The Loveless Covenant (Chapter 1)

The Loveless Covenant

The Loveless Covenant

A fanfiction by marceryn

Rating : PG-15

Length : Multichapter

Genre : AU, Romance, Hurt

Casts : EXO’s Kai, Han Jaeyeon [OC], supporting by EXO’s members and others OCs

Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.

Note :: dipublikasikan juga di akun wattpad pribadi

~the loveless covenant~

Early warning: Chapter ini mengandung sedikit harsh scene(?) *LOL* masih tertahankan buat 15+ kok (kayaknya) (tergantung daya tahan masing-masing #apasih) Happy reading!

.

.

.

Semua orang yang mengenal Kim Jongin dengan baik tahu, jika laki-laki itu duduk bersandar dengan tangan bersedekap di dada, alis bertaut, dan sepasang matanya menatap tajam pada satu titik di kejauhan yang hanya dirinya sendiri yang bisa melihatnya, sebaiknya jangan mengusiknya selama beberapa waktu, karena itu berarti perasaannya sedang buruk. Sangat buruk. Tapi orang-orang yang mengaku teman-temannya tentu saja tidak repot-repot mematuhi peraturan ini.

Misalnya Park Chanyeol, yang langsung menyenyakkan diri di sofa empuk bar di hadapan Jongin dan menyilang kakinya penuh gaya. “Aku sudah melihat beritanya. Man, kau benar-benar membuat kekacauan.”

Jongin mendengus. Ia tidak perlu diingatkan tentang hal itu. Pagi ini ayahnya sudah membanting koran keras-keras ke atas meja makan, tepat di halaman yang memuat kebohongan besar itu dalam kolom setengah halaman, dan melontarkan sejuta makian ke depan mukanya.

CALON PEWARIS TUNGGAL KJ GROUP TERLIBAT KASUS PELECEHAN SEKSUAL, begitu judul raksasa beritanya.

“Seumur hidupku, aku tidak pernah dipermalukan sampai seperti ini!” sembur ayahnya, suaranya menggelegar di seluruh ruang makan keluarga. “Putraku satu-satunya kubesarkan dengan susah payah hanya untuk melempar wajahku dengan kotoran!”

Tidak, kau tidak melakukan apa-apa untuk membesarkanku, batin Jongin seketika. Tapi melihat pembuluh darah di leher ayahnya yang berkedut-kedut karena marah, ia memutuskan lebih bijaksana untuk diam saja.

“Sebelumnya kau berkelahi di klub, lalu mabuk-mabukan di hotel, dan sekarang ini. Sampai kapan kau akan terus bermain-main, hah? Berapa banyak lagi masalah yang ingin kau bawa ke rumah ini?!”

Koran di atas meja melayang ke dada Jongin yang berdiri mematung dengan lemparan penuh kemarahan, kemudian terbang berserakan di lantai.

“Apa yang bisa menghentikanmu?” seru ayahnya. “Kematian? Benar? Kau ingin aku mati lebih cepat, baru kau akan berhenti mencoreng nama baik keluarga ini?”

Chanyeol membuyarkan kilas balik singkat di dalam kepala Jongin dengan berkata, “Yah, kau memang membuat kehebohan besar kali ini.”

“Aku sudah lelah memberitahu semua orang, berita itu melebih-lebihkan segalanya,” kata Jongin malas.

Chanyeol mengangkat satu alisnya, tertarik. “Jadi, laporan si Miss X yang malang itu bohong?”

Jongin memutar bola matanya mendengar kata malang. “Apanya yang pelecehan seksual kalau dia benar-benar menikmati?” ia mencibir, teringat bagaimana perempuan yang melaporkannya ke polisi itu mengentak-entak bergairah di ranjang tepat tiga malam yang lalu. Kalau ada yang dilecehkan di sini, seharusnya itu Jongin. Percaya atau tidak, ia masih punya bekas-bekas cakaran kuku di punggungnya.

Chanyeol tertawa terbahak-bahak tanpa memedulikan perasaan temannya. Jongin harap lehernya patah saja sekalian, si brengsek ini.

Hey, Brother.” Satu lagi orang yang tidak diundang datang dan menghempaskan tubuhnya di sofa sebelah Chanyeol. “Kuharap aku belum ketinggalan banyak. Omong-omong, aku sempat melihat beritamu tadi siang di televisi. Hebat sekali.”

Oh Sehun menyambar gelas wiski Jongin di atas meja tanpa meminta izin. Jongin sudah terlalu terbiasa dengan ketidakpedulian dan sarkasmenya, jadi ia membiarkannya.

“Melihat kau masih bisa duduk-duduk di sini, kurasa ayahmu tidak akan membunuhmu untuk masalah pelecehan itu,” lanjut Sehun setelah meletakkan gelas kosong dari tangannya.

“Itu, atau ayahnya menyiapkan ganjaran yang lebih menyakitkan,” balas Chanyeol, masih tertawa-tawa.

Jongin cenderung lebih suka memercayai teori Sehun, tapi mengingat bagaimana perangai ayahnya, kemungkinan besar Chanyeol benar.

Sehun mengedikkan bahu. “Satu-satunya kesalahanmu adalah tidur dengan perempuan yang salah,” katanya.

Chanyeol mengangguk-angguk sok bijak. “Ya, berhentilah dengan hubungan semalam dan berkencan dengan benar.”

“Apakah kalian ayahku?” gerutu Jongin. “Tutup mulut.”

Chanyeol dan Sehun tertawa melihat wajah menggembung sebal Jongin.

***

“Jangan mencoba kesabaranku. Aku bisa menjual tubuhmu jika kau tidak mengembalikan uangku dalam dua minggu.”

Han Jaeyeon memeluk tubuhnya yang menggigil meski udara tengah malam ini tidak begitu dingin. Selama sejenak ia berdiri saja di sana, segaris lurus dengan pintu masuk klub ternama di seberang jalan. Kalimat yang baru saja menggema di dalam kepalanya membuat dadanya berdebar-debar tidak keruan. Dengan satu tarikan napas, ia memantapkan hatnya dan melangkah menyeberang.

Ingar bingar musik dari meja DJ sungguhan menyerbu telinganya pada detik pertama. Gadis-gadis bergaun supermini mengkilat, pria-pria bernapas alkohol, pramusaji berpakaian hitam-putih, semua memandangi Jaeyeon ketika ia lewat dengan langkah-langkah ragu. Jaeyeon merasa terkucil, masuk ke sana dengan mantel cokelat lusuh, celana jins, dan sepatu kets usangnya.

Seraya berjalan menyelip-nyelip kerumunan mencari meja bar, Jaeyeon berpikir ulang mengenai hidupnya yang menyebalkan. Seandainya saja ia masih punya orangtua, seandainya saja ia dilahirkan sebagai putri keluarga kaya, seandainya saja ia punya pekerjaan yang menghasilkan banyak uang, ia akan mendatangi klub ini dengan gaun kelap-kelip, minum dan bersenang-senang, bukannya mencari orang yang menjanjikan bantuan untuk utang tujuh puluh juta won yang saat ini mencekik kebebasannya.

Hidup ini aneh dan tidak adil, pikir Jaeyeon, bersamaan dengan matanya menemukan punggung tegap laki-laki berkemeja putih di salah satu kursi tinggi bar. Jaeyeon meneguk ludah dan menghampirinya.

“Kris?” ia setengah berteriak untuk mengalahkan suara musik di belakang.

Laki-laki tinggi itu menoleh, menatap mata Jaeyeon selama beberapa saat, kemudian berkata, “Han Jaeyeon, benar?” Ia tersenyum, memamerkan deretan gigi yang rapi dan bersih, dan menepuk kursi tinggi di sebelahnya sebagai isyarat mempersilakan Jaeyeon duduk. “Mau minum sesuatu?” tanyanya.

Dari struktur wajah dan aksennya, Jaeyeon yakin laki-laki itu orang asing. Ia duduk dan menggeleng sopan. “Tidak, terima kasih.” Ia datang ke sini untuk mencari uang, bukan utang tambahan.

“Jane sudah memberitahu segalanya tentangmu,” kata Kris.

Jane, atau Jaeyeon mengenalnya sebagai Jae-in, adalah orang yang memperkenalkan Kris pada Jaeyeon. Jaeyeon bertemu dengan Jae-in kemarin malam, saat Jae-in tidak sengaja melihat Jaeyeon dan rentenir yang mengejarnya di belakang restoran tempat Jaeyeon bekerja. Jae-in bersimpati atas masalahnya dan berbaik hati mencarikan temannya yang bisa membantu Jaeyeon melunasi utangnya.

“Jadi, kau butuh tujuh puluh juta?”

Jaeyeon meneguk ludah. “Kalau itu sulit, mungkin tidak perlu semuanya. Dua puluh juta saja untuk saat ini cukup.”

Kris terlihat berpikir sebentar. Jaeyeon memakluminya; dua puluh juta won pun bukan jumlah yang sedikit. Tapi kemudian laki-laki itu mengangguk. “Baiklah. Kurasa, aku bisa menyediakan dua puluh juta yang kau butuhkan malam ini juga dan memberikan sisanya minggu depan.”

Negosiasi ini berjalan terlalu lancar, tapi Jaeyeon keburu bersemangat dengan prospek kebebasannya. Memang ada saja orang di dunia ini yang hidupnya terlalu nyaman, dan laki-laki ini mungkin salah satunya. Pokoknya Jaeyeon tertolong, hanya itu yang penting.

Kris mematut tubuh Jaeyeon sekilas dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. “Tapi, kau mengerti, kan, aku tidak memberikan uang itu begitu saja?”

Jaeyeon mengangguk-angguk lagi. “Jaein bilang kau akan memberiku pekerjaan.”

Kris menyesap koktail berwarna biru dalam gelas tingginya, lalu berkata, “Yeah, semacam itu.”

“Aku bisa melakukan apa saja,” sahut Jaeyeon tanpa ragu. “Pekerjaan ringan atau berat tidak masalah. Aku tidak mudah lelah dan cepat belajar. Eh, saat ini aku bekerja sebagai asisten dapur, tapi aku bisa langsung bekerja di tempatmu sepulang dari sana.”

Jaeyeon tidak yakin apa yang lucu dari penjelasannya, tapi Kris tertawa mendengarnya. “Kurasa kau tidak mengerti.”

Dahi Jaeyeon berkerut. “Tidak, aku mengerti sepenuhnya.”

“Begitu?” Kris menyeringai kecil. “Baiklah. Kau bilang kau bisa melakukan apa saja, kan?”

Jaeyeon tidak sempat mengiyakan atau bertanya maksudnya, karena Kris turun dari kursinya dan berdiri. Tubuh bak modelnya menjulang tinggi, dan jemari jenjangnya meraih pergelangan tangan Jaeyeon, kemudian menariknya meninggalkan bar. Tapi mereka tidak pergi dari klub itu, melainkan memasuki koridor panjang yang mengarah entah ke mana. Koridor itu sempit dan penerangannya tidak bagus, dan sebelum Jaeyeon menyadari apa yang akan terjadi, punggungnya didorong ke dinding dan Kris mulai mencium lehernya.

“Apa-apaan—lepaskan!” Jaeyeon memberontak dengan panik, menggeliat dan menendang tidak tentu arah, tapi Kris mendesak tubuhnya dan mencengkeram kedua tangannya ke dinding seperti belenggu, sementara bibirnya yang basah bergerak dari lehernya ke tulang selangkanya. “Lepaskan aku!” ia menjerit. “Tolong!”

“Kenapa?” Kris berbisik di dekat telinganya. “Bukankah kau mau melakukan apa pun demi uang itu?”

Tapi bukan dengan ini. Jae-in bilang Kris akan memberinya pekerjaan, dan Jaeyeon sudah memastikan berulang kali kalau bukan ini maksudnya.

Seharusnya Jaeyeon sudah tahu, tapi ia malah dengan senang hati melangkahkan kakinya sendiri masuk ke dalam jebakan murahan seperti ini.

“Tolong!” Jaeyeon berteriak hingga suaranya pecah. “Lepaskan aku!”

Jaeyeon bisa merasakan tawa rendah laki-laki itu. “Menjeritlah semaumu. Tidak ada yang akan peduli. Tidak ada…”

***

Jongin mendengar kehebohan dari kamar mandi pria, dan sekarang ia melihat sebabnya, gadis itu menjerit dan meronta dalam kekangan yang tidak akan bisa dilepaskannya. Menilik penampilannya yang sangat tidak khas tamu tetap klub, gadis itu jelas tidak punya pengalaman menghadapi kuatnya laki-laki yang bergairah.

Jongin sedikit kasihan padanya. Tapi ia sudah punya cukup banyak masalah untuk sehari, dan sikap sok heroik tidak akan membantunya sama sekali.

Di satu sisi, Jongin harus melewati mereka untuk kembali pada Chanyeol dan Sehun di lantai atas, dan ia tidak mungkin melakukannya dengan mengendap-endap di belakang mereka. Lagipula, suara melengking gadis itu benar-benar menandakan ia butuh bantuan.

Jadi Jongin mendekat, meraih belakang kerah kemeja si laki-laki tinggi dan menariknya lepas dari gadis itu. “Hentikan. Kau menyakitinya.”

Punggung gadis itu merosot dan ia terduduk di lantai, kedua tangannya terkepal erat di depan dada dan tubuhnya gemetar ketakutan seperti anak anjing tersesat.

“Siapa kau?” bentak laki-laki itu. “Jangan ikut campur!”

Cih, lagaknya sudah seperti pemilik klub saja. “Aku juga tidak tertarik pada urusanmu,” balas Jongin. “Tapi gadis itu jelas-jelas menolakmu, jadi sebaiknya kau menyingkirkan hidung asingmu dari sini sekarang.”

Mungkin seharusnya Jongin tidak berkata begitu. Detik berikutnya, sebuah tinju menghantam kuat tulang pipinya. Ia terhuyung mundur dengan wajah berdenyut-denyut. Tinju yang kedua menyusul, tapi Jongin sudah siap menghindar dan membalas dengan pukulan telak ke rahangnya.

Gadis itu hanya bisa memekik-mekik tanpa melakukan apa pun.

Gairah macam apa pun yang sempat dirasakan laki-laki itu tadi berbalik menjadi amarah. Ia menyambar kerah kemeja Jongin dan memukuli wajahnya tanpa memberi kesempatan melawan. Jongin menendang perutnya sekuat tenaga dan mereka berdua sama-sama terhempas dengan punggung menabrak dinding.

Sebelum perkelahian itu berlanjut, seorang petugas keamanan yang mendengar keributan menampakkan diri. Jongin membatin, jadi oke-oke saja seorang gadis dilecehkan, tapi tidak boleh ada perkelahian. Hidup ini memang aneh.

Laki-laki itu sepertinya tidak ingin status tinggalnya di negara ini terancam, karena ia segera meluruskan kemejanya, melempar tatapan sengit pada Jongin, dan berderap pergi. Si petugas keamanan memandangi Jongin, lalu mengikuti punggung laki-laki tinggi itu.

Jongin mengelap darah dari sudut bibirnya yang nyeri dengan ibu jari. Yah, setidaknya kalau laki-laki tadi aman, ia juga tidak akan mendapat masalah tambahan.

“Te-terima kasih.”

Jongin menoleh pada gadis itu. Ucapan terima kasihnya terdengar seperti suara mencicit tikus. “Kau tidak apa-apa?”

Gadis itu mengangguk takut-takut dan perlahan berdiri. Rambutnya acak-acakan, wajahnya berbekas air mata, dan pakaiannya lusuh. Jongin mau tidak mau bertanya-tanya apa yang dilakukan gadis semacam ini di sebuah klub. Ia tidak terlihat seperti orang yang bisa membayar ratusan ribu untuk segelas minuman, dan bagaimana dengan perlakukan laki-laki tadi padanya?

Tapi bagaimana pun itu bukan urusannya.

“Pulanglah,” kata Jongin, lalu berjalan meninggalkan gadis itu di sana.

Ketika ia kembali ke atas, hanya ada Chanyeol di sofanya. “Sehun mendapat telepon dari wanita itu dan harus pergi,” Chanyeol mengumumkan sebelum ditanya, lantas berdecak-decak. “Dia sama sekali tidak mengerti apa yang dihadapinya.”

Jongin kembali duduk di sofanya tanpa memerhatikan perkataan Chanyeol.

Ya, wajahmu kenapa? Kau jatuh membentur keran atau apa?” tanya Chanyeol.

Jongin menggeleng. “Bukan apa-apa,” jawabnya. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel dan menyadari sesuatu.

“Sekarang apa?” Chanyeol bertanya lagi ketika melihat Jongin tercenung seperti orang melamun.

“Apa? Tidak. Sebentar.” Jongin berdiri lagi dan bergegas kembali ke koridor tadi. Kosong. Tidak ada apa pun. Gadis itu sudah pergi, begitu juga dompetnya yang kemungkinan besar terjatuh ketika ia berkelahi tadi. Oh, sial.

***

Selepas shift kerjanya hari ini, Jaeyeon berdiam diri di ruang ganti pegawai dan menempelkan dahinya yang berat ke pintu lemari penyimpanannya. Tinggal sebelas hari lagi sebelum rentenir itu kembali, dan ia belum menemukan jalan keluar.

“Jaeyeon-ah, belum pulang?” Mina, salah satu koki pasta, masuk ke ruang ganti dan langsung menuju lemarinya yang tepat di sebelah lemari Jaeyeon.

“Belum,” jawab Jaeyeon dan mengancingkan kancing teratas kemejanya yang tadi ditinggalkan karena pikiran tentang utang sialan itu.

Mina membuka celemek dan baju kokinya sambil bersenandung dan berganti memakai blus, lalu membubuhkan sedikit parfum di lehernya. Semua koki laki-laki sudah pulang, jadi ia tidak khawatir pintu ruang ganti dibuka tiba-tiba saat ia berganti pakaian. “Hari ini capek, ya? Kau mau pergi minum dulu?” ajaknya.

Jaeyeon menggeleng dan memaksakan senyum seadanya seraya mengambil tas selempang dan menutup pintu lemarinya. “Tidak, aku mau langsung pulang saja.”

“Ayolah, aku yang traktir. Sepertinya kau sedang butuh. Di dekat-dekat sini saja, oke?” Tanpa menunggu penolakan, Mina meraih tangan Jaeyeon dan menariknya riang.

Mereka mampir ke rumah makan kecil dua puluh empat jam yang menjual soju dan makanan hangat. Mina memesankan sebotol minuman dan dua mangkuk sup ikan.

“Kau punya masalah apa?”

Jaeyeon menenggak segelas penuh soju dari gelas putih plastik. Masalah? Ia punya banyak. Dan semua berakar dari satu hal; uang. Tapi Jaeyeon tidak bisa mengatakannya. Mina memang teman yang baik, tapi bagaimana jadinya jika ia kelepasan mengatakannya pada orang lain di restoran? Jaeyeon tidak mau siapa pun tahu, terutama Do Kyungsoo.

“Aku merindukan ibuku,” jawab Jaeyeon akhirnya. Yang ini bisa dibilang benar.

Mina menuangkan soju lagi ke dalam gelas Jaeyeon. “Aku mengerti,” katanya, air mukanya menggelap. “Kadang aku juga merindukan ibuku.”

Mereka sama-sama kehilangan orangtua di usia muda, yang mungkin menjadi alasan kenapa mereka cepat akrab. Tapi Mina memiliki kerabat yang baik, sedangkan Jaeyeon tidak punya siapa-siapa. Kadang-kadang itu membuatnya benar-benar iri.

“Di hari libur nanti, pergilah menengoknya,” usul Mina.

Jaeyeon menghabiskan gelas keduanya dan mengangguk. “Baiklah.”

Mina tersenyum dan meminum soju-nya, puas karena berpikir ia sudah berhasil menghibur Jaeyeon walaupun sedikit. Pandangannya kemudian terarah pada televisi kecil yang digantung di dinding yang menyiarkan acara berita malam. Ia seketika mendengus sinis. “Dasar orang kaya. Dia pikir kita semua bodoh?”

Jaeyeon menoleh ke belakang, melihat sejenak apa yang ditonton Mina. Berita itu menyiarkan konferensi pers untuk mengklarifikasi kasus pelecehan seksual yang sebelumnya dilaporkan seorang wanita yang identitasnya dirahasiakan. Wanita itu hadir di sana, dengan wajah disamarkan dengan mozaik, menyatakan permintaan maaf terbuka pada pihak tertuduh dan mengakui kesalahannya.

“Kim Jongin itu lolos terlalu mudah. Berapa besar yang dikeluarkan KJ Group untuk menutup mulut wanita itu?” gerutu Mina.

Telinga Jaeyeon menegak. “Siapa?”

“Kim Jongin,” ulang Mina tanpa menyadari nada terkejut dalam pertanyaan Jaeyeon. “KJ Group sudah sering muncul di halaman bisnis, tapi seperti itulah kelakuan calon pemimpin barunya.” Mina menuding televisi dengan dagu untuk menegaskan maksudnya, lalu berdecak-decak. “Perusahaan itu harus segera melelang saham-saham mereka sebelum si Kim Jongin itu naik tahta dan menghancurkan segalanya.”

Jaeyeon melirik lagi berita di belakangnya. “Mungkin saja itu memang kesalahpahaman.”

Mina mendengus mengejek. “Orang-orang kaya seperti itu melakukan apa saja demi reputasi mereka, termasuk mengeluarkan sebanyak mungkin uang,” cibirnya. “Tapi sekali orang brengsek, tetap orang brengsek. Kau tahu, laki-laki itu sudah bolak-balik masuk berita. Seluruh hidupnya skandal. Katanya dia adalah anak dari istri simpanan, jadi mungkin kelakuan itu sudah turunan.” Mina menenggak soju lagi dan mendesis ketika cairan itu menuruni tenggorokannya. “Kim Jongin itu mungkin berpikir dunia berputar untuknya. Lihat saja, dia akan muncul lagi di berita dalam waktu dekat.”

Meski terdengar sebal, