The Conqueror (Chapter 5)

|| Title : The Conqueror [Section 5] || Author : Momochi ||

|| Main Cast : Kim Jongin [EXO-K] and Song Airi [OC] ||

|| Support Cast : other EXO members, Nattasha Kim, and Airi’s Friends ||

|| Genre : Family, Romance, and Friendship || Rating : G ||

|| Length : Series ||

 351288969

Discalimer: Airi adalah adik dari Kris dan Natt. Karena suatu masalah mereka kehilangan semua harta benda dan harus hidup terpisah dari kedua orangtuanya. Kris dan Natt memutuskan untuk membawa Airi pindah dan tinggal di Korea Selatan. Airi bertemu dengan seorang Pria yang membuatnya jatuh cinta ketika menjadi murid di Hannyong High School. Pria yang menjabat sebagai kapten sekolah itu bernama, Kim Jong In. Siapa sangka ternyata Kai diam-diam menaruh perhatian khusus pada gadis itu dan meninggalkan sikap dinginnya ketika bersama Airi. Lalu apakah yang terjadi selanjutnya? Dan apa yang terjadi dengan Airi saat di Canada dulu?

Note: Maaf kalau jarang bahkan engga pernah membalas komen kalian semua. Tapi aku selalu seneng banget tiap kali baca komen kalian tentang ff ini. Aku terimakasih banyak pada siapapun yang dengan ikhlas menulis komentar disini. kalian pasti orang yang bisa menghargai karya orang lain. Sekarang aku baru aja diterima kerja di butik baju. Ga terlalu sibuk sih, tapi waktuku jadi berkurang buat nulis ff. Jadi, mungkin buat section berikutnya agak sedikit lama tapi tetep aku usahain buat cepet deh. Love you readers, chu~

.

.

@Mission Hills, South China. 12.47 CST

Mission Hill Haiko golf course berlokasi di pulau Hainan, China Selatan. Dengan desain yang terinspirasi dari ikon tingkatan internasional ini bertengger di atas batu lava kuno serta latar belakang yang menyoroti daerah asal vulkanik serta menciptakan lingkungan yang benar-benar unik. Selain golf complex, terdapat beberapa fasilitas di Mission Hills ini seperti hotel mewah, dua belas restoran kelas dunia, tempat olahraga yang lengkap dan pusat rekreasi, ada juga lapangan tenis, sebuah taman hiburan air, spa dan arena perbelanjaan. Tidak salah jika Mission Hills Haikou akan menjadi golf complex terbesar kedua setelah Mission Hills Shenzhen.

“Luhan Gege! Akhirnya kau datang, apa kabar?” seru seorang pria dengan aksen china yang kental. Pria itu menjabat tangan lalu memeluk tubuh Luhan dengan antusias.

“Tentu saja aku datang. Kabarku baik, kau sendiri? Dimana Mei Li?”

Pria yang bernama lengkap Huang Zi Tao itu menepuk pundak Luhan, sambil menuntunnya untuk berjalan-jalan sebentar. “Seperti yang kau lihat, wushu membuat tubuhku bugar. Hm, Mei Li sedang sibuk mengurusi persiapan pernikahan kakaknya, tapi dia memintamu untuk datang kerumahnya nanti.”

“Shu Li?” tanya Luhan, memastikan. Pria ber jas yang akrab dipanggil Tao ini mengangguk.

Tao dikabarkan akan menjadi pewaris tunggal Mission Hill ini. Pria yang baru menginjakkan umurnya di angka 20 tahun memang berasal dari keluarga terkaya keempat di China. Namun, sikapnya yang terkesan manja membuatnya merasa kurang pantas menjadi seorang pembisnis, seperti sahabatnya, Luhan.

Kedua pria itu sudah berteman sejak kecil dengan Mei Li dan Shu Li yang dikenal sebagai si kembar—sepupu Tao.

“Tenang, dia tidak akan lupa untuk mengundamu.” kekeh Tao.

Luhan hanya tersenyum masam. Menghadiri pernikahan seorang gadis yang notabene adalah mantan kekasihnya merupakan sesuatu yang sedikit awkward. Tetapi, Luhan sudah mengubur dalam-dalam perasaannya pada gadis bernama Shu Li semenjak mengurus bisnis di Korea dan mendapat kabar bahwa kekasihnya itu telah dijodohkan dengan pria lain.

“Bagaimana keadaan ibumu?”

“Belum ada perkembangan,” kata Luhan pelan. “Dokter sudah melakukan semampunya, tapi aku yakin ibuku akan sembuh.”

Tao menepuk pundak sahabatnya lagi, berusaha untuk menenangkan walaupun hanya sedikit. “Tetaplah teguh pada keyakinanmu, ge. Aku juga yakin beliau akan sembuh dan melihatku sudah menjadi pemain wushu yang hebat.” hibur Tao.

“Dasar,” Luhan meninju dada Tao sambil tersenyum.

Tanpa sadar langkah mereka sudah hampir sampai ke lokasi lapangan golf setelah melewati tennis court yang lumayan luas. Dan Tao kembali teringat kalau Luhan hanya sendirian, padahal sebelumnya pria itu mengatakan akan datang bersama assistant barunya.

“Gege, dimana assistant-mu?”

Sebelum menjawab, Luhan melirik arloji hitam di pergelangan tangannya, kemudian mengedarkan pandangan berharap menemukan satu wajah yang sudah ditunggunya sejak tadi. Dan mendadak senyum pria itu terukir di wajah tampannya ketika melihat gadis dengan balutan dress selutut berwarna lilac yang sangat cocok sekali ditubuhnya. Gadis itu berjalan dengan kesan elegan yang tanpa dibuat-buat. Satu tangannya terangkat untuk menyelipkan sebagian rambutnya yang tergerai ke belakang telinga akibat terhembus angin. Aura Indigo yang tak kasat mata telah tersimpan pada diri gadis ini yang dengan sendirinya bisa membuat orang-orang yang berpapasan dengannya tersenyum kagum.

