End Of Silence

End of Silence

Author : Yeolchan9

 Genre : Mystery, emptiness himself(?).

 Length : simply Oneshot (1.785 words)

 Rate : PG-15

 Cast : Park Chanyeol (EXO-K), other.

End-of-silence

 A/N : All of Chanyeol POV. Terinspirasi setelah lihat gift Chanyeol main gitar + sasaeng fans. Soenjoy guys!

****

 

Sunyi kurasakan! Aneh, padahal sorak-sorai itu telah menyergap suasana malam yang mestinya senyap menjadi gemuruh. Setengah juta manusia tumpah ruah, tak sabar menunggu cabikan gitar dan raungan lima oktaf, tenor kombinasi bassku. Mereka—para fans berat yang rela basah kuyup. Hujan begitu terbakar cemburu kurasa, melihat aku dielu-elukan. Stadion becek tertutup oleh lautan manusia. Harga tiket yang selangit seakan no problem. Nama seorang Park Chanyeol telah menyihir akal sehat mereka.

Park Chanyeol… sunyi kurasakan! Entah sampai kapan.

 

“Inilah dia… idola kita, PARK CHANYEOL! Penyanyi muda Korea Selatan yang berhasil mengobrak-abrik blantika musik domestik dan mancanegara,” MC menyebut kehebatanku, “The rising star ini adalah talenta yang tak ternilai harganya. Dunia musik berutang budi padanya.So, sambutlah… Park. Chan. Yeol…!”

 

Stadion seakan mau runtuh begitu aku melangkah. Pekik kegilaan bersenyawa dengan ribuan lambaian tangan menyaingi sound systemseratus ribu watt yang di pasang panitia.

 

Butcool man! Wajah yang kupasang dingin. Still angker. Gaya cuek yang konon menjadi tren baru di kalangan anak remaja masa kini. Kaos oblong tanpa lengan, jeans belel dengan sekian sobekan, rambut di cat hitam pekat, serta tubuh kurus morfonisku yang begitu kontras dengan suasana panggung yang di konsep gaya alternatif.

 

Gitar kupetik perlahan, sebuah melodi mengalun, irama yang memukau. Mendadak stadion sepi, seakan mencoba menenggelamkan diri di antara alunan magic yang kuciptakan.

 

Ya, selain dinobatkan sebagai vocalist terbaik versi MTV, aku juga diramal bakal menggeser posisi Yngwie, gitaris kawakan dunia itu. Betotan tangan dinginku yang telah berhasil menciptakan karya-karya yang konon sulit ditiru oleh para musisi kelas kakap sekalipun, apalagi pengamen kacangan.  Ditambah suara yang khas, mencetak sebuah mercusuar baru aliran musik akustik. Pasar membuktikan bahwa kemunculanku satu tahun ini adalah keajaiban, menjawab kelangkaan musisi lokal berkualitas internasional. Tiga album yang kuluncurkan masing-masing terjual di atas satu juta keping, Suatu prestasi yang membanggakan, bukan?

 

Tapi, sunyi yang kurasakan… Aku jauh tenggelam…

 

“Selamat malam, Chanyeol mania. Mari kita berdansa dalam kepekatan, gelorakan semangat pencarian, aku rindu kehangatan…” suara beratku akhirnya berhasil kukeluarkan. Suasana hening. Melodi pembuka mengiringi magic pesonaku yang dalam keterpaan. Lantas…

 

“Brag! Trak… trak… tung.. Cek… dug… dug… trak…!” stik Jongin, sang Drummer menggempur drumnya over dosis. Bagai mendapat energi baru, kehingar-bingaran itu mengantar impuls malam menjadi gemuruh. Rock tulen. Aku pun meraung dengan melodi dan tenorku.  Sehun meloncat-loncat sambil mencabik tuts-tuts keyboard, ganas. Penonton histeris.

 

“Chanyeol, I love youuu!!!”

 

“Chanyeoool…!”

 

“I love you, I miss you…!!!”

 

“Chanyeol… the God of music…!”

 

“Aku rela mati untukmu!”

 

Aku berjingkrak. Tenorku semakin melengking. Kepiawaian olah vocal telah meluncurkan nada, menukik menjadi bait-bait bass, dan secepat kilat kembali meninggi. Vocal beratku membuat penonton tersihir dan menari-nari bak kesetanan.

