Gone (Chapter 1)

Gone

gone-poster

Title                                         : Gone

Author                                     : alfykmn (ex-innochent)

Main Cast                                : Xiumin EXO and Kim Hyejung(OC/Readers)

Support Cast                           : Byun Baekhyun,Park Chanyeol,Kim Hyunjeong(OC) ,and Song Mihye (OC)

Genre                                      : Angst, Family, Life

Length                                     : Twoshot

Rate                                         : PG-13

Author note                             : Terinspirasi dari MV Jin Gone bagian awal sama endingnya 🙂 dan maaf sekali, karna tidak tau mau memberi judul ff angst pertama ini apa jadinya judulnya juga Gone T.T

Makasih bamyak buat Luzni sayang yang mau review ff ini yey~~~ akhir akhir ini ff aku semuanya di review dia <333 –sebenarnya sih yang direview baru Gone sama Azoth hehe– tapi aku lupa mulu bawa namanya di ff aku=_=v

Mohon maaf buat covernya……(oh hey, model ceweknya tomochan loh/?) ini cover pertama dan bikinnya berjam-jam jadi ancur banget L Jadi……Semoga kalian semua suka atas/? semua kelebihan sama kekurangan ff ini ya ^u^

***

Hyejung

Senyumku mengembang saat suara dentingan piano mengalir dan diam-diam memasuki indra pendengaranku. Kupasang telinga baik-baik, berusaha menebak lagu apa yang kali ini ia mainkan.

Ah…..Lagunya berbeda dari biasanya. Kalau tidak salah, sekarang ia memainkan lagu Yiruma – Kiss The Rain.

Yah….Seperti biasa, permainannya begitu menenangkan hati sampai aku merasakan rasa dingin yang basah di pipi.

Ya ampun….Aku menangis kali ini buat apa? Dulu mungkin karena berhari-hari aku tidak mendengar dentingan pianonya tapi sekarang kenapa? Ah…mungkin karna aku terharu atas lagu ini.

Permainannya berhenti dan aku menghela nafas. Bisakah dia memainkan lagu lagi? Dia kan hanya bermain di les piano milik ayahku –yang kebetulan juga tempat lesnya di rumahku– sehari sekali. Pasti aku akan merindukannya.

Ah…..Harapanku terkabul! Dia bermain piano lagi!

Hm….Kali ini dia bermain lagu apa ya? Ah tidak tau! Apa mungkin lagu yang kali ini ia mainkan itu lagu karyanya yang dulu ia janjikan padaku?

Aku kembali menarik sudut bibirku, memejamkan kedua mataku, kemudian menggerak gerakkan kepala dan jari-jariku mengikuti iramanya. Rasanya….Aku jadi ingat masa itu. Masa dimana pertama kalinya aku bertemu dengannya.

FLASHBACK ON

Hiks…..Hiks…..”

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan besar yang hangat menepuk bahuku.

“Hey, kenapa kau menangis? Apa karena Pengajar tadi memarahimu dengan umpatan kasar?”

Aku mengangkat kepalaku dan buru-buru nyengir kaku karnanya. Ayah tidak pernah melihat langsung aku sebagai anaknya menangis tapi orang yang tidak kukenali ini sudah melihatnya. Ini memalukan.

“Dunia musik memang keras jadi mentalmu juga terpaksa harus tebal. Ah tapi kalimat pelatih tadi benar-benar dalam. Dia akan jadi pelatihku nanti, apa aku harus melaporkan tindakkannya pada ayahku agar ayahku menegurnya?”

Aku menggeleng sambil mengelap buliran air mata di sekitar pipiku. “Tidak perlu. Ayah memang begitu keras dan tegas jadi wajar saja begitu.”

“O-oh? Dia ayahmu? Oh…Maafkan aku.”

Aku tersenyum samar. “Tidak apa-apa. Aku malah lebih suka orang yang mengomentari ayahku dari depan daripada dari belakang kecuali ada orang yang mengomentari ayahku dengan komentar miring yang tak sesuai.”