“Itu dia.”

.

.

Airi’s POV

“Menari denganmu?”

“Ya.”

“Jangan bercanda,” kataku sambil tertawa gugup. “A—aku tidak bisa.”

Kai menjatuhkan jemari yang sebelumnya ia gunakan untuk—anggap saja seperti menyambutku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Kai sehingga begitu mendadaknya mengajakku menari dengannya. Mengapa Kai selalu sulit untuk ditebak? Bahkan ketika seulas senyum samar yang bermain-main di bibirnya cukup membuatku menggigil dan menggeleng seolah untuk menjernihkan kepala.

Tatapanku jatuh pada selembar kertas di tangan Kai yang kini ia berikan padaku. Mulutku menganga terkejut ketika melihat huruf-huruf yang lagi-lagi tampak jungkir balik di mataku.

“Tidak perlu terkejut.” Kata Kai. “Aku yakin kau sudah tahu tentang ini.”

Aku berharap ini adalah lelucon Chen dan Xiumin songsaenim yang menurutku tidak lucu. Berduet dengan Kai bukan keputusan yang bijaksana. Tiba-tiba saja kecemasanku tampak tak sebanding dengan situasi ini. Mungkinkah aku hanya beraksi berlebihan? Mengapa aku selalu mengasumsikan yang terburuk dan membiarkan sifatku yang konservatif merusak suasana hati semua orang? Ayolah, aku hanya tinggal menari bersama Kai dan semua akan baik-baik saja.

“Kita tidak punya waktu untuk berdiam diri menatap selembar kertas,” ujar Kai. “pertunjukkan tinggal dua minggu lagi.”

Aku mengangguk dan tidak mau menganggunya dengan pertanyaan lagi. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menurut. Tapi, sulit rasanya menghindari aura dan aroma tubuh Kai yang sekarang bertengger dan bercampur di dalam organ tubuhku. Aku… sulit bernafas.

Kai, pria yang selalu berhasil memudarkan kejernihan otakku. Dan aku akan berduet dengannya.

Detik demi detik berlalu dengan lambat. Satu menit terasa satu jam ketika gugup melanda diriku. Kai menungguku untuk berganti baju dan sedikit melakukan pemanasan. Aku senang ternyata akhirnya bisa berduaan dengannya, tapi bagaimana dengan tanganku yang selalu bergetar jika memandangnya?

Aku tahu banyak gadis yang ingin sekali menari bersama Kai dan seharusnya aku merasa beruntung karena tidak perlu mengikuti semacam seleksi. Kai tiba-tiba saja mengatkan bahwa Chen-ssaem sulit menemukan penari yang bisa menyeimbangi kehebatannya sampai akhirnya aku masuk ke sekolah ini, Chen-ssaem yang mengaku bersahabat dengan Natt dan akhirnya memilihku tanpa melihat apa benar aku adalah penari yang tepat. Tentunya ini bukan semacam kebetulan tapi ini benar-benar sebuah lelucon, bukan?

“Untuk bagian ini, gerakan kedua kakimu seperti ini,” kata Kai. “Jangan terlalu lebar.”

Aku mengikuti instruksinya dengan sedikit tenaga yang kumiliki. Bukannya aku tidak suka dipasangkan dengan Kai. Tetapi karena aku tidak suka dengan dampaknya, terutama menyangkut temperature tubuhku yang terus memanas dengan segala gerakan yang Kai ajarkan padaku. Sudah kuduga ini tidak akan berjalan mulus. Konsentrasiku benar-benar hilang di makan pesona Kai yang begitu rugi jika tidak di saksikan.

“Apa yang membuatmu tidak fokus?” ujarnya dengan suara sehalus madu.

Apa yang membuatku tidak fokus? Tentu saja kau Kim Jong In.

“Maaf—aku belum terbiasa dengan semua ini,” kataku lebih sekedar jujur. “Menari bersama orang lain diluar kendaliku.”

Karena Kai berperan sebagai sukarelawan untuk mengajariku beberapa gerakan sulit, aku mengharapkan ia mengerti dan segera berhenti menjadi tutorku. Aku bisa fokus kalau saja seorang guru tari yang mengajariku, bukan malah pria yang kusukai.

“Justru itu aku harus membuatmu terbiasa.” kata Kai menegaskan.

Entah atas dorongan apa tapi yang jelas tubuh Kai mendekat sekarang. Langkahnya seolah menyingkirkan semua persedian oksigen di ruangan ini dan tidak menyisakan sedikit pun untukku hirup. Setidaknya sampai Kai tidak lagi menghapus jarak antara kami. Kai merangkulkan tangannya di kedua bahuku dengan lembut, seolah ingin mengirim energi ketenangan ke tubuhku yang disebabkan olehnya. Tidak ada seorang pun yang bisa memaksaku untuk mendongak kali ini, aku bersumpah.

“Aku punya ide,” suaranya menggelitik telingaku. “Bagaimana kalau aku memberikan sesuatu yang akan membuatmu lebih mudah menjalani latihan?”