 

 

Axl Rose pernah memuji permainan gitarku habis-habisan, ketika aku di undang manggung bersamanya di Mexico City. Pada saat itu, seorang panitia mengguyurku dengan semangkuk berisi… darah kelinci! Aku terimajinasi gaya mistik Judas Priest, salah satu grup favoritku. Ritual itu selalu terjadi pada pentas-pentas akbarku, menjadi sebuah adat yang diperdebatkan para kalangan sok moralis. Namun, hal ini menjadi biasa bagi Chanyeol mania. Seperti biasa pula, sisa darah kuciprat-cipratkan ke penonton kelas festival. Mereka berebutan mendapatkannya, sekaan mendapatkan berkah tak terhingga, begitu fanatik. Pernah lima orang masuk ICU, dua kemudian tewas karena memperebutkan kaos oblong bau keringat yang kulempar ke arah penonton di sebuah pertunjukanku.

 

Aku serasa Dewa. Namun, sunyi yang kurasakan. Hanya sunyi…

 

****

 

“Aku ingin sesuatu!” Kugebrak meja Yixing—manajerku, pagi itu.

 

“Apa?”

 

“Katakan, bagaimana agar aku bergairah dalam hidupku?”

 

Yixing, laki-laki berdarah China di hadapanku, menampilkan wajah terpana— mengimbas pikiranku untuk ikut terpana.

 

Sesuatu yang membuatku bergairah dalam hidup? Apakah nama besar yang kemiliki, harta berlimpah, jutaan fans berat, pujaan para wanita, belum mencukupi? Lalu apalagi?

 

Ya, apalagi yang membuatku mampu mengusir sunyi?

 

Aku meninggalkan ruang kerja Yixing, memberinya waktu untuk memikirkan jawaban atas pertanyaanku. Hasilnya, terbaca esok harinya.

 

“Produser menangkap keinginanmu, Dance with Devil laku keras. Ia menawarimu mobil balap, Ferrari. Kau bisa berimajinasi Michael Schumacher.”

 

Huh, mobil balap!”

 

Keluhan singkat dengan wajah datarku pun ternyata ditanggapi oleh Yixing. Yixing menyentrifugasi otaknya lagi. Esoknya, kembali ia datang membawa ide baru.

 

“Produser menawarimu jalan-jalan ke Eropa. Menikmat Grotta Azzura, Vicenza, Menara Pisa, Amsterdam…, atau menikmati etnik eksotik di Asia. Kau bisa berlibur sepuasnya di Hongkong, Tokyo atau…”

 

Bastaaaard!” geramku, mengeksekusi habis keberanian Yixing.

 

“Okey. Wanita cantik, sekelas Dakota Fanning, Cindy Crawford, Emma Watson, atau menyanyi bersama Beyonce…”

 

“Aku bukan pemuda jalang!”

 

Well, sebenarnya kau menginginkan apa?”

 

Itulah, sunyi yang kurasakan… Aku tak tahu apa-apa.

 

Yixing termenung di ruang kerjanya yang mewah. Aku mengeluarkan dana sekian ratus juta won untuk menyulap ruang ini menjadi miniatur planet Mars, negeri impianku.

 

Ah, planet Mars. Aku ingin mengasingkan diri ke sana.

 

“Aku ingin terbang ke Mars.” Ucapku pelan, namun yakin.

 

Yixing lagi-lagi terpana, namun tak ada nada protes keluar dari mulutnya. Ya, menghadapi seorang bintang besar sepertiku harus sabar. Seratus orang telah bersaing untuk menjadi manajerku. Harga seorang Yixing yang pemberontak bisa berakibat sangat fatal karena bisa kunilai sangat rendah sehingga harus go out, alias dipecat dengan tidak terhormat.

 

Park Chanyeol, dengan uang yang kumiliki, apa yang tidak bisa kuatasi? Wartawan usil yang menuntutku di pengadilan karena tuduhan penganiayaanpun hanya mampu berbengong ketika hakim yang kusumpal sekian juta menyatakan, aku bebas tanpa syarat apapun. Bahkan sekedar ganti rugi atas perawatan rumah sakit, kamera yang hancur, serta beberapa data penting yang kubakar.

