Voyage

voyage

Judul:

Voyage

Author :

isanyeo

Main Cast

Park Chanyeol;You

Genre:

Romance ; Marriage-Life ; Slice of Life

Rating :

PG13

 

When I was going to be a mother.

            Itu mungkin adalah rabu ketiga bulan November. Ketika musim dingin datang dan kau menyambutku dengan kedua tangan membentang di depan pintu rumah kita. Kau selalu bisa terenyum tapi kau tak cukup tersenyum. Sehingga kapanpun aku melihatmu kau akan selalu memberikan senyuman itu padaku. Apakah kau ingat sayang? Ketika pada rabu ketiga bulan November itu aku membisikkan rantaian kata-kata, kau berjingkrak dan menggendongku dan memutar-mutar tubuhku.

            “Aku akan menjadi seorang Ibu,” ucapku kala itu.

When she was born in this world.

            Sabtu kedua bulan Juli, malaikat kecil kita sudah menendang. Kau tak berada di rumah, Sayang. Hanya ada aku dan secangkir teh di atas meja. Aku memanggil rumah sakit secepatnya. Waktu itu aku bertanya-tanya apakah waktu itu sudah saatnya ia lahir. Tidak, sayang. Ia masih terlalu awal untuk itu. Hingga akhirnya mereka membawaku memasuki ruangan beraroma tawar itu tanpa mengenggam tanganmu, seperti apa yang aku bayangkan setiap hari menjelang kelahirannya. Ia masih terlalu awal, Ia tak akan bisa bertahan. Lalu hingga aku terbangun, kau sudah berada di sampingku dengan mata yang memerah. Tanganmu mengelus punggung tanganku, dan dari sanalah aku mengerti arti dari matamu yang memerah, suaramu yang parau dan suasana kamar yang begitu sunyi dan tawar.

            Tangisanku pecah. Tak ada suara yang terdengar namun air mata mengalir di pipi-pipi kita. Kau memelukku dengan tubuh yang bergetar membisikkan kata penenang, dan aku tahu bahwa kau tahu kata-kata itu tidak beguna saat itu. Ia, malaikat kecil yang seharusnya sudah berada di antara kita, tak mungkin hadir lagi karena kelahiran prematur.

            “Maafkan aku Chanyeol. Maafkan aku.”

           Dan untuk pertama kalinya, kau tak menunjukkan senyuman lebar dengan daun telinga yang terlihat besar itu.

When you told me about rain and angel.

            Setelah hari itu kau selalu mengenggam tanganku dengan erat setiap malam. Membisikkan kata penenang dan manis itu. Apakah kau ingat, Sayang? Ketika dimana hujan turun kau bilang malaikat datang bersama tetesan-tetesan air yang menyentuh tanah. Dan kau bilang, mungkin jika itu jatuh ke tanganmu, salah satunya adalah dia, malaikat kecil kita yang seharusnya kini ada di antara kita. Tapi aku tak pernah mengulurkan tanganku pada hujan. Kau tahu kenapa, Sayang? Karena aku takut ketika ia menyentuh tanganku dan hilang begitu saja, aku tak akan pernah merasakan ia kembali. Aku takut

            “Jika ia menyentuhku, apakah ia akan menghilang?”tanyaku kala itu. Kau tak bisa menjawab pertanyaanku.

When you shared your stories.

            Aku tak tahu hari apa dan minggu ke berapa pada bulan November itu. Setahun semenjak pertama kali aku dinyatakan akan menjadi seorang itu. Kita berdua berakhir di dipan dekat jendela. Sela-sela jemari tanganmu penuh dengan milikku. Merangkulku dan meletakkan dagumu di puncak kepalaku, dan tak pernah melewatkan kata manis itu. Park Chanyeol, aku mengetahui egalanya tentang dirimu, bagaimana kau membenci telur yang kurang matang atau kau sangat menyukai aroma vanilla di kue. Hingga pada hari itu, kau mengaku padaku tentang kebiasaan barumu: menulis. Waktu itu aku hanya bisa terbahak-bahak mendengar sesorang sepertimu memiliki kegiatan baru menulis. Kau hanya diam dan menjitak kepalaku, aku masih mengingatnya, Sayang.