Latihan ini baru berjalan beberapa menit dan Kai sudah sukses membuat perutku melilit. Ia mengangkat daguku dan memaksa untuk masuk keperangkap bola matanya yang bening. Hanya ada satu hal yang kuketahui dengan pasti. Aku tahu dari perasaan dingin seorang Kim Jong In, bahwa sebenarnya pria ini memiliki tatapan yang begitu menghangatkan. Sesungguhnya, ada keistimewaan yang tersembunyi di mata Kai. Aku ingin memejamkan mataku tapi Kai sudah menguncinya lebih dulu. Aku tidak mengerti, kenapa ia melakukan ini padaku? Atau memang dari awal ia sudah mengetahui bahwa kelemahanku adalah mata cokelat bening miliknya?

.

.

Senja kian mundur perlahan. Mengingatkanku akan malam pesta ulang tahun Haemi. Dan kabar baiknya adalah aku belum meminta izin pada Kris. Oh, ini akan menjadi malam yang panjang kurasa. Kris tidak akan membiarkanku pergi sendirian jika itupun ia akan mengizinkannya.

Kris sudah dipastikan lebih memilih membaca ulang koleksi buku-bukunya ketimbang menghadiri acara anak muda yang tidak ada manfaatnya. Aku sudah berulangkali mendengar kalimat protektif Kris tentang pergaulan di kalangan remaja. Kadang aku merasa kesal, mengapa Kris selalu berkata benar seolah ia adalah seorang cenayang. Aku sendiri bingung, menurun dari siapa sifat Kris ini? Ayah atau Ibu?

“Pesta anak-anak remaja tidak sesederhana yang kau bayangkan, dear.” Kata Kris ketika aku meminta izin untuk pergi ke pesta Haemi.

“Tetapi tidak pantas rasanya kalau aku tidak datang,” tukasku. “Lagi pula acaranya jumat malam—besoknya sekolahku libur.”

“Pergilah kalau kau mau, Airi,” katanya sambil menghela napas. “Aku cuma berpikir ada cara yang lebih bermanfaat untuk melewatkan malam. Tetapi aku tidak bisa mencegahmu.”

“Satu kali ini saja,” kataku merajuk. “Aku berjanji akan menjaga diriku disana.”

“Kuharap begitu.”

Aku tidak suka dengan kesan di balik kata-kata itu. Juga pesan tersirat bahwa aku tidak mengerti. Tetapi aku tidak akan membiarkannya merusak suasana hatiku. Aku ingin mengalami semua sisi kehidupan manusia normal pada dasarnya. Lagi pula, itu akan memperkaya pemahamanku tentang kehidupan remaja.

Tepat pukul delapan malam aku baru mempersiapkan semuanya dan mengenakan gaun selutut warna hitam yang pas di badanku. Kulengkapi penampilanku dengan flat shoes putih susu dan sebuah jam casio baby-g berwarna merah muda. Bahkan aku memulas bibir dengan lipgloss hadiah dari Natt, dan merasa senang dengan hasilnya. Bibirku tidak terlalu pucat seperti biasanya.

“Tidak perlu berdandan  berlebihan, kau bukan hendak pergi ke acara penghargaan musik.” Kata Kris ketika melihatku. aku memanyunkan bibirku, berharap jika saja Natt ada dirumah ia pasti akan membelaku. Natt bukan jenis orang yang suka memicu kesalahan orang lain. Ia tahu kapan harus memasrahkan sesuatu untuk menjaga kedamaian.

Aku mengecup  pipi Kris lalu menuju pintu depan. Tepat seperti dugaanku, Kris ingin mengantarkan aku ke rumah Haemi dengan Cheverolet hitamnya. Tetapi aku membujuk agar membiarkanku pergi sendirian. Walau aku harus menerima tawaran Kris untuk menghubunginya apabila acara sudah selesai dan ia akan datang menjemputku.

.

.

@Kai’s house, 20.05 KST

Malam ini bulan purnama. Taman di kediaman keluarga Kim bermandikan cahaya biru yang menerangi sebuah patung yang berdiri di tengah rerumputan tinggi. Sebuah patung malaikat yang mengadah ke langit, dan kedua tangannya bertemu di dada—menunjukkan posisi mengabdi. Kai memperhatikan, membuatnya kembali teringat tentang komentar-komentar orang mengenai patung itu. Sahabat-sahabatnya yang melihat ini berpendapat itu adalah replica yang buruk. Sebaliknya, Ibu Kai merasa patung itu indah. Kai sendiri, menganggapnya agak menakutkan. Entah cahaya malam ini yang mempermainkannya atau hanya imajinasi pria ini saja, tetapi saat Kai menatap patung itu, sepertinya ia melihat satu jarinya menuding dan matanya melotot kepada Kai.

Kai tersentak, namun ilusi itu hanya bertahan sedetik. Tetapi itu sudah cukup untuk membuatnya melompat dari serambi.

Setalah cukup memastikan kewarasannya tidak bermasalah, Kai kembali termenung. Belakang ini begitu banyak masalah tak terduga menghampirinya.  Mulai dari ayahnya yang sangat tidak konservatif, tugasnya sebagai kapten sekolah, dan suatu hal mengganjal perasaannya yang belum bisa ia sadari. Entah itu apa, pria pemilik mata cokelat ini merasa ia harus melakukan sesuatu atau mungkin menghentikan suatu hal.

“Jongin…”

Kai tersadar dan perhatiannya teralihkan ketika pintu kaca yang digeser. Ny. Kim keluar, sosoknya seperti malaikat. Cahaya bulan menerpa kulitnya yang seputih salju, memperjelas pembuluh darah berwarna biru-hijau di tangan dan dadanya.

“Sedang bersantai, sayang?” suaranya mengalun seperti madu, ekspresi wajahnya penuh keyakinan.