 

Demikian juga pemilik restoran yang dengan sengaja aku obrak-abrik dapurnya hanya karena aku menemukan rasa daging ikan yang sangat kubenci dalam menu makananku.

 

Aku adalah Park Chanyeol. Raja diraja blantika musik Korea yang sebentar lagi akan menembus dunia, menjadi Mozart milenia yang sejajar dengan para pemburu Grammy AwardVocalist yang segarang Sepultura dan Metalica, namun seromantis Bon Jovi dan Gun’s and Roses.

 

Tapi, lagi-lagi, hanya rasa sunyi yang kurasakan. Aku tidak tahu, apa yang mampu membuat gairah hidup seorang Park Chanyeol bisa mengalami kebangkitan sejati.

 

****

 

Banyak yang kalang kabut dengan tingkah errorku pada pementasan terakhir di sebuah kota. Tanpa sebab apa pun, tanpa pamit, tanpa berucap apa-apa, di tengah pertunjukan aku pergi, tanpa kembali. Meninggalkan ratusan ribu penonton yang lantas kecewa dan turun ke jalanan, merusak pertokoan—sebuah aksi anarki.

 

Kota itu kini porak-poranda. Belasan korban jiwa melayang. Berita gila-gilaan itu menjadi ‘menu utama’ yang membuat posisiku serentak dipojokkan. Sebagian masyarakat meminta aku ditangkap dengan tuduhan provokator. Bahkan, sebuah media fundamentalis malah tanpa sungkan menuduhku pemuja setan.

 

Apa peduliku?! Sunyi… hanya sunyi yang kurasakan. Aku sangat tersiksa.

 

Seandainya bisa, aku ingin berjalan tanpa seorang pun menggangguku. Terus berjalan sehingga kutemui ujung dunia, tapi mungkinkah?

 

Aku ingin telentang memandang bulan di puncak Himalaya. Mungkinkah? Hah, kurasa tidak.

 

Aku ingin terbang ke planet Mars. Jawabannya? Mustahil.

 

Pikiranku benar-benar kalut. Aku stres, aku lelah…

 

Lantas kularikan diriku dengan menyusuri jalan-jalan, travelling dengan BMW model terbaru. Tak ada yang berhasil  menghiburku dalam kebrengsekan waktuku. Morfin—narkotika yang telah bertahun-tahun menjadi teman setia, kinipun mulai berkhianat. Aku tidak mendapatkan surga darinya, seperti dulu.

 

Bastard! Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan.

 

Srrtt…! kuinjak rem mendadak tatkala sesosok bocah menyeberang tiba-tiba.

 

Damn you!” makiku sambil membuka kaca jendela mobil.

 

Bocah laki-laki itu tampak pucat , namun tidak terlihat gugup. Dia bahkan mendekatiku.

 

“Maaf hyungnim, habisnya saya sedang terburu-buru…”

 

Anak laki-laki kecil, berperawakan mungil dengan baju berwarna putih bersih yang dikenakannya. Wajahnya yang polos semakin membuatku tidak tega untuk kembali melontarkan kata-kata umpatan akibat ulahnya barusan. Aku sedikit menurunkan pandangan, dan mataku kini terhenti pada satu benda yang ia genggam di tangannya. Sebuah Alkitab. Oh tidak, Alkitab?

 

“Saya terlambat ikut kebaktian. Karena tergesa-gesa, saya tidak lihat kalau ada mobil. Sekali lagi, maaf ya Hyungnim.” Ia sedikit membungkuk lalu berlari kecil ke arah kanan.

 

Aku mendengus. Namun, sebuah realitas kehidupan tiba-tiba terlintas dalam otak penatku. Bagai orang tolol, aku keluar dari mobil dan mengikuti anak kecil tadi. Ia memasuki sebuah gereja. Gereja. Bastard! Melihatnya saja aku sudah phobia. Begitu puluhan anak yang lain berdatangan, aku memutuskan kabur.

 

Entah mengapa, aku kini merasakan sedikit kehangatan. Ada cahaya.. Sayang, hatiku terlalu kotor untuk sekedar menerima biasnya.

 

****

“Aaaaah…. gilaaaa” aku tiba-tiba berteriak histers. Kucabik senar gitar tak beraturan. Membawakan sebuah irama alternatif. Aliran error yang tercipta karena gengsi semata, bisa saja membuat para anak muda tertarik untuk berjingkrak bersama.

 

Ya, barangkali aku memang sudah gila. Kesunyian itu belum juga mampu terusir. Berbagai sensasi pernah kupertontonkan. Mulai dari menato bagian tubuhku, memakai anting di bibir, mencukur habis separuh rambut dan berbagai sensasi lainnya. Semua tak mampu menjadi obat penyembuh. Semua kamuflase. Fatamorgana. Aku masih merasa sunyi. Resah. Gundah.

 

Aku kembali teringat percakapanku dan Yixing kemarin. Dance with Devil terjual lebih dari enam juta kopi. Namaku semakin di perhitungkan oleh musisi Barat yang sok diskriminatif terhadapn musisi Asia. Seiring dengan itu, seorang produser film menawariku bermain dalam filmnya, konon wajahku memang lumayan komersil meskipun bertampang morfinis. Sementara, sebuah perusahaan minuman ringan raksasa mengontrakku sekian ratus miliar won untuk lima tahun menjadi bintang iklannya. Mengalahkan puluhan perusahaan setaraf yang merayuku mati-matian.

 

Aku kaya raya sekarang. Namun sunyi itu…

 

Bastard! Aku hanya bisa memaki. Sebuah amuk massa segenap jiwa yag sebenarnya, kalau mau jujur sedikit terobati dengan fragmen bocah dengan wajah polos dan tentengan Alkitab di tangannya. Haruskah aku kesana?

 

Kesalahanku, dosa-dosaku yang telah melambung jauh. Puncaknya, ketika aku terpaksa meninggalkan Ibu, wanita kolot yang berontak melihat anak yang didambanya menjadi pemuda alim, ternyata bermetamorfosis sebagai berandal brengsek macam aku.

 

Aku tersenyum kecut. Lama, kutatap pantulan wajah tirusku pada cermin lemari kamar yang berantakan. Lantas, dengan pelan aku mengambil sesuatu dari laci.

 

Ini… Ya. Ini! Aku mengacungkan benda itu. Sebuah pistol. Kutempelkan moncong pistol itu tepat ke pelipisku.

 

Ini yang akan mengakhiri kesunyianku yang semakin bertalu-talu menghantam ulu hatiku.

 

Ini yang akan memberiku sebuah kehangatan. Paling tidak, melepasku dari belenggu kehampaan..

 

Kutarik pelatuk. “Dor! Dor!”

 

Kurasakan darah memercik. Sunyi itu, lenyap… sekarat…, lolongan…, dan gelap.

 

****

Epilog

 

Headline sebuah harian besar nasional :

 

Park Chanyeol (23 tahun), vokalis dan gitaris terbaik Korea Selatan saat ini, ditemukan tewas di kamarnya. Dua peluru bersarang di otaknya, diduga ia bunuh diri. Kematian ini menimbulkan reaksi luar biasa dari jutaan penggemarnya. Ribuan remaja turun ke jalan dengan pakaian serba hitam. Mereka menyembelih kelinci, darahnya diusapkan ke wajah sebagai tanda bela sungkawa yang mendalam.

 

Sebuah harian besar lainnya, menuliskan sebuah reaksi fans yang mengejutkan atas kematian Chanyeol :

 

Dua remaja menembak kepalanya dengan pistol gelap yang mereka miliki. Dalam surat yang mereka tinggalkan tertulis, “Kususul kau, kekasih hati, Park Chanyeol. Tak ada gunanya kami hidup tanpa mendengar alunan suara bass dan cabikan gitarmu. Kami ingin melihat live consermu di alam kubur.” Dua remaja itu sempat dirawat di rumah sakit, namun dokter gagal menyelamatkannya.

—END—

So,mind to review??

31 pemikiran pada “End Of Silence

  1. Chanyeol di sini bad boy banget
    FF dengan cast chanyeol paling creepy yang pernah aku baca 😣
    Tapi kenapa harus Chanyeol? 😦
    Over all ff ini keren banget 😁😁

Tinggalkan komentar