            “Sebagus apa tulisanmu, Park Chanyeol?” aku menggodamu dan kau balas dengan tulisan-tulisan yang terpancar dari layar monitor komputer yang menyala di ujung kamar.

When you said that writing is observng.

            Kau hanya tertawa saat aku telah selesai dengan semua tulisan-tulisanmu. Sayang, kau mampu melelehkanku dengan kata-kata manismu, namun kali itu kau membuatku menangis tersedu. Menulis itu observasi, katamu. Aku hanya menganggukkan kepalaku sembari membenamkan wajahku di lekukan lehermu. Mengecup sekali dua kali di atas kulit hangatmu. Waktu itu aku tak paham akan apa yang kau ucapkan, hingga entah bagaimana aku mulai menulis sama sepertimu karena satu alasan; Yang kau tulis adalah aku. Kau mengobservasi tentangku di setiap harimu, menemukan hal-hal baru yang terdapat di diriku lalu kau menuangkannya ke rantaian kata-kata manis nan indah itu.

            “Bagaimana kalau aku yang mulai mengobservasimu kali ini, Park Chanyeol?” godaku.

When I was really going to be a mother.

            Aku tak bisa berhenti mengucap syukur dan buncahan kebahagiaan itu tak bisa terbendung lagi terlebih kau datang melalui pintu depan dengan senyuman. Seperti biasa. Aku melompat ke arahmu dan memelukmu dengan erat, mengucapkan bahwa aku merasa begitu senang. Kuserahkan lembar putih dengan satu pernyataan itu kepadamu. Kau membaca sekilas dan aku yakin aku melihat genangan air di matamu. Lalu menghilang begitu saja ketika kau meraihku dan mengucapkan bahwa kali ini tidak akan sama seperti dulu. Aku berjanji waktu itu padamu, Sayang. Bahwa kali ini malaikat kecil kita akan hadir sehingga kau dan aku mampu merengkuhnya.

            “Aku benar-benar akan menjadi seorang Ibu, Chanyeol.”

When he was born safely.

            9 bulan 9 hari dia lahir ke dunia, Sayang. Mereka bilang 9 bulan 10 hari, nampaknya malaikat kecil kita hadir satu hari lebih awal . Aku bisa melihat senyumanmu kian melebar ketika jari-jari lentiknya mengenggam kelingkingmu, aku bisa melihat kebahagiaan di sana, Chanyeol. Lalu, ketika kau menyerahkannya padaku untuk pertama kali, aku merasakan aliran darahmu mengalir lebih cepat. Entah kata apa yang tepat selain ‘bahagia’ untukku waktu itu, seorang anak lelaki yang lahir dari rahimku, membawa sebuah kebahagiaan besar dalam keluarga kecil kita. Lalu yang kusadari, tanganmu mengusap pipiku perlahan, aku tak menyadari bahwa aku menangis. Bayiku lahir, Chanyeol. Bayi kita lahir dengan selamat.

            “Park Chanyoung,”bisikku kala itu ke telinga kecil malaikat kita.

When he was five.

            Aku menyadari bahwa perhatian kita berdua teralihkan oleh kehadiran Park Chanyoung. Meskipun sentuhan dan kata-kata manis berkurang, aku tahu bahwa kau juga tahu, hal itu bukan sesuatu yang kita perlu perdebatkan sekarang. Mungkin ketika kita masih muda, kita akan saling berargumen mengapa perhatian=perhatian itu berkurang. Namun waktu itu kita tahu, bahwa cinta kita sama sekali tidak berkurang, aku masih mencintaimu sama seperti sebelumnya dan kau juga demikian. Chanyoung, dia akan tumbuh sepertimu, aku berjanji Chanyeol, waktu itu aku akan membanggakanmu melalui Chanyoung, dia akan menjadi sosok yang kita banggakan.

            “Chanyeol, dia masih berusia 5 tahun. Bagaimana dia akan terlihat ketika dia berusia 10 atau mungkin 17?”tanyaku kala itu.

When he was 17

            Ada kalanya ketika aku dan Chanyoung, putra kebanggaan kita, memiliki argumen. Aku tahu bagaimana dia kesal ketika aku memarahinya ketika jam pulangnya terlambat, atau mungkin ketika dia tak berhenti memegang ponselnya. Meskipun kuakui aku tak bisa maah terhadapnya terlalu lama, mungkin itu hanya akan berlangsung satu kali sentakan atau dua. Senyumnya sama sepertimu, tawanya spertimu, hidungnya sepertimu, hanya saja telinga dan matanya tidak. Chanyeol, bagaimana aku mengatakan padamu bahwa aku sangat bahagia memiliki seorang putra bersama denganmu. Bagaimana dia sudah berusia 17 dan sebentar lagi dia akan memasuki pendidikan tertinggi, bagaimana dia akan menempuh hidup seperti waktu kita akan memasuki perguruan tinggi seperti dahulu.

            “Chanyeol. Apakah aku saja atau kau juga berpikir dia masih terlalu kecil untuk cinta? Padahal kita dulu merasa sudah besar?” ujarku yang hanya kau balas dengan tawa kecil.

When we approved their relationship.

            Kita sama-sama tak tahu bagaimana Chanyoung mendapatkan sosok wanita yang begitu cantik. Usiaku 47 waktu itu dan kau 49, tanpa terasa kita menua diiringi dengan Chanyoung yang sudah begitu dewasa. Ingatkah kau sayang? Bagaimana dia mulai merangkak, menyebutkan nama kita berdua, atau bahkan ketika hari pertamanya di sekolah. Seorang Ibu dan Ayah tak melupakan hal itu Chanyeol. Aku mencintai putra kita sama dengan aku mencintaimu. Terlalu besar. Hingga aku memikirkan bagaimana ia akan memiliki sebuah keluarga baru dan ia akan diurus oleh wanita yang ia pilih untuk menjaganya. Bagaimana ia berada di posisi kita kala itu.

            “Chanyoung. Aku mengizinkan kau dengan Kim Haeun.”Dan kau Chanyeol, memegang tanganku untuk menjadi tumpuanku, sehingga aku tidak akan menangis terharu di makan malam keluarga itu.

When we were at the wedding.

           Di usia 47 tahun aku masih bisa merasakan detak jantung yang sama ketika aku berusia 23 untuk menikahimu, Sayang. Itu bukan pernikahanku tapi kuarasa hari itu adalah hari yang sangat penting bagiku selain hari dimana akumenikah denganmu atau ketika aku kehilangan bayi perempuan kita atau ketika aku melahirkan Chanyoung dengan selamat. Chanyeol, ingatkah kau denganku yang menangis sebelum Chanyoung berdiri di depan altar? Apakah kau ingat mengapa aku tersedu kala itu? Kala itu aku mengelus puncak kepalanya sembari berharap apapun yang terbaik untuknya, berharap dia akan mendapatkan kebahagiaan yang sama atau bahkan lebih dari yang kumiliki sekarang. Lalu, ketika Chanyoung memelukku dan mulai terisak, Chanyeol, di sanalah aku mengerti bahwa bagaimanapun Chanyoung menyayangiku, dia menyayangi kita berdua. Chanyoung berbisik bahwa ia berterimakasih atas apa yang kita berikan padanya, betapa dia bersyukur memiliki kita, betapa dia bangga menjadi sosok yang berhasil berkat kita, betapa dia sangat menyayangi kita dengan segenap hatinya. Pada hari itu, Chanyeol, aku melepas anak lelaki kita untuk sosok wanita yang lebih baik.

            “Chanyoung, justru kita yang berterimakasih padamu. Kau menjadi sosok putra kebanggaan untuk kami,”bisikku kala itu di telinganya, sama seperti aku membisikkan kata-kata lembut ketika ia lahir.

When our home felt so empty.

            Mungkin ada kalanya rumah kita tak sehangat biasanya. Aku mulai bisa melihat kerutan di kedua sudut matamu atau mungkin kulit tanganmu yang tak sekencang dulu atau bahkan mendengar suara tulangmu yang berdecit. Chanyeol, bagaimana aku ingin mengatakan bahwa bagaimanapun dirimu, cintaku untukmu lebih besar kian harinya. Rumah kita tak terasa seperti biasanya, beberapa hari berlalu sejak pernikahan Chanyoung, dan rumah kita terasa sepi, tidak ada teriakan Chanyoung ketika dia terlambat untuk bangun pagi, atau suara langkah-langkah di lantai atas. Rumah kian sepi Chanyeol, tapi aku masih merasa bahagia karena aku tak sendiri, kau masih bersamaku.

            “Tak apa, Chanyeol. Setidaknya masih ada dirimu.”

When they said i am no longer strong enough.

            Tubuh kita menua, Chanyeol. Namun perasaan kita tidak. Kau bisa melihat tubuhku yang mengecil, atau tubuhku yang tak bisa mengangkat satu ember penuh cucian yang harus dijemur, atau membungkuk terlalu lama di tempat cuci piring. Aku juga bisa melihatmu memakai kacamata yang menghalangiku untuk melihat mata indahmu. Melihatmu terbatuk-batuk serig kali membuatku khawatir. Sayang? Apakah kau menyadari hingga saat ini aku tak pernah memanggilmu selain nama aslimu? Karena aku ingin memanggilmu sama dengan ketika pertama kali aku bertemu denganmu, ketika kita masih muda dulu. Karena meskipun aku sudah menua aku ingin hidup muda, ingin mempercayai bahwa aku akan selalu hidup denganmu, bahwa kau tidak akan meninggalkanku.

            “Mereka bilang aku tak cukup kuat lagi, Chanyeol.” Aku berbisik di udara malam ketika kau menghabiskan malammu di depan layar komputer, mengobservasi.

When our granddaughter was born.

            Kebahagiaan itu terasa lengkap ketika, Park Hayoung , cucu perempuan kita lahir dari rahim Park Haeun. Aku bisa merasakan apa yang Haeun rasakan, dan aku juga mengetahui Chanyoung menangis sepertimu dulu ketika dia lahir. Chanyoung butuh 3 tahun untuk memiliki Hayoung. Lalu ketika keinginan itu terpenuhi, aku dengan jelas bisa membayangkannya, Chanyeol. Apakah kau merasa bahagia juga kala itu? Pasti, kurasa.

            “Hayoung-ah, kau juga harus bisa menjadi kebanggaan kami semua.”

When it’s time to say goodbye.