Pria itu mengukir senyumnya begitu tulus, lalu menggeser tubuhnya seolah-olah memberi tempat untuk ibunya. Kai mengira Ibunya akan menyuruhnya masuk dan segera melakukan tugasnya sebagai seorang pelajar. Ya, orangtua Kai memang sangat disiplin dan itu mereka turunkan kepada anak lelakinya. Tetapi, tiba-tiba saja wanita paruh baya bernama Kim Ga Eun malah menyentuh pipi Kai dengan satu jarinya sehingga Kai bisa merasakan cincinnya yang dingin. Lalu Ga Eun mencium kening putranya dengan lembut. Wajahnya yang memesona begitu damai malam ini. Matanya yang sewarna hujan kehilangan kesan kekerasan, dan ia menatap Kai penuh kasih sayang seorang Ibu.

“Apa terjadi sesuatu?” kata Ga Eun. “Ibu lihat, sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu.”

Kai tersenyum rikuh. “Kelihatan, ya?”

“Tentu saja. Seorang ibu yang melihatnya, Jongin.”

Kai merasa tak nyaman dengan posisinya. Ingin rasanya ia mengeluarkan semua yang ia simpan selama ini. Air mata, kemarahan, caci maki, dan rutukkan. Kai tidak tahu apa yang membuatnya terlihat lemah jika bersama Ibunya. Pria itu membenci dirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika mengetahui ayahnya bermain api. Perselingkuhan antara Mr. Kim dan Sekretaris Han, bibinya sendiri. Kai tidak memiliki kesanggupan memberitahu betapa bejatnya pria yang juga menjabat sebagai kepala sekolah itu kepada ibunya. Ia takut malah menjadi penyebab kematian ibunya kelak, jika penyakit yang memvonis Ga Eun setahun terakhir ini kumat.

Tidak, tak ada satupun yang mengetahui tentang hal ini kecuali dirinya sendiri. Bahkan Mr. Kim juga tidak menyadari jika anak lelakinya telah berhasil memergokinya dengan sekretaris Han. Dua tahun berlalu dan Kai belum membongkar semua yang ia ketahui. Jelas ia tahu apa yang sudah ia perbuat. Menyimpan kemaksiatan ayahnya adalah hal yang sulit. Namun kenyataannya memang ia sangat membenci pria yang sudah menjadi ayahnya semenjak delapan belas tahun.

“Kenapa pria itu selalu tidak menyukai jika aku menari?” tanya Kai, menatap bulan dengan pandangan memohon. Ekspresi di wajahnya seperti sedang memikirkan suatu strategi.

“Kau membicarakan ayahmu?” tanya Ga Eun, setelah itu wanita berumur genap empat puluh tahun ini menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh menutupi kening Kai. “Kai, tidak ada orangtua yang ingin melihat anaknya memiliki masa depan yang buruk.”

“Ya, aku tahu.” Kai mengusap wajahnya frustasi, seolah ia sudah buntu untuk menghadapi keras kepala orang tuanya. “Tapi ibu tahu kan, aku tidak melupakan kewajibanku sebagai pelajar. Hampir semua nilaiku mencapai angka sempurna, apa itu tidak cukup?”

“Jongin… untuk menjadi atau tidak menjadi adalah sebuah pertanyaan.”

“Maksudnya?”

Ga Eun memperkecil jarak antara Kai. Terhitung sudah hampir sebulan, wanita itu tidak memiliki waktu luang untuk mengobrol dengan anaknya seperti sekarang ini. Kim Yoon Ra, anak gadis pertamanya sedang mengikuti studi di Negara Paman Sam. Yoon Ra memang tipe orang yang memiliki pemikiran yang sepaham dengan Kim Jong Guk, ayahnya. Namun, bukan berarti Kai termasuk tipe anak pembangkang. Hanya saja, ia merasa tak pernah sejalan dengan kemauan ayahnya. Maka dari itu, ia memilih menjadi pria yang tidak peduli dan terkadang bertindak semaunya. Terkadang ada sisi baiknya, tetapi bisa saja malah menjadi pria yang dingin dan kejam melebihi siapapun.

“Bayangkan jika kau menjadi seorang wanita. Pria seperti apa yang akan kau anggap menarik?” Kata Ga Eun.

Well, kurasa kecerdasan dan bakat sangat penting.” Balas Kai.

Ga Eun tersenyum, mengangguk. “Sudah pasti. Tapi, kau juga harus mencari pria yang mampu memberimu nafkah.”

Kai mengacak-acak rambutnya tak percaya.

“Ayolah, ibu. Memangnya apa yang selama ini ibu pikirkan tentangku?” kata Kai. “Mengapa tidak ada satupun yang berada di pihakku, bahkan untuk sekali saja.” Kai berbisik.

“Bukan itu maskudnya, sayang,”

“Ibu meragukanku tidak bisa mencari nafkah untuk keluargaku kelak? Oh, bahkan pembicaraan ini sedikit menggelikan. Aku masih muda, dan kurasa belum waktunya Ibu atau pun pria itu membicarakan sejauh ini.” tukas Kai, sedikit menggeram karena merasa rahangnya mengeras.

“Jongin, ibu tidak pernah melarangmu menari atau apapun hal yang kau sukai. Tapi, terkadang kau harus mengorbankan hal yang menjadi penyohormu untuk mencapai bagian akhir yang sempurna.”

Ingin rasanya Kai berhenti mengeluh dan meratapi lika-liku hidupnya. Ia menyadari kalimat ibunya memang benar. Tapi  bukan berarti Kai akan menyerah begitu saja dengan argumennya yang ia bela mati-matian. Bahkan sekalipun itu menjauhkan dari orang-orang yang disayangi.

