Private Arrangement (Chapter 3)

pa1

Allendale’s Proudly Present: Private Arrangement [Chapter-Three]

Genre: Marriage and Drama | Rating: PG-17 | Main Cast: Park Chanyeol and Shin Yeonju | Support Cast: Kim Jongin, Lee Hana, and others

 

.

.

.

 

 

Summary:

Park Chanyeol, penerus L.co Group ke empat, punya masalah: ia harus menikah dan memiliki pewaris. Bahkan bukan ibunya saja yang mendesak Chanyeol. Ada sebuah tradisi dimana penerus saat ini menginjak usia dua puluh tiga dan harus segera merencanakan masa depan perusahaan dengan membuat penerus baru. Chanyeol tidak merasa keberatan, tentu saja, ia hanya mempercayakan ibunya dalam hal ini. Namun terjadi banyak kendala, dua kali bertunangan, sebanyak itu pula ia gagal menikah.

Mengetahui dilema Chanyeol, Shin Yeonju menawarkan diri untuk menjadi pengantinnya. Tapi Yeonju bertekad menjaga jarak dari lelaki itu. Dan ia akan melakukan apa pun untuk menyembunyikan kelemahan terbesarnya, bahwa ia sudah bertahun-tahun jatuh cinta kepada Park Chanyeol.

Setelah lonceng pernikahan dibunyikan, Yeonju menduga Chanyeol merahasiakan sesuatu darinya. Apakah rahasia yang disembunyikan Chanyeol? Bagaimana kehidupan pernikahan mereka? Dan apa reaksi Chanyeol bila mengetahui bahwa istrinya ternyata sudah lama mencintainya?

Disclaimer:

Inspired by movie of Anna Karenina and Boys Before Flowers.

Walaupun cerita ini terinspirasi dari kedua film tersebut, cerita sepenuhnya berbeda. Saya cuma mengambil beberapa Kejadian dan kebiasaan dari kedua film.

Do not copy-paste this fanfiction without my permission and don’t be a Silent Readers.

 

 

***

 

 

 

“Mungkin kau ingin menunggu.”

Akhirnya Chanyeol mengarahkan tatapannya pada Yeonju dan menatapnya dengan ekspresi sangat menyerupai rasa iba. “Itu keputusanmu—kuserahkan sepenuhnya padamu.”

Yeonju tiba-tiba sadar, bagaikan kilatan cahaya yang membutakan, bahwa mungkin Chanyeol menganggapnya tidak menarik untuk ditiduri. Lagi pula kenapa Chanyeol harus menganggapnya menarik? Ia tinggi dan cenderung kurus, tubuhnya tidak bisa dibilang indah. Dan wajahnya tidak pernah dianggap cantik. Chanyeol bersikap baik padanya bahkan pernah sekali memujinya, namun dia melakukannya dengan setiap wanita yang dia temui. Itu tidak berarti apa-apa. Yeonju menatap pria itu tanpa bersuara. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa ia lakukan? Mereka baru menikah tadi pagi, itu bukan sesuatu yang bisa dibatalkan.

Yeonju tidak ingin membatalkannya. Inilah impian terbesarnya.

Chanyeol terus bicara ketika Yeonju menyadari hal yang mengerikan itu. “…dan kita bisa menunggu sebentar, satu atau dua bulan, atau selama apa pun yang kauinginkan, karena—“

“Tidak.”

Chanyeol berhenti bicara. “Maaf, kaubilang apa?”

Jika mereka menunggu, ada kemungkinan pernikahan ini akan berjalan tanpa hubungan suami-istri. Itu hal terakhir yang ia inginkan—hal terakhir yang katanya diingkan Chanyeol. Bahwa tujuan utama pernikahan ini adalah Yeonju harus melahirkan anak untuk Chanyeol. Satu-satunya alasan Yeonju untuk mendapatkan perhatian Chanyeol adalah dengan hadirnya seorang pewaris—darah dagingnya. Mungkin melalui anaknya nanti Chanyeol bisa sepenuhnya menyadari kehadiran Yeonju sebagai istrinya.

Yeonju meletakkan gelasnya di meja di depan perapian. “Aku tak mau menunggu.”

“Aku… mengerti.”

Yeonju bangkit dan berdiri di hadapan Chanyeol. Pria itu menengadah, matanya berwarna hitam kecokelatan yang cemerlang.

Chanyeol menghabiskan anggur, meletakkan gelasnya, dan ikut berdiri, membuat Yeonju mendongak. “Apa kau yakin?”

Yeonju hanya diam. Ia tidak mau memohon lebih lagi.

Chanyeol mengangguk, bibirnya terkatup rapat, dan meraih tangan Yeonju, menuntunnya ke tempat tidur. Yeonju gemetar hanya dengan merasakan sentuhan tangan Chanyeol, dan sekarang ia tidak bersusah payah menyembunyikan reaksinya. Suaminya memberi isyarat agar Yeonju naik ke tempat tidur. Yeonju berbaring, masih mengenakan gaun tidurnya, dan memperhatikan pria itu mengeluarkan kaleng kecil dari saku jubah dan meletakkannya di meja. Kemudian dia melepas jubah dan sepatunya.

Ranjang itu melesak akibat beban tubuh Chanyeol ketika dia naik ke samping Yeonju. Tubuh pria itu hangat dan besar. Yeonju mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan kemejanya. Hanya itu, karena ia merasa jantungnya bisa berdebar sampai mati jika ia menyentuh bagian lain tubuh Chanyeol. Chanyeol menyapukan bibir di atas bibirnya. Yeonju memejamkan mata dengan bahagia. Oh, ya Tuhan, akhirnya. Sekarang ia seolah meminum sherry manis setelah melewatkan seluruh hidupnya di gurun pasir kering dan terpencil. Mulut Chanyeol lembut tapi padat, bibir pria itu masih menyisakan rasa asam dari anggur yang dia minum. Chanyeol meletakkan tangan di atas payudara Yeonju, besar dan hangat di atas gaun tidurnya yang terbuat dari kain tipis, membuat tubuhnya gemetar.

Yeonju membuka mulut dengan sikap mengundang, tapi Chanyeol memundurkan kepalanya. Dia menunduk, meraba-raba di antara tubuh mereka.

