seperti pelangi. ChanRim, fighting!

 

From: Chanyeol

 

Kalau kau sedang bersedih, mainkan playlist di ponselmu ya. Maaf kalau aku tak ada disampingmu untuk menghiburmu. Walau bagaimanapun aku tetap tak bisa. Aku harus menghargai keputusanmu. Tersenyumlah ^^

 

From: Chanyeol

 

Kau tak memakai nomor ini lagi kan? Aku tahu kau sedang beralih ke nomor baru. Aku tahu kau tak mau aku ganggu lagi. Maafkan aku, ya. Kau boleh ngataiku pengecut karena mengirim pesan tanpa penerima. Tapi izinkan aku untuk terus mengirim ke nomor ini. Hanya ini satu-satunya cara agar aku bisa merasa aku benar-benar kekasihmu. Saranghae :3

 

Air mata terus mengalir di pipi Aerim. Nafasnya tersendat. Tangannya bergetar. Sesaat dirinya terdiam lama. Meredakan tangisnya.

 

Ketika tangan kanannya ingin meraih tisu, tangan kirinya yang mencengram ponsel bergetar. Nada dering terdengar. Menunjukan satu pesan masuk.

 

From: Chanyeol

 

Apa kau sudah tidur? Aku belum tidur. Maafkan aku karena membentakmu tadi.

 

Senyumanmu tadi bisa membuatku tidur nyenyak hari ini. Aku tak percaya. Baru kali ini, Aerim. Chukkae untukku! Haha ^^

 

Tapi, sampai kapan kau belum membalas kata-kataku, Aerim? Coba katakan, ‘Nado saranghae’. Aku ingin mendengarnya, walaupun sekali ini saja. Yang mungkin hanya dalam mimpiku.

 

Saranghae. Jeongmal saranghae, Song Aerim! ❤

 

Pesan ini baru dikirim. Aerim kembali menangis. Mengingat bagaimana jahatnya dirinya pada Chanyeol. Bagaimana Chanyeol yang masih bertahan menunggunya.

 

Mianhae, Chanyeol-ah…

 

Sejurus kemudia Aerim mengeluarkan aplikasi pesannya. Membuka deretan kontak dan kembali menghubungi Chanyeol.

 

Nada sambung berhenti terdengar ketika suara berat diseberang sana menjawab denga suara tak percaya, “Aerim…

 

“Nado, Chanyeol-ah! Nado jeongmal saranghae!”

 

 

 

END

 

 

 

ALOHA! Ini FF pertamaku, akhirnya bisa juga aku post. Jadi, mohon maaf kalo typo bertebaran dimana-mana. Silahkan di komen ya.

 

Maaf kalo posternya jelek ya, aku bikin semampuku. Jadinya begitu deh.

 

Ada yang tahu si ‘Light’ itu siapa? Yup… BACON! MY BIAS! :*

 

Satu lagi, FF ini juga aku post di wp pribadi aku di http://aellopan.wordpress.com dan rencananya mau bikin SHINee version nya dihttp://shiningstory.wordpress.com

 

Terima kasih buat Safitri yang udah nyemangatin aku bikin FF, wkwk. Kalo ga ada dia, mungkin ga ada terbesit di otak aku mau bikin nih FF. Baca ga sap? 😛

 

Banyak bacot ya akunya-_- Kalau mau ngobrol sama aku, atau mau account twitter atau pin, ayo kita ngobrol dan saling bertanya keaellopan@yahoo.com

 

 

 

 

79 pemikiran pada “I’d Lie

  1. entak kenapa iseng baca rec ff dari seseorang, lalu bertemu ff ini. dan…

    OHOK.

    ini cast ‘Aerim’ kenapa persis ‘aku’ hahaha
    dan chanyeol disini persis mantanku haha /curcol
    —-
    sempet kaget dan tersindir berat dari awal baca ff ini tapi bedanya, kisahku enggak happy ending XD
    bener bener tertohokkkqqqssss bacanya but thankyou thor ff ini daebak! seneng banget bisa baca ff chanyeol straight but romanticccccccccc<3 keep writingg ya thor love ya

Tinggalkan komentar