Tak lama kemudian ponsel Kai berdering dan menampilkan nomor pemanggil yang sudah amat ia kenali.

“Ada apa?” kata Kai ketika mengangkat sambungan itu.

Di seberang sana, Chanyeol dengan sedikit jengkel menanggapi pertanyaan sahabat yang menjabat sebagai kapten sekolah itu. “Leluconmu lucu sekali, kapten. Tapi, kuharap kau tidak terkena penyakit amnesia karena lupa datang ke pesta Haemi. Oh, jangan bilang kau sengaja mau mengindar dari rencana permainan kita, Kim Jong In yang aneh, hm?”

Chanyeol benar-benar tidak tahu sahabatnya sedang terduduk dalam keadaan kesal. Seandainya ia tahu pasti  Chanyeol tidak akan berani berkata seperti tadi. Kai mengendurkan urat-uratnya yang menegang barusan, ia kembali teringat dengan rencana yang diusulkan Baekhyun tempo hari. Menentang rencana itu membuatnya akan menerima tawaan meremehkan dari sahabat-sahabatnya, sehingga mau tak mau Kai harus setuju mengikuti permainan konyol itu.

“Aku akan membuat catatan untukmu, Chanyeol. Tiga puluh menit lagi, kau pastikan aku sudah sampai disana.” Kata Kai, dan segera memutuskan sambungannya dengan Chanyeol.

Kai mengambil jaketnya dan kembali menyadari kehadiran ibunya yang masih mengawasinya. Ga Eun sudah mendapat firasat Kai akan meninggalkannya lagi. Dan akhirnya mereka akan kembali bertemu entah itu satu minggu atau dua minggu lagi, atau bahkan satu bulan mendatang.

“Aku akan pergi. Jaga diri ibu baik-baik, besok aku akan mengantar ibu ke bandara.” Ujar Kai.

“Jangan melakukan hal-hal aneh, Kai. Salam untuk teman-temanmu.”

Kai mengecup kening ibunya dan benar-benar melangkah pergi meninggalkan wanita yang menatapnya penuh kerinduan. Dan pria itu lebih memilih memakai motor sport hitam pemberian pamannya, daripada mobil seharga empat milyar hadiah ulang tahun yang diberikan ayahnya.

.

.

@Riverview 8th street, 20.28 KST

Airi’s POV

Saat berjalan ke tempat Haemi malam itu, hatiku berdebar senang. Musim dingin sebentar lagi akan turun, angin yang meniup bajuku terasa dingin walaupun aku sudah membungkusnya dengan coat merahku. Kuhirup aroma samudra nercampur dengan wanginya pepohonan. Ada rasa istimewa dalam hatiku bahwa aku berada di sini, berjalan dengan bebas sebagai manusia  pada dasarnya.

Suasana hatiku berubah begitu aku sampai di Gangdong-gu, Cheonho 2-dong 527-2. Aku menatap rumah itu dan berharap aku telah salah membaca alamat. Pintu depannya terbuka lebar dan sepertinya semua lampu di dalam rumah itu menyala. Musik yang berdentam-dentam dari ruangan depan kukira hal wajar yang dilakukan di sebuah pesta. Tapi, melihat beberapa remaja berpakaian minim terlihat berkumpul di beranda depan, membuatku berpikir bahwa ini bukan rumah Haemi. Aku memeriksa alamat yang tertera di undangan yang gadis itu berikan. Ternyata tidak salah. Kemudian aku melihat beberapa wajah yang kukenal dan mereka melambaikan tangan kepadaku.

Terpikir olehku untuk berbalik pulang saja. Aku bisa memberi alasan kepada Kris bahwa aku tiba-tiba saja sakit kepala. Lagi pula Kris lebih tidak mengizinkanku datang seandainya ia tahu seperti inilah pesta ulang tahun Haemi. Tetapi rasa ingin tahuku mengalahkan segalanya. Aku memutuskan untuk masuk sekedar untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada Haemi dan mungkin bertemu Jihyun juga Nara.

Aku berdesak-desakkan melewati lorong depan. Aroma rokok dan parum sangat kuat. Musik begitu keras sehingga orang harus bicara dengan berteriak. Lantai terasa bergetar dan para penari yang berjingkrakan membuatku merasa terjebak di tengah-tengah gempa bumi. Dentuman musik begitu keras di gendang telingaku, membuatku meringis. Aku bisa merasakan napas-napas di pipiku dan mencium aroma bir di udara. Situasi begitu ingar-bingar sampai-sampai aku nyaris terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Tetapi, inilah kehidupan remaja, pikirku, dan aku bertekad mengalaminya secara langsung meskipun aku merasa akan pingsan. Jadi aku menarik napas dalam-dalam dan terus mendesak maju.

Di setiap sudut ruangan terlihat sejumlah orang yang begitu asing. Sebagian merokok, sebagian minum-minum, yang lainnya lagi saling berpelukan. Orang tua Haemi tidak terlihat. Aku bertanya-tanya dalam hati, bagaimana reaksi mereka seandainya melihat rumah dalam keadaan kacau balau seperti ini. Apa mereka tahu dan memang sengaja membiarkan pesta putrinya seperti ini?

Aku melihat wajah yang kukenal . Jihyun sedang berdiri di dekat pintu kaca yang membatasi area dek yang lebar dan sebuah kolom renang.

“Airi! Akhirnya kau datang!” teriaknya, mengalahkan bunyi musik. “Pesta yang luar biasa, bukan?”

“Ya, kurasa. Tapi sedikit mengangguku,” mataku memandang sekeliling dengan cemas. “Mungkin aku hanya belum terbiasa. Hm, dimana Nara?”

Jihyun nampak ragu. “Kurasa ia sedang di halaman belakang. Sejak tadi ia tidak mau kuajak bergabung.”

“Ada apa dengannya?”

“Oh, sayang, kau ketinggalan berita,” katanya, seolah detail selebihnya tidak penting. “Hubungan Nara dan Sehun sedang menjadi bahan pembicaraan anak-anak. Foto mereka saat di lorong toilet masih tanda tanya besar bagi yang lainnya. Ya, kau tahu, kan?”

“Foto? Foto apa?”

Kepala Jihyun mendekat seolah ia enggan untuk memberitahu. “Orang-orang mengira Nara mencium Sehun, tapi jelas saja aku tidak percaya. Nara juga tidak mau memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi,” Gadis itu mendecak.

Aku terdiam sedikit meringis. Aku tahu setengah dari pembicaraan mereka tadi siang. Tetapi, mengenai Nara yang mencium Sehun kurasa aku sependapat dengan Jihyun bahwa itu tidak benar. Lagipula siapa yang memotretnya?

Tak jauh dari tempatku, sekumpulan anak muda di seberang kolam renang yang sedang menggerakkan tubuhnya seirama dengan musik itu tampak luar biasa senang. Haemi memakai bikini hitam dan celana jeans belel pendek yang sangat seksi. Aku pun baru menyadari, pakaianku sangat kontras dengan yang lainnya. Sebagian diriku merasa seolah-olah aku terjebak di tengah gurun pasir dengan kostum yang tidak pada tempatnya.

“Sepertinya aku harus bertemu Haemi dulu.” Kataku.

“Oke, nanti kususul.”

Selepas kakiku melangkah, aku memekik ketika seorang pria mabuk berusaha menarikku ke tengah kerumunan orang yang sedang berjingkrakan. Ia mencoba memelukku tapi untunglah jihyun menariknya dariku dengan ekspresi menyesal. “Maaf, ya,” teriaknya “Minhyuk mabuk berat.”

Aku mengangguk dan menyelipkan diri ke taman sambil mencatat beberapa kata baru di dalam otakku.

Di taman, lebih banyak lagi botol dan kaleng minuman yang berceceran. Aku harus hati-hati memilih jalan kalau tidak ingin terpeleset. Meskipun udara dingin, para remaja tampak berleha-leha di pinggir kolam dengan mengenakan bikini dan celana pendek.

Perasaanku lega ketika akhirnya melihat Haemi yang sedang berpelukan dengan Kyungsoo di pinggir kolam renang. Begitu menyadariku, Haemi melepaskan pelukannya dan berlari menghampiriku.

“Airi, kenapa lama sekali?” katanya dengan suara ceria.

“Maaf, aku harus melewati suatu izin terlebih dulu.” Jawabku senyum. “Selamat ulang tahun, Haemi. Astaga, aku lupa soal hadiahnya!” pekikku.

Gadis itu terkekeh dengan senyum manisnya. “Kau juga lupa soal tulisanku di undangan bahwa tidak ada hadiah. Tidak apa-apa, Airi, aku tidak perlu hadiah. Aku hanya ingin bersenang-senang.”

Well, aku cuma datang untuk memberimu ucapan. Aku tidak bisa berlama-lama,” kataku. “Oppaku berpikir pesta ulang tahunnya tidak seperti ini.” aku tidak mencoba untuk menyinggung tapi ini soal kejujuran. Dan sepertinya, Haemi tidak menanggapi kata-kataku dengan serius.

“Tapi, ia tidak di sini, bukan?” ujar Haemi sambil tersenyum nakal. Ia merangkul bahuku dan membawaku mendekat pada anggota gengnya. Chanyeol dan Baekhyun melambai dan memberikan senyumnya padaku. Sekiranya ada empat wanita yang tidak pernah kulihat menempel di sekitar Baekhyun. Lalu Sehun tersenyum sebelum meneguk minumannya. Dan Kai… tidak ada.

“Semuanya akan baik-baik saja jika Kris-oppa tidak tahu. Ayolah kita minum sebelum kepalamu meledak. Aku tidak mau kau mendapat maslaah karena aku.” Haemi menuntunku mendekati Baekhyun.

Baekhyun yang sudah berdiri di belakang meja bar—ditemani wanita-wanita dengan balutan swimsuit –sedang meracik sesuatu dalam blender. Ada barisan botol yang luar biasa banyak di sekelilingnya. Aku membaca beberapa merek seperti:  Midori, rum putih Carribean, sampanye, tequila, dan wiski. Aku tidak paham semua itu. Alkohol tidak menjadi bagian pendidikanku.

“Baekhyun-oppa, tolong buatkan dua yang istimewa untukku dan Airi.” pinta Haemi, beralih merangkul pria itu dan menggoyang-goyangkan pinggang mengikuti irama musik.

As your wish, Nona Shin.” Kata Baekhyun, mengisi dua gelas koktail sampai hampir penuh dengan cairan berbuih kehijauan.

Haemi menyodorkan segelas minuman ke tanganku lalu meneguk minumannya. Kami berjalan menuju tengah taman, dan lainnya ikut bergabung. Musik menggelegar dari dua pengeras suara berukuran raksasa yang diletakkan di sudut taman ini sehingga terasa bergetar. Aku mengendus minumanku.

“Itu koktail import,” kata Jihyun yang tiba-tiba sudah berada di sampingku. “Karena Haemi bersaudara dengan Chanyeol jadi kurasa sebagian besar acara ini di sponsori oleh Coffee Bar milik ayah Chanyeol.”

“Begitukah?”

Jihyun mengangguk. “Cheers!”