“Chanyeol,” bisik Yeonju.

“Ssst.” Chanyeol menyapukan ciuman di kening Yeonju. “Tidak lama lagi akan berakhir.” Ia meraih kaleng yang tadi diletakkan di meja. Chanyeol mencelupkan jarinya ke sana, lalu tangannya menghilang di antara tubuh mereka lagi.

Yeonju mengerutkan kening. Ia tidak berharap semua ini akan cepat berakhir. “Aku—“

Namun Chanyeol mengangkat gaun tidur Yeonju, membukanya hingga sebatas pinggang, dan perhatian Yeonju teralihkan saat merasakan kedua tangan pria itu menyentuh pinggulnya. Mungkin jika ia tidak terlalu banyak berpikir dan hanya merasakan…

“Izinkan aku,” gumam Chanyeol.

Chanyeol membuka kaki Yeonju dan Yeonju menyadari pria itu sudah membuka celah di celananya. Ia bisa merasakan suaminya, panas dan kokoh. Suara menghilang dari kerongkongan Yeonju ketika mulai merasa bergairah.

“Mungkin ini akan terasa aneh, dan mungkin sakit, tapi aku tak akan lama,” Chanyeol bergumam cepat. “Dan hanya yang pertama yang sakit. Kau boleh memejamkan mata kalau mau.”

Apa?

Dan Chanyeol menyatukan tubuh mereka.

Bukannya memejamkan mata. Yeonju membuka matanya lebar-lebar, menatap Chanyeol, ingin merasakan bagian terkecil dari semua ini. Mata Chanyeol terpejam, keningnya berkerut seakan-akan kesakitan. Yeonju merangkul tubuh pria itu, merasakan pundak lebarnya dan betapa tegang otot-ototnya.

“Ahhh. Itu…” tubuh Chanyeol tersentak di atas tubuh Yeonju. “Jangan bergerak.”

Chanyeol menopang tubuh di atas lengan terulur lurus, dan yang membuat Yeonju kecewa, pria itu menepis lengannya. Kemudian Chanyeol mulai bergerak. Ia menggertakan gigi dan mengeluarkan suara seperti batuk tercekik, lalu tubuhnya berbaring di pelukan Yeonju.

Memang cepat

Yeonju bergeser agar bisa merangkul tubuh Chanyeol lagi dan setidaknya berbaring bersama, tapi pria itu berguling ke samping dan menjauh dari tubuhnya. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menindih tubuhmu.”

Chanyeol memunggunginya dan mungkin merapikan diri. Pelan-pelan Yeonju menurunkan gaun tidurnya ke atas paha, berusaha mengabaikan kekecewaannya. Tempat tidur bergerak ketika Chanyeol turun dari sana. Pria itu menguap dan memungut jubah serta sepatunya, lalu membungkuk di atas tubuh Yeonju untuk mencium pipinya.

“Kuharap tidak seburuk itu.” Mata hitam Chanyeol terlihat cemas. “Tidurlah dan aku akan meminta pelayanmu untuk menyiapkan air hangat untukmu mandi besok pagi. Itu bisa membantu.”

“Aku—“

“Pastikan kau minum anggur lagi kalau merasa ada yang sakit.” Chanyeol menyapukan jemari pada rambut Yeonju. “Aku hampir lupa, tadi eomma menghubungiku, dia ingin segera bertemu denganmu. Akan kupersiapkan untuk keberangkatan kita ke London minggu depan.”

Yeonju mengiyakan tanpa bersuara.

Dengan gerakan terakhir Chanyeol mencium rambut Yeonju. “Kalau begitu, selamat malam.”

Lalu ia keluar dari kamar.

Sejenak Yeonju melongo ke arah pintu yang tertutup, benar-benar kebingungan.  Suara cakaran terdengar dari pintu ruang ganti pakaiannya. Yeonju memejamkan mata dan berusaha mengabaikan suara itu. Ia menyelipkan tangan ke balik gaun tidurnya. Ia menyentuh tubuhnya, berkonsentrasi, mengingat bagiamana rasanya ketika Chanyeol menyatu dengan tubuhnya, betapa indahnya mata pria itu. Yeonju berusaha menenangkan diri, berusaha mengingat…

Suara cakaran terdengar lagi.

Yeonju mendesah dan membuka mata, manatap atas ruang tidurnya. “Sial.”

Kali ini suara cakaran dibarengi lenguhan.

“Oh, sabarlah sedikit!”

Yeonju turun dari tempat tidur besar itu, kesal. Di atas meja rias ada satu botol air, dan Yeonju menuangkan sedikit air ke dalam gelas bersimbolkan keluarga Chanyeol. Ia meneguk airnya sampai habis, lalu menaruhnya kembali. Kemudian ia menghampiri pintu ruang ganti pakaian dan membukanya. Mouse mendengus angkuh dan menghambur keluar. Hewan itu melompat ke tempat tidur dan berguling tiga kali sebelum berbaring di bantal, memunggungi Yeonju. Mouse tidak suka dikurung di ruang ganti pakaian.

Yeonju naik ke tempat tidur lagi, merasa sama kesalnya dengan anjing terrier itu. Sejenak ia memandangi pintu penghubung ke ruangan Chanyeol, bertanya-tanya dimana, tepatnya, letak kesalahannya dalam aktivitas yang terburu-buru tadi. Ia mendesah dan memutuskan ia harus mencari tahu besok pagi. Ia mematikan lampu di samping tempat tidurnya dan memejamkan mata.

 

 

***

 

 

Penampilannya malam ini bukan momen terbaiknya sebagai kekasih, Chanyeol merenung beberapa menit kemudian. Ia duduk di kamarnya, di kursi besar di depan perapian. Ini adalah rencananya sejak awal; tidur di kamar terpisah dengan istrinya—atau mungkin memang itulah yang diinginkan Chanyeol. Sebenarnya hal ini merupakan tindakan yang ia contoh dari kedua orangtuanya. Demi Tuhan, orangtuanya dulu juga tidur terpisah seperti yang Chanyeol lakukan, bahkan sekarang ini ia menempati ruangan milik ayahnya dulu.