            Chanyeol. Lelaki yang kucintai dari ketika aku tak pandai dengan segala hal hingga sekarang. Aku ingin betapa kau tahu aku tak pernah memiliki perasaan sebesar ini dan selama ini. Cintaku padamu tak bagai bunga apapun, karena bagaimanapun indahnya bagaimanapun harumnya, bunga akan tetap layu, aku tidak mau itu. Aku ingin cintaku seperti ini, apa adanya, tak dibandingkan atau dikiaskan dengan hal apapun. Aku ingin kau mengerti satu kata cinta bagiku berarti apapun. Kau duniaku, Chanyeol. Ingat ketika hari pertama semester pertamaku di perguruan tinggi. Kau dengan kacamata tak berkaca itu menghampiriku dengan senyum lebar itu. Aku masih mengingatnya, Chanyeol. Kenangan indah itu tak bisa terhapus. Aku merasakan setiap sentuhanmu dari tahun ke tahun, dimana sekarang tangan keriputmu masih sama hangatnya ketika memelukmu. Meskipun intensitas sentuhan itu berkurang, meskipun kita tak saling memeluk lagi ketika malam, atau kecupan singkat setiap pagi. Meskipun itu tak ada Chanyeol, perasaanku padamu masih tetap sama. Dan, untuk Chanyoung, beritahu dia bahwa dia tak perlu berterimakasih untuk segala yang kita laukan, justru kau dan aku yang harus berterimakasih, karena dengan lahirnya ia ke dunia, ia membawa kebahagiaan untuk kita, Chanyeol. Aku masih mengingat buncahan rasa sayangmu ketika dia lahir. Untuk Haeun, terimakaih sudah menjadi penggantiku untuk Chanyoung, aku tahu dai sedikit menyebalkan, tapi aku berterimakasih kau sudah mencintainya, kuharap perasaanmu akan selalu seperti itu kepadanya. Untuk, Hayoung, cucu pertama kita, aku tidak tahu bagaimana kau akan tumbuh besar nanti, tapi aku berharap aku masih akan bisa melihatmu tumbuh sebagai wanita anggun yang membanggakan. Karena aku, kakekmu, ibu serta ayahmu, selalu mencintaimu dengan segenap hati.

            Chanyeol. Terimakasih sudah menjadi hidupku. Terimkasih untuk kebahagiaan yang kau bagi bersamaku. Aku bukanlah istri yang sempurna Chanyeol, tapi aku yakin aku adalah wanita yang paling mencintaimu di dunia ini selain ibumu. Aku bukan ibu yang terhebat untuk anak kita, tapi melihat betapa bahagianya ia, itu sudah cukup bagiku. Pada akhirnya, aku mungkin akan membuatmu bersedih, Chanyeol. Tapi ingatlah, wanita ini akan selalu berada di sampingmu, meskipun raganya sudah bersatu dengan ombak laut yang menghanyutkannya.

Aku sengaja menulis ini Chanyeol. Berharap kau akan bangga karena aku mendengarkan dirimu tentang memulis adalah observasi. Lalu aku ingin bertanya padamu, apakah ini akhir dari observasiku, Chayeol?

            “Aku mencintaimu, atau kalau ada kata yang lebih dari itu, aku akan mengucapkannya.” Yang kutahu, kau hanya mengecup puncak kepalaku degan bergetar.

Chanyeol – Chanyoung.

            Chanyeol membaca halaman demi halaman di layar komputer miliknya. Chanyeong berhenti membacanya sejak lembar ke-5. Chanyeol tahu putranya pergi untuk menangis di kamar yang dulu ia tempati. 7 lembar penuh. Hanya 7 lembar tapi istrinya mampu menggambarkan semua kenangan mereka berdua.

            “Aku juga mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.”

Dengan batuk-batuk mengirinya, Chanyeol bangkit dan merebahkan dirinya di atas ranjang yang beberapa hari ini ditempatinya sendirian. Perjalanan hidup selama 68 tahun tidaklah mudah, namun penuh bahagia baginya. Dengan kata cinta yang manis itu, Chanyeol menutup matanya perlahan, merasakan nafasnya yang berat kemudian terhembus begitu keras. Ia rasa mungkin observasinya akan berhenti, akan sampai pada sebuah kesimpulan perjalanan hidup.

“After all. Love story is not just when the two meet each other or when the two lips united or when the climax shout at the same time. It is also when you were born until you will finish this journey of life in this world”. – Isanyeo

Hanya sebuah karangan yang dibuat dengan memikirkan sebuah kebahagiaan yang mugkin(mudah-mudahan) terjadi di hidup saya dan semua orang J

67 pemikiran pada “Voyage

Tinggalkan komentar