Kami bersamaan menyatukan gelas-gelas tinggi ini. Aku menyesap sedikit sekedar untuk bersopan santun, tapi langsung menyesal. Rasanya luar biasa manis sekaligus membuat tenggorokkanku seperti terbakar. Jihyun tampak puas lalu mengajakku agar lebih ke tengah.  Kami berdansa bersama selama beberapa menit, kemudian aku sudah tak melihat Jihyun bahkan Haemi pun tidak.  Kerumunan orang mendesakku. Aku berusaha menemukan celah di antara tubuh-tubuh dan menyelip untuk melarikan diri. Tetapi sedetik kemudian celah itu tertutup dan tidak ada jalan keluar. Beberapa kali aku menyadari bahwa setiap kali gelasku kosong seseorang telah mengisinya kembali.

Sekarang aku merasa pening dan kakiku seolah tak berpijak ke rumput. Aku menyalahkan musik yang keras dan orang yang berdesak-desakkan. Kuhirup minumanku lagi, berharap itu akan membuatku segar. Baru saja menghabiskan minuman yang keempat, aku merasa dorongan kuat untuk berbaring ke tanah. Tetapi aku tidak bisa mencapainya. Aku malah merasa sepasang tangan kuat mengeluarkanku dari kerumunan. Cengkeraman di tanganku itu semakin kuat ketika aku terhuyung. Aku membiarkan diriku dibopong dan dibawa keluar oleh orang itu. Ia membawaku ke bangku kebun dan aku duduk dengan tubuh membungkuk dengan tangan masih memegang gelas kosong.

“Mungkin kau harus hati-hati dengan minuman itu.”

Perlahan-lahan wajah Kim Jong In menjelas di mataku. Ia mengenakan kaso hitam lengan panjang yang pas badan dipadu dengan jeans putih. Dengan baju itu dadanya terlihat lebih bidang ketimbang ketika ia mengenakan seragam sekolah. Aku menepiskan rambut dari mataku dan merasa dahiku basah dengan keringat.

“Hati-hati.. dengan apa?”

“Minuman. Karena itu sangat keras.” Katanya, seolah menegaskan sesuatu yang sudah jelas.

Sekarang cairan itu mulai melarut dalam perutku dan kepalaku teras berdenyut-denyut. Aku ingin mengucapkan sesuatu, tetapi kata-kata itu tidak bisa keluar, dihalangi oleh gejolak mual. Aku malah bersandar pada Kai, merasa ingin menangis.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya. Aku menggeleng. Gerakkan itu membuat kepalaku berputar hebat. Dan aku semakin menyandarkan diriku ke pria ini.

“Berapa gelas yang sudah kau minum?”

“Aku tidak tahu,” gumamku grogi. “Tetapi sepertinya ini tidak cocok untukku.”

“Kau sering minum?”

“Ini yang pertama.”

“Aigoo..” Kai menggelengkan kepalanya. “Pantas saja kau pusing seperti ini.”

“Apa maksut—“ tubuhku meluncur, nyaris jatuh ke tanah.

“Wow.” Kai menangkapku. “Sebaiknya aku mengantarmu pulang.”

“Tidak usah, sebentar lagi aku baik-baik saja.”

“Tidak, tubuhmu gemetar.”

Dengan rasa terkejut, aku sadar bahwa ucapannya benar. Kai kembali ke dalam untuk mengambil jaketnya, yang kemudian ia lampirkan ke bahuku. Tercium aroma tubuhnya dan itu membuatku nyaman.

Tiba-tiba Haemi datang menghampiri kami dengan terhuyung. “Apa ada masalah?”

“Apa yang diminumnya?” desak Kai.

“Cuma koktail,” jawab gadis itu. “Sebagian besar vodka. Kau baik-baik saja, Airi?”

“Tidak.” Jawab Kai datar.

“Apa yang harus kulakukan?” kata Haemi, sepertinya kebingungan.

“Aku harus memastikan ia sampai di rumah dengan aman,” Kai menatapku. “Kau tahu dimana rumahnya?” tanyanya pada Haemi.

Gadis itu menggeleng dengan raut wajah bersalah. “Bawa saja ke kamarku dulu. Aku akan mencari Jihyun dan Nara, mungkin mereka tahu dimana rumah Airi.” Katanya.

“Baiklah.” Angguk Kai.

“Tidak !” kataku tiba-tiba. “Tidak usah. Aku baik-baik saja. Sungguh.”

Haemi tampak tidak yakin. Mungkin ia ragu antara percaya padaku atau raut wajah Kai yang menyuruhnya segera pergi mencari Jihyun dan Nara. Namun sebelum terjadi sesuatu yang mempermalukanku di hadapan Kai, sekalipun rasa pusing dan mual tak dapat dibendung—aku memutuskan untuk bangkit dan berjalan dengan terhuyung.

Kai terlihat gerah dengan sikap keras kepalaku. Tangannya meraih lenganku dan menariknya agar mendekat. Aku tidak tahu mengapa sentuhan Kai selalu membuatku nyaman di segala situasi. Kurasa tenagaku sudah habis, jadi aku membiarkan Kai membawa tubuhku entah kemana.

.

.

Sudah memasuki halaman ke dua ratus enam puluh lima dan perasaan Kris masih dibendungi rasa cemas. Berkali-kali ia melirik ponselnya dan tidak ada satu pun panggilan yang ia tunggu sedari tadi. Pikirannya tentang Airi tiba-tiba saja menjadi semakin besar. Pria itu merasa khawatir karena sudah hampir tengah malam dan adiknya belum menghubunginya juga. Kris berniat menghubungi Airi sebelum kekhawatirannya semakin memuncak. Ketika nada sambungan pertama berbunyi, Kris mendengar deringan ponsel yang berasal dari kamar Airi.