Kening Chanyeol berkerut memikirkannya. Sebelumnya ia tidak melihat apa salahnya dengan pernikahan trendi semacam itu. Pernikahan yang pihak-pihak terkaitnya menghasilkan satu atau dua orang pewaris, lalu memilih jalan masing-masing secara social dan seksual. Itu jenis pernikahan yang hampir dianggap biasa di kalangan sosialnya. Jenis pernikahan yang sudah Chanyeol duga dan rencanakan akan ia jalani. Namun sekarang, membayangkan pernikahan di mana sang suami dan istri hanya bersikap sopan terhadap satu sama lain terasa… dingin. Dan sangat tidak menyenangkan, sejujurnya.

Chanyeol menggeleng. Ia tidak mencintai Yeonju. Ia mencintai wanita lain yang bukan istrinya—Kim Nari. Bayangan Nari-lah yang seharusnya tidur di kamar yang di tempati istrinya sekarang membuat Chanyeol tersenyum muram. Sudah dua hari ia tidak mengunjungi Nari, merindukan kehangatan wanita itu, ingin membelai rambut hitamnya, mencium aroma wangi dari tubuh Nari. Oh, betapa ia menginginkan Nari berada di dalam kamarnya saat ini.

Chanyeol mengusap wajahnya, menundukkan tubuh membiarkan sikunya bertumpu dengan lututnya. Benar- benar seperti bajingan, batin pria itu.

Bagaimana bisa ia melakukan hal ini pada Yeonju? Wanita itu berhak mendapat yang lebih daripada sekedar wanita yang memberinya seorang pewaris. Terkutuklah seorang yang membuat peraturan mengenai ahli waris sah untuk terus mempertahankan usaha para leluhurnya.

Pria itu berdiri dan meletakkan gelas di samping tempat minuman di meja. Kamarnya dua kali lebih luas daripada kamar istrinya. Namun kenyataan itu hanya membuat ruangan itu sulit mendapatkan cahaya yang cukup pada malam hari. Bayangan mengintip di sudut-sudut dekat lemari baju dan di sekitar tempat tidur besar.

Ia melepas jubah dan membasuh mukanya dengan air dingin. Setelah itu yang ia pikirkan sebelum memejamkan mata adalah besok ia harus mengajak Nari jalan-jalan.

 

 

***

 

 

Kediaman Park adalah tempat paling bagus yang pernah dilihat Lee Hana, dan ia masih sedikit terkagum-kagum. Ya ampun! Lantai marmer merah muda dan hitam, perabot mewah dengan ukiran yang rumit. Brokat, beledru, dan sutra berbordir elegan ada di mana-mana, bermeter-meter jumlahnya, lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk menutupi jendela atau kursi, semua disampirkan demi memperindahnya. Oh, rumah Mr. Shin memang indah, tapi ini, ini seperti tinggal di istana; ini sangat cantik. Benar-benar cantik!

Dan bukankah ini peningkatan hebat dari daerah Busan tempatnya dilahirkan dan tinggal? Itu pun dengan syarat bekerja setiap hari dari matahari terbit hingga terbenam, memunguti kotoran anjing, dan hewan lainnya untuk dijual lagi demi sepotong roti dan seiris kecil daging alot. Hana tinggal di sana sampai usia dua belas tahun, yaitu ketika ayahnya berkata akan menikahkannya dengan temannya, Jaedong, pria besar menyebalkan yang semua gigi depannya sudah hilang. Hana bergidik ngeri membayangkan jika ia menikah dengan pria seperti Jaedong.

Malam itu juga Hana kabur untuk mencari peruntungan sebagai pelayan dapur. Ia cerdas dan tangkas dan ketika ia menemukan rumah Mr. Shin—Hana bekerja disana dengan giat. Selama itu, Hana menjaga diri dan membuka telinga lebar-lebar. Ia mendengarkan cara keluarga Shin berbicara, dan pada malam hari di tempat tidur sempitnya di samping Dain, pelayan lantai bawah yang mendengkur seperti pria tua, ia membisikkan kata dan infleksi berulang-ulang hingga cara bicaranya hampir sebagus Shin Yeonju.

Ketika saatnya tiba—saat Namjoon si pelayan pria berlari ke dapur, dengan napas tersengal-sengal membawa kabar bahwa Shin Yeonju, yang memiliki wajah biasa dan sedih, entah bagaimana berhasil mendapatkan seorang pengusaha terkaya di Korea—Hana sudah siap. Ia melipat kain-kain yang jahitannya sedang ia perbaiki, lalu diam-diam keluar dari dapur untuk mengajukan permohonannya pada Shin Yeonju.

Dan sekarang di sinilah ia berada! Pelayan pribadi seorang istri dari keluarga Park! Nah, seandainya ia bisa menghafal semua lorong, lantai, dan pintu di rumah besar dan mewah ini, semuanya akan sempurna. Hana merapikan celemek sambil mendorong pintu di lorong pelayan. Hana mengintip. Lorong itu luas, dengan dinding-dinding berlapis emas dan karpet panjang berwarna merah dan hitam. Sayangnya, kelihatannya mirip lorong lain yang ada di rumah ini, sampai ia memalingkan kepala ke kanan dan melihat lukisan pria kuno yang sedang menyerang seorang telanjang. Hana pernah melihatnya—well, lukisan itu memang sulit untuk dilewatkan begitu saja—dan ia tahu lukisan itu diletakkan di depan pintu kamar sang tuan rumah. Hana mengangguk, mengamati lukisan itu.

Namun ia mendengar seorang pria berdeham di belakangnya.

Hana menjerit dan berbalik. Kim Jongin berdiri tepat di belakangnya, seakan-akan terpanggil oleh pikirannya. Jongin mengangkat sebelah alis, dan rahangnya yang tajam sanggup membuat Hana menahan napas.

Hana merasakan semburan hawa panas mengaliri lehernya. Ia mengepalkan kedua tangannya di samping pinggulnya. “Ya ampun! Apa kau berusaha mengagetkan aku? Tahukah kau bahwa kau bisa membunuh seseorang dengan cara itu? Aku kenal seorang wanita, meninggal karena seorang pemuda mengendap-endap di belakangnya dan berteriak, ‘Dor!’ sekarang aku bisa saja terbaring kaku dan mati di atas karpet ini. Dan aku penasaran, apa yang akan kaukatakan pada Tuan Chanyeol jika kau membunuhku satu hari setelah pernikahannya? Kau pasti akan mendapat masalah.”