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyentuh tanganku. Kuraba hal yang kusebut sesuatu itu. Itu tangannya. Sepertinya ia menyodorkan tangannya untuk mengajak berkenalan. Aku menerima uluran tangannya dengan senang hati.

Tangannya hangat…..Perasaanku saja atau memang tangannya terasa hangat melebihi kehangatan tangan ayah?

Apa semua tangan laki-laki itu hangat? Aku baru dua kali menggengam tangan orang selama ini –paling lama 3 detik tapi ini hampir 10 detik– selama 16 tahun umurku uh….

“Namaku Kim Minseok. Aku murid ayahmu.”

“Kim Hyejung,” Aku diam sejenak. Mulai berpikir haruskan aku mengatakan 3 kata yang selala kuucapkan pada setiap orang di pertemuan pertama?

Kuputuskan, aku harus mengucapkannya daripada aku sakit hati karena mengetahui responnya.

“Dan aku buta.”

Alih-alih buru-buru melepaskan jabatan tangan tak wajar kami, ia malah meremas tanganku lebih keras lalu berkata,“Ya, lalu kenapa? Apa itu masalah?” Kemudian terdengar suara tawa yang renyah.

Aku menunjukkan ekspresi seriusku membuat suara tawanya menghilang.

“Maaf. Aku tidak tau kau menseriuskan hal begitu. Karena bagiku orang buta bukan sesuatu yang kotor, menjijikan, atau apapun untuk dijadikan alasan dijauhi. Itu pendapatku bukan pendapat mereka yang enggan dekat-dekat radius beberapa meter dari orang buta.”

Aku membulatkan mataku. Merasa terkejut sekali. Ayah pernah mengatakan hal itu dengan nada suara yang sama dengan Minseok saat aku buta karna penyakit Retinitis Pigmentosa. Apa ini sebuah kebetulan?

“Ah….Terimakasih,” Hanya itu responku.

“Hm….Kau murid ayahku kan? Wah, berarti kau orang itu ya?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Dari dulu aku tidak suka jika membahas soal pengelihatanku.

“Ayahmu menceritakan hal apa saja padaku?”

“Ayah bilang kau ini pianist terkenal jadi ayahku mau mengajarimu menjelang konser pertamamu di luar Korea. Pasti kau begitu istimewa sampai ayahku yang begitu menolak mengajari siapapun bermain piano.”

Minseok terkekeh –aku bisa mendengar suara kekehan renyahnya. “Tidak. Aku hanya orang yang baru merintis 3 tahun yang lalu. Apa ayahmu sebegitu kerasnya sampai menolak siapapun? Ah tapi dia tentu tidak menolak mengajarimu sebagai anaknya kan?”

Aku menggeleng sambil menyembunyikan senyum geli. “Ayah tidak mengajariku bermain musik apapun apalagi piano dan menyanyi. Dan ia juga melarangku menyentuh piano lamanya. Bahkan duduk saja tidak boleh. Karenamu, ayah membeli piano baru dan menyimpan piano lamanya di ruangan yang bahkan tak pernah kumasuki.”

“O-oh…..”

Aku tertawa pelan mendengar responnya. Dia mirip Kim ahjumma –tetangga rumahku yang langsung sesak nafas dengan nada ‘o-oh o-oh!’ saat melihat banyak pemuda berseragam SMA melewati rumahnya dengan botol alkohol di tangan mereka atau rokok yang diapit kedua bibir mereka hehehehe.

“Jadi…..Selamat datang disini! Meskipun ayahku tadi begitu, hatinya sebenarnya begitu lembut kok. Asalkan kau bisa menyenangkan hatinya saja. Dan….Suatu kehormatan mengenal calon pianist dunia dari Korea,” ujarku sampai menundukkan kepalaku dengan hormat membuat tawanya meledak-ledak dan aku hanya bisa tersenyum geli.

“Ya, terimakasih anak pengajar pianoku….Hm ngomong-ngomong bagiku suatu kehormatan jika aku –calon pianist dunia ini mengajari gadis dari anak pengajarku. Bolehkah?”

