Convince Me

Author                        : Ira Puspaningtyas (@pushy_puspa)

Title                 : Convince Me

Length                        : Vignette

Genre              : Romance | hurt

Ratted              : All

Main cast        : Ira | Kris EXO-M | Drew

Setting             : Vancouver, Canada

Disclaimer      : “Cerita ini murni karangan saya, apabila ada kesamaan alur cerita atau yang lainnya, itu hanyalah kebetulan saja. Mohon hargai karya author dengan tidak cop-pas, plagiarism, dan bashing. Dan dimohon untuk tidak menjadi silent-readers. Thank’s..”

Notes               : Ini adalah fanfiction saya yang menggunakan bahasa yang paling baku dan diksi yang lumayan-menurut saya-. Ya, maklumlah diksi-nya anak SMP, masih harus banyak belajar. Jika ada yang ingin lebih kenal, bisa dihubungi di account Facebook ‘Puspa Irra’

-o0o-

Convince Me

Storyline by: Ira Puspaningtyas

 

“Sampai kapan akan seperti ini?”, keluh itu keluar begitu saja tanpa meraup izin dari saraf motoriknya.

Poninya tersingkap, rambut panjangnya melambai-lambai bersama terpaan angin malam musim gugur. Sejenak, dibiarkan pikirannya lepas tak terkendali. Mungkin dadanya sesak, namun mengingat lelaki itu, terasa asupan oksigen tak henti-hentinya melesak ke paru-parunya.

Dipegangnya pembatas balkon yang terbuat dari besi, sedikit demi sedikit rasa dingin mulai mengetuk-ngetuk kulit telapak tangannya. Hembus napasnya terasa hilang dalam sekejap, membaur bebas dengan dinginnya udara. Matanya terpejam, mungkin sedikit mengingat setiap lekuk wajah lelaki itu.

“Hey!”, panggil seseorang di bawahnya.

Mata gadis itu seketika terbelalak.

“Drew?”, desahnya melesak seketika.

Mata ber-iris biru cerah milik gadis itu membulat seketika, dan seulas bulan sabit melengkung dari bibir lelaki itu.

Diambilnya langkah lekas menuruni tiap-tiap anak tangga tak bersalah, terinjak-injak nista dengan derap yang keras. Oh, mungkin rindu berat hampir berkarat. Suara tangis hanya terdengar miris. Derap langkahnya terukir pasti menapaki tanah resah yang mendesah. Ia ingin lekas sampai.

Dipeluknya segera lelaki yang sudah tepat berada di depannya. Menghirup aroma khas yang menguar dari tubuh kekasihnya-Drew-.

“Drew..”, suaranya terdengar parau.

“Ira, kau kenapa?”, balas lelaki itu sambil membalas pelukan yang mulai terasa asing.

Mata gadis itu memanas, rasanya gadis itu ingin mengutuk kelenjar airmatanya sendiri.

“Ira?”, tanya lelaki itu lagi.

Airmata melesak dari sudut mata gadis itu, perlahan mengalir lembut dan menuruni kulit pipi gadis itu.

“Maafkan aku”, suara gadis itu mengalun lembut ke telinga lelakinya. Terdengar parau dan terkontaminasi sedikit isakan hingga mata lelaki itu menajam seketika.

“Apa maksudmu?”, balas lelakinya itu.

Gadis itu melepas pelukannya, dihapusnya kasar setiap airmata yang perlahan menuruni pipinya. Ia mendongak, menatap dalam-dalam lelaki ber-iris biru sapphire di depannya. Lidahnya seakan kelu, sarat akan pernyataan pahit yang akan ia alunkan. Mungkin kata-kata itu menyedakknya, dan meredam suaranya

“Mungkin kau bisa dengan baik meyakinkanku untuk mencintaimu. Namun..”, perkataannya berhenti sejenak, membiarkan lelakinya mencerna tiap-tiap kata yang akhirnya menemukan jalan keluarnya itu.

“Namun, kau belum cukup baik untuk meyakinkanku agar tetap hanya mencintaimu. Kau terlalu membiarkanku bebas dalam duniaku sendiri, kau tak pernah berusaha membuat dirimu sebagai dunia bagiku. Tidak. Maafkan aku..”, lanjutnya.

Matanya mulai memanas lagi. Ia menunduk dan bulir-bulir airmata itu terjun bebas ke tanah lepas. Lelaki itu tersentak hebat, itu wajar. Ia mendengar sendiri kalimat-kalimat pahit itu dikemas sebegitu apiknya oleh gadis di depannya, kekasihnya sendiri-Ira-. Namun bulan sabit melengkung manis dari bibirnya, meski itu palsu. Tangan lelaki itu meraih gadis di depannya dan merengkuh tubuh mungil itu lagi. Dalam sesak dadanya ia berkata.

Mungkin bukan salahmu. Aku mungkin meninggalkanmu untuk waktu yang mungkin lama menurutmu. Mungkin bosan bukan sifat bodohmu, tapi ini bukan salahmu”, katanya dalam menahan dada yang semakin menyesak.

Ini yang gadis itu benci, lelaki bernama Drew itu hanya akan memberikan kemungkinan. Gadis itu butuh kepastian yang bisa meyakinkannya.

Di sisi lain, lelaki itu mulai merenung. Mungkin tak selamanya ia tak akan mendapat kemanisan takdir, mungkin manis suatu saat akan membuatnya sakit gigi, menurut lelaki itu.

Namun gadis di pelukannya itu mulai gusar. Ini semkin membuatnya merasa telah mengambil keputusan yang salah. Dan membuatnya ingin mengutuk tiap-tiap udara yang melesak ke dalam paru-parunya. Ini mengenaskan.

Namun lelaki itu makin erat memeluk gadis yang sekarang ia yakini masih miliknya. Meski tidak untuk beberapa waktu mendatang.

   ”Drew, maafkan aku..”, kata gadis itu.

   “Seharusnya aku yang minta maaf”, kata lelaki itu sambil melepas pelukan yang sekarang ini benar-benar terasa asing.

Mata gadis itu menelisik dalam-dalam ke mata lelaki di depannya.-Adakah ketulusan di sana?-

   “Apa sekarang?”, tanya lelaki itu sambil menghapus anak sungai yang mulai mengairi pipi gadisnya. Oh, Ira bukan lagi gadisnya sekarang.

   “Kau tak menyukai cerita cinta yang cengeng, bukan?”, lanjutnya dan gadis itu tetap diam.

   “Baiklah, selamat tinggal. Cepat kembali!”, kata lelaki itu lagi-lagi sambil memutar arah gadis itu untuk pulang ke rumahnya.

Gadis itu berbalik, tangannya mencengkeram kain dress warna gading miliknya, giginya menggigit kuat bibir bawahnya. Dan lelaki itu melambaikan tangannya, perlahan mengaburkan diri dari pandangan gadis itu. Gadis itu berlari memasuki rumahnya yang kosong, sedikit tak enak hati menolak permintaan Drew.

Sekarang langkah limbung Drew seakan menghentikan putaran dunia miliknya sendiri. Dimasukinya mobil miliknya dan duduk di kursi kemudi. Matanya yang sayu menatap tiap sudut isi mobilnya. Dipandanginya tak tega se-bouquet bunga Krisan yang tergeletak di kursi penumpang sebelahnya.

   “Ira..”, desahnya dalam resah.

Diambilnya bunga Krisan itu dan ditatapnya kosong. Tak seharusnya ia disambut dengan adegan seperti ini, setelah kepulangannya ke Vancouver. Lelaki itu sekarang bena-benar mengutuk London dalam hati kecilnya. Ia membuka jendela mobilnya tanpa se-detik pun ia lewatkan untuk terus menatap bunga kesukaan gadis itu-Ira-. Dibuangnya bunga Krisan tak bersalah itu. Sorot matanya tetap kosong, tangannya meraih kemudi, diinjaknya gas mobil itu. Ia melajukan mobilnya dengan tenang, seakan dunianya masih seperti sedia kala.

Tak jauh mobil itu melaju, ia tak sadar telah berpapasan dengan lelaki lain yang notabene adalah duri dalam daging. Lelaki jangkung dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan itu sedikit tersentak, kakinya berhenti bergerak. Napasnya terhenti sejenak, mobil tadi itu milik Drew dan dia tahu itu. Itu benar-benar Drew, kekasih dari gadis yang ia cintai. Lalu apakah sekarang masih ada ruang dalam kisi hati gadis itu untuk lelaki jangkung itu?

Kekasihnya sudah pulang.

Dilepasnya gas buang yang memusing dari alveolus-nya. Dengan sedikit harapan yang ia miliki, ia melangkah terus-menerus hingga ia sampai di suatu titik, se-bouquet bunga Krisan yang tergeletak mengenaskan. Apakah ini disengaja?, pikirnya.

Lelaki jangkung itu hanya melihatnya dengan perasaan yang gusar. Apakah yang terjadi?

Kini ia tepat berdiri di depan rumah gadisnya. Gadisnya? bukan , mungkin hanya belum. Digoyangkannya lonceng-lonceng kecil yang tergantung tepat di di atas pintu rumah itu. Sejenak irama tak beraturan dari gemerincing lonceng-lonceng kecil itu menjadi orkestra yang membuai pendengarannya. Pikirannya kusut, ia berharap tak ada sesuatu yang mengejutkan kali ini.

Kakinya mengetuk-ngetuk lantai, suara peraduan antara alas kakinya dengan lantai yang dingin itu terdengar cukup keras, mungkin karena hening berhembus ria. Detik memintal menit, menit merajut benang-benang gusar. Mungkin jiwa lamanya bangkit, ia membuka paksa pintu yang ternyata tak dikunci itu. Ia menerobos masuk tanpa sepatah kata pun ia lantunkan.

Namun akhirnya ia terhenti saat melihat seorang gadis yang terduduk diam di bangku Grand Piano putih di sudut ruangan itu. Ia mendekat, dibaliknya badan lemah gadis itu. Sosok cantiknya masih utuh, kulitnya yang seputih salju, bibir merah delimanya, semuanya. Namun matanya yang berair itu terlihat mengenaskan. Gadis itu menyunggingkan senyum untuk menyabutnya, namun itu terlihat buruk. Lelaki itu membantu gadis di depannya berdiri.

“Yakinkan aku bahwa ini bukan keputusan yang salah, Kris”, kata gadis itu dengan suara parau.

Lelaki itu setapak demi setapak mulai menghapuskan jarak di antara mereka, dan seketika merengkuh tubuh gadis di depannya. Dalam pelukannya, lelaki itu ingin tersenyum namun gadis dalam pelukannya itu terlihat kacau. Maka hanya hembus napas yang dapat mewakili.

“Tak pernah ada istilah keputusan yang salah. Apapun itu kau telah mengambilnya, maka biarkanlah semua berjalan sesuai rencana yang tak pernah terduga”, kata lelaki itu.

“Maafkan aku”, lanjut lelaki itu.

“Ini bukan salahmu, Kris. Seperti benih bunga dandelion, aku bebas menancapkan pilihan setelah aku lepas”, balas gadis itu.

“Sekarang kau yakin?”

“Aku yakin, Kris..”, perlahan tangan gadis itu melingkar-memeluk kekasihnya.

Kedua insan yang sekarang menjadi sepasang kekasih secara tidak langsung itu masih meresapi kehangatan masing-masing. Lelaki itu suka aroma rosemary yang menguar dari rambut gadisnya, dan gadis itu nyaman dengan ritme tak beraturan dari degup jantung kekasihnya.

“Setidaknya sekarang semuanya sudah jelas”, kata lelaki itu memecah belenggu bisu.

Gadisnya hanya mengangguk pelan dalam dekapan.

“Maafkan aku”, lanjut lelaki itu.

“Berhentilah meminta maaf!”, kata gadis itu mulai gusar.

“Iya, maaf”, kata lelakinya.

“Hey! berhentilah!”, kata gadis itu-melepas pelukan-.

Tangan kekar Kris masih mencengkeram lemah lengan gadisnya-Ira-.

“Yakinkan aku bahwa kau benar-benar milikku sekarang”, kata lelaki itu dengan menatap iris mata biru-cerah gadis itu lekat-lekat.

“Lihat bayangan di mataku!”, balas Ira sambil tersenyum.

“Dan hanya milikku, bukan Drew”, tukas Kris.

“Maaf telah lama menggantung hubungan ini, Kris”

“Tak apa, setidaknya pada akhirnya daun maple akan jatuh ke tanah di musim gugur. Dia bukan lagi milik sang pohon”, jelas Kris.

“Dan kau tahu? tanah selamanya akan menjadi tempatku berpijak”, balas Ira.

Setelah itu hanya diam dan agin malam yang melewati mereka.

“Aku tidak membawa Krisan seperti Drew”, kata Kris tiba-tiba.

Ira hanya diam dan menatap Kris lekat.

“Kenapa kau selalu seperti ini? Jadilah dirimu sendiri!”, kata Ira.

Kris tersenyum manis dan mengeluarkan beberapa tangkai anyelir. Itu membuat Ira tersenyum dan menerimanya.

“Tak selamanya hal yang indah adalah hal yang terindah, Kris. Kau membuatku keluar darinya, dan membuat dirimu adalah hal terindah yang kumiliki”, mereka berdua tersenyum.

“Hal terindah juga tak selamanya datang dari jalan terindah, mereka harus menemukan caranya sendiri walau seberapa pun sulit itu untuk menemukan poros akhir dari keindahan itu sendiri”, balas Kris.

 

-You come to love not by finding perfect person, but by seeing an imperfect person perfectly-

 

 

FIN_

Akhirnya selesai juga..

 ‘Sequel’ atau ‘Story Before’? àcomment please!

That’s all, thank’s for reading, and keep RCL..*bow*

DO NOT COPY WITHOUT MY PERMISSION !!!

-Ira Puspaningtyas

7 pemikiran pada “Convince Me

  1. klo yg ini aku hrs bc berkali2 baru ngerti. hehe. lmyn memusingkan tp kereen bahasanya. minta sequel aja pls ;33

  2. Kerenkeren!
    Bahasanya juga udah bagus!
    Storylinenya juga not bad lah
    Sequel+story before boleh dong?;;) atau salah satu aja bebas:3

Tinggalkan Balasan ke aykevin Batalkan balasan