Kim Jongin berdeham lagi, suaranya seperti bebatuan yang diputar di dalam ember kaleng. “Mungkin kalau kau tidak terlalu serius mengamati lukisan itu. Hana-ssi—“

Hana mendengus, sama sekali tidak anggun tapi sangat sesuai untuk dilakukan saat itu. “Apa kau menuduhku sedang mengamati lukisan ini, Jongin-ssi?”

Pelayan pribadi itu mengangkat kedua alisnya. “Aku hanya—“

“Kuberitahu, ya, aku hanya memeriksa apakah lukisannya berdebu.”

“Debu?”

“Debu.” Hana menyentakkan kepala dalam anggukkan tajam. “Miss Yeonju tidak tahan debu.”

“Begitu.” Sahut Jongin dengan nada angkuh. “Aku akan mengingatnya.”

“Kuharap kau memang akan mengingatnya,” jawab Hana. Ia menarik celemek untuk merapikannya, lalu menatap pintu kamar tidur sang majikan. Sekarang sudah pukul delapan, lebih siang dari kebiasaan bangun tidur Miss Yeonju, tapi pada hari setelah pernikahan…

Kim Jongin masih menatapnya. “Kusarankan sebaiknya kau mengetuk.”

Hana memutar bola mata ke arah Jongin. “Aku tahu pasti bagaimana cara membangunkan majikanku.”

“Kalau begitu apa masalahnya?”

“Mungkin dia tidak sendirian.” Hana merasakan semburan hawa panas lagi. “Kau tahu kan. Bagaimana jika Tuan Chanyeol ada di sana? Aku akan kelihatan sangat bodoh kalau masuk ke sana dan mereka tidak.. tidak.. tidak—“ Hana menghela napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan lidahnya yang membangkang. “—rapi. Aku pasti sangat malu.”

“Dia tak ada.”

“Tak ada di mana?”

“Di dalam sana.” Kata Jongin dengan sangat yakin, lalu memasuki kamar tuan mereka.

Hana mencibir pada Jongin. Pria yang menyebalkan. Hana menarik celemeknya lagi dan mengetuk pintu kamar sang nyonya dengan cepat.

 

 

***

 

 

Setengah jam kemudian, setelah dibantu Hana menyiapkan pakaiannya, Yeonju beranjak ke bawah. Di sana ia ragu-ragu. Sarapan pasti disajikan di salah satu ruang bawah. Namun di sana banyak sekali pintu yang bisa ia pilih, dan kemarin, di tengah semangatnya bertemu para staf dan proses kepindahan, Yeonju tidak ingat untuk menanyakannya.

Di dekatnya, ada seseorang berdeham. Yeonju berpaling dan melihat kepala pelayan, Yongguk, di belakangnya. Pria itu bertubuh pendek dengan bahu dan tangan yang terlalu besar untuk pergelangan tangannya. Di kepalanya dia memakai hair spray dengan berlebihan.

“Bisa saya bantu, Miss?”

“Ya, terima kasih,” kata Yeonju. “Apakah kau bisa meminta salah seorang pelayan mengajak anjingku, Mouse, jalan-jalan ke taman? Dan tolong tunjukkan ruang sarapan padaku.”

“Baik, Miss.” Yongguk menjetikkan kemari, dan pelayan pria kurus melesat maju. Kepala pelayan menunjuk Mouse dengan melambaikan tangan. Pelayan pria itu membungkuk di atas anjing itu, lalu terdiam ketika Mouse mengangkat bibir dan menggeram.

“Oh, Mouse.” Yeonju membungkuk, menggendong anjing kecil itu, dan menyerahkannya dalam keadaan masih menggeram ke pelukan si pelayan.

Yongguk melentingkan kepala si anjing sejauh mungkin dari tangannya.

Yeonju menepuk hidung anjing itu dengan jarinya. “Hentikan.”

Mouse berhenti menggeram, tapi masih menatap penggendongnya dengan curiga. Yongguk beranjak ke bagian belakang rumah sambil memegangi Mouse dengan tangan terentang lurus.

“Ruang sarapan sebelah sini,” kata Yongguk.

Yongguk memimpin jalan melewati ruang duduk elegan menuju ruang yang menghadap taman. Yeonju menatap ke luar jendela dan melihat Mouse mengencingi semua pohon hiasan yang berada di jalur utama sambil diikuti si pelayan.

“Ini ruangan yang digunakan Tuan Chanyeol saat menerima tamu,” kata Yongguk. “Tentunya, jika ingin membuat pengaturan lain, Anda hanya perlu memberitahu saya.”

“Tidak. Ini sudah nyaman. Terima kasih, Yongguk.” Yeonju tersenyum dan duduk di kursi yang ditarik pria itu untuknya di depan meja panjang mengilap.

“Telur rebus buatan juru masak sangat lezat,” kata Yongguk. “Tapi kalau Anda ingin pasta atau—“

“Telur sudah cukup. Aku juga ingin satu atau dua potong roti manis serta minuman cokelat panas.”

Yongguk membungkukkan tubuh. “Kalau begitu saya akan meminta pelayan langsung membawakannya.”

Yeonju berdeham. “Kumohon, jangan dulu. Aku ingin menunggu suamiku.”

Yongguk mengerjap. “Tuan Chanyeol senang bangun siang—“

“Bagaimanapun, aku akan menunggu.”

“Baik, Miss.” Yongguk keluar ruangan.

Yeonju melihat Mouse selesai buang air, lalu masuk ke rumah. Dalam beberapa menit, Mouse muncul di pintu ruang sarapan bersama si pelayan. Secara naluriah anjing itu berlari ke arah Yeonju serta menjilat tangannya, dan duduk di bawah kursi Yeonju sambil mengerang.

“Terima kasih.” Yeonju tersenyum pada si pelayan. Dia tampak sangat muda, wajahnya segar, terlihat seperti anak kecil. “Siapa namamu?”

“Baekhyun, Miss.” Pipi Baekhyun memerah saat diperhatikan Yeonju.