Aku merasa pipiku memanas saat merasakan aliran darah mengalir deras ke wajahku –terutama di pipi. Oh….Ini pasti karna aku tak pernah dipanggil gadis oleh siapapun –bahkan ayah menyebutku putri kecilnya bukan anak gadinya. Atau karna dia bersedia mengajariku yang tertarik dengan dunia musik?

“Be-benarkah?” tanyaku gugup.

“Ya.”

Aku hampir mau bersorak riang karenanya tapi baru sadar hal itu tidak mungkin kulakukan dalam keadaan tak bisa melihat begini. Dia benar-benar….Meskipun umurnya masih muda, tapi ia malah tidak ragu untuk memutuskan :b

FLASHBACK END

Iaa masih benar-benar menepati janjinya –soal mengajari bermain piano– layaknya laki-laki sejati di umurnya yang terbilang masih muda.

Sekarang aku sudah mahir bermain piano dengan mudah –bahkan aku sudah bisa memainkan lagu karya Yiruma, bahkan terkadang kami bermain lagu Yiruma Maybe bersama-sama.

Ya….Dia masih mengajariku tanpa rasa takut aku akan menyainginnya sebelum kejadian itu terjadi.

FLASHBACK ON  

Mataku yang sembab langsung terbuka lebar saat mendengar dentingan lagu favoriteku, Hope karya Yiruma. Apa….Mungkin dia?

Ya….Itu benar dia. Setelah menyelesaikan bagian reff dari Hope, ia memainkan lagu kami berdua –salah satu karya Beethoven dan sayangnya aku sudah lupa judulnya saking sudah lamanya tidak bermain piano. Melihat atau menyentuh piano itu saja sudah mengingatkanku pada Minseok apalagi memainkannya….

Aku merasa air mataku tumpah kali ini dengan perasaan campur aduk. Oh, mungkin karna aku merindukannya setelah dua minggu lalu Ayah melarangku ke bawah tanpa alasan yang jelas.

Tapi perasaan campur aduk ini masih ada meskipun aku sudah mendengar permainannya yang menandakan kalau ia itu ada di jangkuanku.

DE……NG…..

Permainannya berhenti di tengah jalan, bahkan sebelum bagian reff. Dan anehnya berhenti dengan nada yang sumbang. Apa dia salah menekan tuts?

Tapi kalau salah harusnya ia memulainya dari awal lagi atau melanjutkannya seperti ajaran Ayah tapi kenapa suasana langsung hening? Lagipula harusnya seorang pianist sepertinya tidak melakukan kesalahan sedikitpun.

Kenapa…..? Kenapa tidak dilanjutkan, Minseok-ah?

“Minseok? Minseok…?” panggilku seperti orang bodoh. Tentu saja dia tidak menyahut karna minseok ada di lantai satu dan aku di lantai 2!

Aku berdiri dan berjalan mendekati pintu tanpa ragu. Aku sudah kenal ruangan kamarku sendiri jadi tidak perlu meraba-raba dinding lagi atau memerlukan tongkat. Uh, berbicara soal tongkat, tongkatku sekarang di dinding luar kamar. Aku hanya akan memakainya di luar kamarku hm.

Tuk….

Ah….Tongkatku sepertinya sudah menyentuh anak tangga pertama. Aku langsung duduk di dekat tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua.

Tentu aku tidak mungkin ke bawah mengingat pasti di bawah banyak bibi-bibi di rumahku dan pengawal Minseok.

“Minseok….” bisikku pelan tapi tak dibalas. Padahal Minseok dulu bilang kalau telinganya seperti lumba-lumba, bisa mendengar suara sekecil apapun bahkan suara tangisanku di jendela rumah karena tak boleh ke bawah 2 minggu lalu.

 Suara langkah kaki yang tegas terdengar beriringan. Aku panik tapi tak bisa langsung lari terbirit-birit ke kamar atau gaya panik jenis apapun. Jika aku bergerak dengan gelisah sekali saja, dipastikan aku langsung jatuh dari tangga.

Apa pengawal Minseok tau Minseok ada di sini jadi datang untuk menjemputnya? Atau pengawal rumah yang diluar tak sengaja melihatku duduk di tangga jadi berbondong-bonding kesini?