Dan, ketika itu Kris melongo menyadari adiknya lupa membawa ponsel. Pria itu menggeram frustasi dan berjalan kesana kemari dengan bingung. Tidak mungkin rasanya ia menyusul Airi karena gadis itu tidak memberitahu dimana pestanya diadakan.

“Airi.. dimana kau,” kata Kris. Ia masih mengenggam ponselnya berharap seseorang menghubunginya dan memberitahu Airi sedang bersamanya dan ingin segera pulang.

Tak lama kemudian bel rumahnya berbunyi dan Kris langsung berlari menuju pintu utama dengan harapan Airi yang berdiri diluar. Setelah pintu terbuka Kris terbengong dengan seseorang yang sedang memamerkan senyumnya kepada Kris.

“Seo Runa?”

Gadis itu mengangguk. Ia mengenakan coat berwarna blue soft dengan jeans ketat hitam serta sepatu boots putih, membuatnya nampak cantik dengan kesan apa adanya. Runa memeluk tubuhnya yang menggigil. Kris mengamati senyum gadis itu terdapat suatu kepalsuan. Walaupun Kris belum mengenal Runa, tetapi ia yakin sesuatu telah membuatnya ketakutan walaupun gadis itu terlihat biasanya saja.

“Kris, diluar sangat dingin.” Katanya, memperdengarkan suaranya yang terdengar lelah.

Butuh waktu lama untuk memproses kalimat itu di kepala Kris. Ia menggaruk kepalanya lalu menyuruh Runa masuk dan duduk di sofa berwarna kehitaman.  Runa sedikit terganggu dengan seekor anjing yang sedang mendengkur di bawah kursi.

“Jangan khawatir soal Hunter, ia anjing yang baik.” Kata Kris.

Kris duduk dengan canggung bersebrangan di depan Runa. Di dalam rumahnya sendiri, Kris merasa bingung harus melakukan apa ketika seorang gadis yang datang tiba-tiba. Saat ini, pikiran Kris berkelebat tentang darimana gadis itu tahu rumahnya?

“Aku tahu kau pasti bertanya darimana aku tahu rumahmu,” Runa tersenyum sambil mengosok-gosok tangannya. “Maaf ya Kris. Aku pasti menganggu waktu malammu. Tapi aku tidak tahu harus lari kemana lagi.”

“Lari? Memangnya siapa yang mengejarmu?”

Seo Runa memperdengarkan tawanya yang lemah. Tak sadar, mata kanannya mengeluarkan air mata begitu saja. Runa menghapus cairan bening itu sambil tertawa pada dirinya sendiri, seolah-olah itu adalah hal yang menurutnya lucu.

“Dimana saudaramu yang lain? Mereka sudah tidur, ya?” katanya, masih berusaha menghapus air mata yang semakin deras. “Ah, kenapa ini tidak mau berhenti juga.”

Dahi Kris mengkerut memperhatikan gerak-gerik gadis di hadapannya. Bertamu di malam hari adalah hal yang paling di benci Kris. Tetapi, ia tidak mungkin mengusir gadis ini begitu melihat betapa ketakutannya seorang Runa. Kris tidak menjawab, ia malah bangkit dan mengambil tempat tepat di sebelah Runa. Pelan-pelan tangan besar Kris menyentuh bahu Runa mencoba menenangkan. Ia tidak tahu, tapi mungkin ini cara yang terbaik ketika menghadapi seorang gadis yang bersedih.

Ketika merasakan itu, bahu Runa berguncang hebat dan ia sudah benar-benar tidak kuat. Akhirnya, Runa menaruh kepalanya ke bahu Kris dan membiarkan air matanya terus mengalir. Awalnya Kris nampak terkejut, namun ia membiarkan gadis itu bersandar padanya.

“Kau boleh menceritakan semuanya padaku setelah kau puas menangis.” ucap Kris.

“Aku takut, Kris. Aku takut.” gumam Runa. Gadis itu merasa suaranya tercekat ketika mengingat sesosok pria yang ia takuti.

“Apa yang membuatmu takut?”

“Pria itu.”

“Siapa?”

Kris merasakan tubuh Runa bergetar hebat pertanda bahwa gadis ini benar-benar ketakutan.

“Ayahku.”

Alis Kris mengangkat sebelah. “Ayahmu? Ada apa dengannya sehingga membuatmu takut?”

Tidak ada orang yang mampu menolong Runa, bahkan tak ada siapapun yang perduli terhadap kehidupan gadis ini. Runa membutuhkan seseorang, dan ia hanya dapat meminta bantuan kepada Kris. Walaupun ragu pria itu akan menolongnya. Malam ini Runa membuka kacamatanya dan memakai soflen berwarna grey yang tampak berkilat.

“Dia. Dia ingin menjual diriku.”

To be Continue…

Lama ya? Serius deh ini sebenarnya udah selesai dari kapan tau, tapi kenapa bodohnya aku lupa kirim. Terlebih nunggu ff ini di publish sekitar satu bulan. Jadi, kalau misalnya ff ini kelamaan nongol, ya harus ngantre sama ff lainnya disini. Tapi kalian bisa datang ke wp aku kok. Nanti aku kasih tau wp nya di kolom komen kalau banyak yang nunggu ff ini, oke? Thankyou~

74 pemikiran pada “The Conqueror (Chapter 5)

  1. What!!!
    Tega bener, seorang ayah mau ngejual anak-nya sendiri, ckckck..
    Ehh, itu si Airi kok nekat banget ya??

Tinggalkan Balasan ke iea Batalkan balasan