Yeonju mengangguk. “Baekhyun, kau yang akan bertanggung jawab mengurus Mouse. Ia harus ke taman setiap pagi, lalu satu kali lagi tepat setelah makan siang, dan sebelum tidur. Apa kau bisa mengingatnya untukku?”

“Ya, Miss.” Kepala Baekhyun tertunduk sambil membungkuk gugup. “Terima kasih, Miss.”

Yeonju tersenyum. Baekhyun sama sekali tidak kelihatan yakin apakah dia harus merasa bersyukur. Dari bawah kursi Yeonju, Mouse menggeram pelan. “Terima kasih. Itu sudah cukup.”

Baekhyun pergi dan Yeonju sendirian lagi. Ia duduk sebentar sampai saraf-sarafnya tidak bisa tinggal diam, lalu ia berdiri dan berjalan menuju jendela. Bagaimana cara menghadapi suaminya? Dengan ketenangan seorang istri, tentu saja. Namun apakah ada sesuatu yang bisa dilakukannya dengan lembut—diam-diam—untuk memberitahu bahwa semalam, well, mengecewakan? Yeonju bergidik.

Di suatu tempat jam berdentang pukul Sembilan. Mouse berdiri dan meregangkan tubuh, menguap sampai lidah merah mudanya terlipat. Dengan sedikit kecewa, Yeonju tidak mau menunggu lagi dan pergi ke aula. Baekhyun berdiri di sana, menatap langit-langit dengan hampa, tapi cepat-cepat menunduk ketika melihat Yeonju.

“Tolong bawakan sarapanku,” kata Yeonju, lalu kembali ke ruang sarapan dan menunggu. Apakah Chanyeol sudah pergi, atau dia selalu tidur sampai sesiang ini?

Sejenak Yeonju merasa sedikit senang karena Mouse menemainya sarapan, tapi tak lama kemudian anjing itu pergi berkeliling. Yeonju mencoba mengalihkan benaknya pada masalah lain. Ia tiba-tiba teringat pada sahabatnya, Jung Hyegi. Bagaimana kabar wanita itu? Apakah pernikahannya dengan Sehun membuatnya sangat bahagia sehingga lupa bahwa ia punya kerabat yang sudah menikah. Astaga, Yeonju baru teradar bahwa Hyegi dan Sehun tidak datang pada pesta pernikahan mereka. Baru saja Yeonju berpikir bahwa mungkin sebaiknya ia menghubungi Hyegi ketika keributan menyela pikiran Yeonju. Ia menengadah. Yeonju menyadari bisa mendengar suara gonggongan di antara suara pria bernada tinggi.

Ya ampun. Yeonju tersenyum sopan pada pelayan. “Permisi, sebentar.”

Ia berdiri dan berjalan santai menuju ruang sarapan tempat ia mendapati drama pantonim. Baekhyun berdiri melongo, rambut kaku Yongguk yang indah berantakan, pria itu berbicara cepat, tapi sayangnya dengan suara yang tidak bisa didengar. Sementara itu, suaminya yang berumur satu hari sedang melambaikan lengan dan berteriak seakan-akan menirukan kincir angin yang marah. Objek kekesalan Chanyeol berdiri gentar hanya beberapa senti dari kakinya, menyalak dan menggonggong.

“Dari mana datangnya anjing ini?” tanya Chanyeol. “Siapa yang membiarkannya masuk? Apakah seorang pria tak bisa sarapan tanpa perlu mempertahankan daging panggangnya dari hama pengganggu?”

“Mouse.” Yeonju berkata pelan, tapi cukup nyaring untuk didengar anjing itu. Dengan gonggongan berani yang terakhir Mouse menghampiri Yeonju dan duduk di atas sepatunya dengan napas tersengal-sengal.

“Kau mengenal anjing ini?” tanya Chanyeol dengan mata terbelalak. “Dari mana datangnya?”

Yongguk merapikan rambutnya, bergumam pelan, sementara Baekhyun berdiri di atas satu kaki.

Yeonju menyipitkan mata. Yang benar saja! Setelah membuatnya menunggu selama satu jam. “Mouse anjingku.”

Chanyeol mengerjap, dan mau tidak mau Yeonju menyadari meskipun sedang kebingungan dan kesal, rahang pria itu benar-benar menakjubkan. Dia bercinta denganku semalam, batin Yeonju, merasakan  pusaran kehangatan di bagian bawah perutnya. Tubuhnya menyatu dengan tubuhku. Akhirnya dia menjadi suamiku.

“Tapi anjing betina itu memakan sarapanku.”

Yeonju menunduk menatap Mouse yang tersengal-sengal sambil menatapnya dengan ekspresi memuja, mulut anjing itu melengkung seakan-akan sedang menyeringai. “Dia jantan.”

Chanyeol menyapukan jemari di atas rambutnya. “Apa?”

“Dia jantan,” Yeonju mengucapkan dengan jelas, lalu tersenyum. “Mouse anjing lelaki. Dan dia sangat menyukai daging panggang, jadi kau tak boleh menggodanya dengan makanan itu.”

Yeonju menjentikkan jemari dan keluar dari ruang makan, disusul oleh Mouse.

 

“Anjing lelaki?” Chanyeol melongo menatap pintu yang baru saja dilalui istrinya. Yeonju kelihatannya sangat elegan untuk wanita yang dikuti oleh hewan buas kecil. “Apa Miss Yeonju memelihara anjing lelaki?”

Pelayannya—Baekhyun menggaruk pelan ke rambutnya. “Kelihatannya Miss Yeonju sangat menyayangi anjing itu.”

Sekarang Yongguk sudah merapikan diri, dan menatap tuannya dengan ekspresi curiga. “Miss Yeonju memberikan instruksi spesifik mengenai hewan itu ketika sarapan satu jam yang lalu, Tuan.”

Pada saat itulah Chanyeol menyadari mungkin dirinya sudah bersikap menyebalkan. Ia berjengit. Sejujurnya, ia memang tidak mudah marah pada pagi hari. Namun bahkan bagi Chanyeol berteriak pada istrinya hanya satu hari setelah pernikahan agak keterlaluan.

“Saya akan memerintahkan juru masak untuk membuatkan sarapan lagi untuk Anda, Tuan.” Kata Yongguk.