Langkah kaki berhenti sejenak tapi tak mengurangi rasa panikku. Aku buru-buru meraba pilar-pilar kayu yang di dekat tangga sebagai penopangku untuk berdiri sambil samar-samar mendengar suara kursi di dorong ke belakang dan suara langkah kaki menjauh saat saura pintu terbuka lalu tertutup.

DEG….

Jangan bilang mereka membawa Minseok. Jangan bilang Minseok pingsan setelah bermain piano dan langsung dibawa pulang oleh pengawalnya. Atau Minseok dibawa paksa dan sengaja tidak mengeluarkan suara karena takut aku panik. Atau….

Suara dentingan piano terdengar lagi tepat saat bulir pertama dari kedua mataku mengalir. Kalau di dengar-dengar, sepertinya dentingan piano ini melanjutkan permainannya yang sempat terputus.

Aku mengulas senyum tapi mataku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Malah semakin aku melebakan senyumanku, semakin deras airmataku mengalir.

Ini kenapa? Padahal dentingan piano khas permainan Minseok terdengar lagi untuk melanjutkan permainannya yang sempat berhenti seakan mengatakan Minseok masih disini dan tetap disini.

Ayolah air mata…..Cepatlah berhenti. Minseok masih ada disini, buktinya ia memainkan lagu lagi.

Minseok masih ada disini.

Minseok masih ada disini.

Minseok masih ada disini.

Mungkin tadi Minseok berhenti bermain dan tak sengaja menekan tuts salah karena merasa asmanya mulai kambuh jadi ia memberi tanda pengawalnya untuk membawakan obatnya.

DENG….

Permainan berhenti dengan nada sedikit sumbang seperti nada yang menghentikan permainannya tadi.

Tangisku malah makin deras bukannya berhenti. Firasatku juga semakin tidak enak saat suasana rumah kembali sunyi. Mendadak aku benci sunyi. Padahal sunyi itu seperti ‘teman karibku’ yang menemaniku selama 3 tahun terakhir ini.

Mungkin…aku menangis dan firasatku tidak enak karena permainan Minseok selesai dan aku harus menunggu hari esok di malam hari untuk mendengar permainannya lagi sedangkan aku orangnya tidak suka menunggu jadi tidak sabar. Ya, mungkin karna hal itu.

FLASHBACK END

Sejak saat itu ia tidak datang untuk mengajariku lagi dan baru datang untuk sekedar berlatih tanpa ajaran ayah saja sejak Sabtu minggu lalu dan hari ini baru hari Kamis, berarti sekitar sudah hm…5 hari. Hampir mau seminggu.

Aku benar-benar mengusap air mataku saat permainan selesai tapi saat aku mengusap sisa air mata di pipi, satu bulir air mata jatuh. Semakin cepat aku mengusapnya malah semakin cepat juga bulir air mataku jatuh.

Ini kenapa? Oh mungkin karna sudah genap satu bulan aku tidak merasakan genggaman tangan Minseok, suaranya, dan merasakan lekuk wajahnya dengan telapak tanganku.

Brak….

Sepertinya penutup piano sudah tertutup seiringnya dengan suara pintu rumah yang kembali tertutup setelah terbuka. Ah pasti Minseok sudah disuruh pulang karna sudah malam dan Ayah sudah menutup penutup piano.

Aku menguap pelan lalu berdiri dengan bantuan pilar kayu dekat tangga dan tongkat. Sudah waktunya tidur dan pasti Minseok juga sudah di rumahnya –menyadari rumahnya hanya berbeda 2 rumah dari rumahku–  lalu bersiap untuk tidur. Hm….Jaljayo Minseok~

-TBC-

5 pemikiran pada “Gone (Chapter 1)

    • omo omo omo ff ini udah ada chap 2 nya kok ouo cuma chap 1 aja yang dipostnya lebih lama biar menarik/hah
      kalo gak percaya search aja di sini pake keyword ‘alfykmn’ ^^
      ngomong ngomong makasih udah baca ya 🙂

Tinggalkan Balasan ke alfykmn Batalkan balasan