“Jangan.” Chanyeol mendesah. “Aku sudah tidak lapar.” Ia menatap pintu sambil merenung sebelum akhirnya memutuskan saat ini ia tidak sanggup untuk meminta maaf pada istrinya. Sebagian mungkin akan memanggilnya pengecut, tapi kehati-hatian lebih baik daripada keberanian ketika berurusan dengan wanita. “Siapkan mobilku.”

“Baik, Tuan.” Yongguk membungkukkan tubuh dan keluar ruangan tanpa bersuara.

Si pelayan muda masih berdiri di ruang sarapan. Kelihatannya dia ingin mengatakan sesuatu.

Chanyeol mendesah. Ia bahkan belum minum teh ketika anjing itu menganggu makannya. “Ya?”

“Apakah saya harus memberitahu Miss Yeonju bahwa Anda pergi?” tanya Baekhyun, dan Chanyeol merasa seperti bajingan sejati. Bahkan pelayannya pun lebih paham cara memperlakukan istri.

“Ya, lakukanlah. Dan tolong katakan pada Miss Yeonju dia tidak perlu menungguku. Aku akan makan malam di luar.” Kemudian Chanyeol menghindari tatapan mata pelayannya dan keluar ruangan.

 

 

***

 

 

Siang itu juga Yeonju memutuskan untuk mengunjungi Hyegi. Terhitung sudah satu tahun ini mereka tidak lagi saling memberi kabar. Terakhir Yeonju dengar Hyegi pindah ke daerah Gangdong-gu dan menjalankan bisnis di sana. Mungkin saja Hyegi sangat sibuk, tentu saja, Oh Sehun adalah pengusaha ternama, dan mereka berdua telah menjadi pasangan yang paling dimabuk kepayang di mata Yeonju. Wanita itu sedikit penasaran, bagaimana mereka bisa menjadi saling memiliki satu sama lain.

Kendaraan yang digunakan Yeonju berhenti di depan rumah yang paling besar di daerah tersebut. Ia menggumamkan sesuatu, kagum mengetahui bahwa sahabatnya benar-benar tinggal di rumah mewah itu.

“Dari alamat yang Anda berikan, kurasa kita sudah sampai, Miss.” kata Baekhyun. Yeonju memang sengaja mengajak Baekhyun yang kebetulan bisa mengendarakan mobil dengan cukup baik.

Di kursi belakang, Yeonju mengangguk. “Ya. Saatnya membuktikan bahwa ini memang benar rumah sahabatku.”

Ketika Yeonju berniat keluar dari mobil, Baekhyun dengan cepat membukakan pintu untuk majikannya. Yeonju tersenyum, sedikit kaget dengan tindakan yang belum pernah dialaminya ini. Mungkin ia memang harus sadar bahwa perubahan statusnya sebagai istri seorang pengusaha penting dan terbiasa dengan pelayanan yang diberikan bawahannya.

“Terima kasih.” kata Yeonju. “Kau bisa tunggu di mobil sampai aku memberitahumu jika urusanku sudah selesai.”

“Baik, Miss.” Baekhyun membungkuk gugup dan Yeonju melangkah menuju pintu masuk.

Baru ketika Yeonju hendak memencet bel, hujan turun. Ia menoleh ke arah Baekhyun—yang siap berteduh di dalam mobil, lalu mengangguk dan menekan tombol. Yeonju harus menunggu sampai lima menit ketika seorang pelayan pria bertubuh mungil muncul dari balik pintu.

“Selamat siang,” Nada suaranya seperti sedang menginterogasi Yeonju. “Ada yang bisa saya bantu?”

“Selamat siang.” Yeonju membunguk sedikit. “Ya, tentu saja. Apa Mrs. Oh ada dirumah?”

Sejenak wajah pelayan itu tampak bingung, mungkin bertanya-tanya darimana datangnya wanita ini. Pria mungil itu mengangkat dagunya, benar-benar tidak tahu siapa yang berdiri di hadapannya. “Apa Anda sudah membuat janji? Saya tidak diberitahu sebelumnya oleh Miss Hyegi bahwa beliau sedang menunggu tamu.”

“Mungkin kau bisa katakan bahwa sahabatnya datang untuk berkunjung.”

Pelayan itu kelihatan ragu. Benar-benar sifat pelayan sejati. “Oh, maafkan saya Nona, tapi saya yakin Miss Hyegi tidak mau menerima tamu. Bahkan Anda sekalipun.” Pria itu membungkuk kaku, berniat masuk dan menutup pintu. Namun Yeonju segera menahannya.

“Kumohon,” kata Yeonju. “Tolong katakan bahwa Shin Yeonju datang untuk menemuinya. Jika kau sudah memberitahunya dan dia tetap tidak ingin menemuiku, aku akan pergi secepatnya. Aku janji.”

Pria mungil yang menyebalkan itu berpikir sesaat, ia memandang sinis pada Yeonju sebelum mengangguk ketus.

“Terima kasih.” Yeonju tersenyum, melihat pelayan itu pergi sambil bergumam.

Yeonju membuang napas pelan. Diluar hujan semakin deras, dan Yeonju merapatkan blazer merahnya. Untungnya saja ia tidak membawa Mouse walaupun dengan rasa bersalah mengurung anjing kecilnya itu di dalam ruang ganti pakaian. Ia tidak mau Mouse membuat keributan selama ia pergi dan Yeonju merasa sudah menimbulkan kesulitan untuk para pelayan, dan terutama suaminya.

Omong-omong soal Chanyeol. Yeonju tidak habis pikir pria itu pergi meninggalkannya. Demi Tuhan, mereka baru saja menikah dan sangat mustahil Chanyeol pergi untuk bekerja karena perusahaan memberikannya cuti. Lalu kemana perginya pria itu? Apakah ada hal yang sangat penting hingga membuat Chanyeol pergi dan bahkan dengan yakin tidak akan makan malam dirumah?

Yeonju mendapati dirinya merasa kecewa. Menjadi istri dari seorang pria yang tidak mencintainya memang tidak mudah. Ia tidak boleh memaksa Chanyeol untuk melakukan apa yang diinginkan. Bagaimanapun, kesepakatan sudah dibuat. Yeonju sendiri menyanggupi permintaan Chanyeol untuk memberikannya privasi. Dilarang untuk mencampuri urusan suaminya sendiri. Itu terdengar menyedihkan.

Baru saja Yeonju merasa sudah berdiri hampir setengah jam sampai pintu terbuka. Ia mengira pelayan mungil itu akan kembali dan dengan kasar mengusirnya. Alih-alih ia melihat seorang wanita cantik yang memiliki beban lebih di sekitar perutnya. Dilihat dari besarnya perut wanita itu, Yeonju mengira mungkin kandungannya sudah lebih dari tujuh bulan. Yeonju mengerjap. Sahabatnya sedang hamil.

“Yeonju-ya!” seru wanita hamil itu, tiba-tiba berhambur memeluk Yeonju.

“Oh!” Yeonju terkejut sekaligus terharu. “Aku tahu kau pasti ingin bertemu denganku, Hyegi-ya.”

“Tentu saja. Memangnya siapa yang melarangmu untuk menemuiku?” Hyegi melepaskan pelukan. Senyum ceria di wajahnya hilang seketika dan matanya menyipit ke belakang tubuhnya. Tepat dimana pelayan menyebalkan tadi berdiri dengan gemetar. “Miss Yeonju adalah sahabatku. Jika dia datang berkunjung lagi langsung antarkan saja ke kamarku. Kuharap kau mengingatnya, Jaesuk.”

Pelayan itu membungkuk dengan berlebihan. Tidak sanggup menatap Yeonju. “Baik, Miss. Saya akan mengingatnya.”

Yeonju tersenyum. Hyegi kembali antusias dan menarik Yeonju masuk. Mereka duduk di ruang tamu dengan interior mewah. Satu-satunya yang mencuri perhatian Yeonju adalah potret Sehun dan Hyegi yang berbalut gaun pengantin. Foto itu sangat besar, juga sangat menawan untuk dipandang. Yeonju turut merasa bahagia atas kebersamaan mereka. Rasanya hanya memandang foto itu saja bisa menyalurkan romantisme bagi Yeonju.

“Kau pasti kedinginan menunggu lama diluar. Jaesuk menjadi sangat protektif semenjak kehamilanku semakin membesar. Dia sering menginterograsi tamu. Kurasa Sehun yang menyuruhnya agar tidak sembarangan menerima orang asing selagi dia pergi.”

“Gwenchanna, aku mengerti.” Yeonju tersenyum. “Dimana suamimu?”

Hyegi mengendikkan bahu. “Dia harus berangkat ke Italia. Urusan bisnis.”

Yeonju tersenyum jenaka. “Kelihatannya kau tidak senang berada jauh dari suamimu.”

“Kami baru saja pulang dari Amerika dan dia sudah harus ke luar negeri lagi.” Hyegi menghela napas, mengelus perutnya. “Padahal kehamilanku sudah memasuki bulan kesembilan. Seandainya saja Sehun bisa menemani persalinanku pasti rasanya lebih menyenangkan.”

Yeonju meraih tangan Hyegi yang tampak murung. “Aku akan menemani persalinanmu. Kapan pun kau membutuhkanku, katakan saja.”

Hyegi tersenyum. Wajahnya benar-benar cantik, hidung lurus, bibir ranum, dan pipi yang merona merah. Jelas jenis wanita yang diinginkan semua pria. Terlepas dari tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, Hyegi memiliki rambut yang sangat bagus.

Yeonju menahan keinginan untuk bertanya padanya kenapa Hyegi mencampakkan Chanyeol dulu? Bukankah Hyegi terlihat sangat menghormati Chanyeol dulu. Tapi tentu saja, Yeonju membuang jauh-jauh pertanyaan bodoh itu. Seharusnya ia merasa bersukur, jika Hyegi jadi menikah dengan suaminya, ada kemungkinan  sekarang Yeonju masih mengamai Chanyeol dari belakang. Tidak tahu apa yang akan dilakukan dengan hidupnya nanti.

“Terima kasih, kau baik sekali.”

Beberapa pelayan Hyegi datang membawa dua cangkir teh serta sepiring biskuit.

“Apa kau menerima undanganku?” tanya Yeonju setelah mengucapkan terimakasih pada para pelayan.

Hyegi meraih biskuit, menatap Yeonju dengan kening berkerut. “Undangan? Undangan pernikahan? Apa Honam-oppa akhirnya sudah memilih pengantin wanitanya?”

“Ya, undangan pernikahan.” kata Yeonju. “Tapi bukan untuk Honam-oppa.”

“Lalu? Tidak mungkin, kan, Donghyun-oppa menikah lagi.” Hyegi menatap sahabatnya curiga. “Atau…”

“Aku sudah menikah.” Yeonju bergumam pelan. Tidak tahu harus senang dengan pencapaiannya atau tidak.

Reaksi Hyegi tidak diragukan lagi. Wanita itu membelalakkan mata. “Kau—apa?”

Yeonju mengangkat bahunya. Merasa sedikit tersinggung dengan ketidakpercayaan sahabatnya. Apa Hyegi berpikir Yeonju tidak akan pernah menikah seumur hidupnya?

“Oh!” Hyegi menepuk tangannya, benar-benar antusias. “Aku tahu kau pasti akan menikah juga. Aku ikut senang. Sungguh. Tapi kenapa aku tidak menerima undanganmu? Kenapa Jaesuk tidak memberitahuku apa pun? Ini benar-benar memalukan. Aku harus menegurnya. Oh, Yeonju-ya, bagaimana mungkin aku tidak hadir pada pesta pernikahanmu. Aku benar-benar—“

“Gwenchanna.” potong Yeonju. “Bukankah kau bilang kau baru pulang dari Amerika? Jadi, jelas saja kau tidak menerima undanganku. Lagipula ini mendadak.”

“Tapi tetap saja. Kau datang pada pernikahanku dengan Sehun. Dan aku sudah berjanji untuk menjadi pengiringmu ketika kau menikah. Tapi, ya sudahlah. Yang penting aku benar-benar sangat senang kau akhirnya menikah, Yeonju-ya.” Hyegi mengguncangkan tubuh Yeonju dengan riang. “Kalau begitu siapa pria yang beruntung ini?”

“Chanyeol.”

Tubuh Hyegi mendadak kaku. Ia menatap Yeonju. Bibirnya terkatup. Tawanya lenyap. Keterkejutan ini membuat suasana menjadi hening. “Chan—Chanyeol? Park Chanyeol?”

“Ya. Park Chanyeol. Mantan tunanganmu.”

“Park Chanyeol pewaris L.co Group keempat?”

“Memang Park Chanyeol mana lagi yang pernah menjadi tunanganmu?”

Hyegi mengerjap, mengalihkan tatapannya. “Ya ampun.”

“Benar. Ya ampun. Maaf karena aku menikah dengan orang yang pernah gagal menikah denganmu.”

Kepala Hyegi menggeleng. “Bukan—bukan itu maksudku.” katanya. Wajahnya menjadi cemas ketika kembali menatap sahabatnya. “Apa dia menyukaimu?”

Yeonju menunduk. “Sayangnya, tidak.”

“Tentu saja!” dengus Hyegi, tapi buru-buru meluruskan. “Bukan karena kau tidak pantas disukai, Sayangku, jelas kau wanita yang luar biasa. Chanyeol juga tidak pernah menyukaiku, asal kau tahu saja. Aku senang tidak jadi menikah dengannya. Karena dia tidak akan pernah menyukai calon istrinya.”

“Kelihatannya begitu.” Yeonju tampak muram.

“Tapi yang terpenting kau tidak menyukainya juga, kan?”

Saat Yeonju tidak menjawab. Hyegi tidak memerlukan jawaban lagi. Secara nauriah, ia langsung memeluk Yeonju. Merasakan tubuh sahabatnya yang mendadak terguncang. Hyegi menggeram di dalam hatinya. Dasar brengsek, batinnya. Ia sudah sangat mengenal Chanyeol. Mengetahui rahasia Chanyeol bahkan sampai ke bagian privasinya sekalipun.  Pria yang tidak akan mencintai calon istrinya. Pria yang hanya memanfaatkan kesuburan istrinya. Pendek kata, Hyegi mengetahui hubungan Chanyeol dengan Nari. Rasa cinta pria itu yang besar pada Nari.

Sialan, kenapa Chanyeol harus memilih Yeonju sebagai mainannya?

Hyegi tidak peduli jika ia dipermainkan oleh pria itu pada rencananya dulu. Lagipula, Hyegi tidak menyukai Chanyeol sedikitpun. Ia hanya mewujudkan obsesi orangtuanya yang terpesona oleh ketampanan Chanyeol. Semenjak ia menangkap basah hubungan pria itu dengan Nari, Hyegi memutuskan pertunangan mereka. Itu adalah hal yang paling bijak yang dilakukan Hyegi. Untungnya Sehun yang benar-benar mencintai Hyegi datang hari itu juga dan langsung melamarnya.

“Oh, Sayangku, Yeonju-ya,” kata Hyegi. “Kau seharusnya tidak menyukai Chanyeol. Dia tidak pantas mendapatkannya.”

Di dalam pelukan Hyegi, Yeonju menggeleng sambil membiarkan air mata menodai pipinya. “Aku memang tidak menyukainya, Hyegi-ya. Tapi…”

Hyegi menjauhkan tubuhnya. Pupil mata serta mulutnya sama-sama melebar. “Jangan katakan—“ ia memejamkan mata, tidak sanggup mendengar pernyataan Yeonju atau bahkan untuk mengucapkannya sendiri. “—jangan katakan… kalau kau…”

“Oh, ya, demi tuhan aku mencintainya. Aku mencintai Chanyeol, Hyegi-ya.” Yeonju terisak, menyentuh rambutnya dengan frustasi. Belum pernah ada yang tahu mengenai perasaannya yang mendalam dengan Chanyeol. Sejujurnya, Yeonju ingin merahasiakan dari siapapun bahkan Hyegi. Namun ia tak kuasa, terlalu rapuh, terlalu pengecut, terlalu takut untuk memendamnya sendiri.

“Tapi—kenapa? Bagaimana bisa?”

Yeonju menggeleng, membuang tangannya ke udara. “Aku tidak tahu. Aku sudah mengamatinya selama empat tahun. Aku sudah mencintainya bahkan ketika dia bertunangan denganmu.”

“Ya Tuhan.” Hyegi menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Kenapa kau merahasiakannya dariku?”

“Aku merasa belum siap.” Yeonju menatap sahabatnya dengan gemetar. “Berjanjilah padaku kau tidak akan memberitahu tentang perasaanku pada siapa pun terutama Chanyeol.”

Hyegi melirik Yeonju sebelum menghelas napasnya. Tidak tahu apakah ia harus memarahi Yeonju karena mencintai pria yang salah. Bagaimanapun ini perasaan Yeonju. Ia tidak berhak mengaturnya. Namun rasa sayang Hyegi kepada Yeonju begitu besar. Mereka sudah seperti saudara kandung.

“Aku berjanji akan menutup mulut. Tapi, kau harus tahu kalau mengharapkan perasaanmu dibalas oleh Chanyeol adalah hal yang mustahil. Kuharap kau siap menerima penolakannya.”

Hyegi benar-benar bingung. Apakah ia harus memberitahu kepada Yeonju yang dilakukan Chanyeol? Itu akan membuat hati Yeonju terluka. Atau apakah ia tetap membiarkan Yeonju memelihara rasa cintanya?

“Aku siap.” gumam Yeonju. “Sangat siap.”

 

 

 

 

***

To Be Continued

***

 

Tolong kirim kritik dan saran kalian di socmed yang tersedia:

Twitter: @diptiwys | Email: houseofallendale@yahoo.com

 

229 pemikiran pada “Private Arrangement (Chapter 3)

  1. em di chapter ini mengandung sedikit unsur dewasa jadi kan wajar karena genrenya sendiri marriage life, lagipula aku juga suka the way you wrote for the mature content, keliatan jelas bgt gimana sikon mereka berdua waktu scene itu

  2. chanyeol such a fucking guy! mau rutuki dia deh serius! gimana bisa malam pertama kya gtu ya.. walaupun emg pernikahan ini cuman berlandaskan utk menghasilkan keturunan tapi kan tetep aja

Tinggalkan Balasan ke hanhana12 Batalkan balasan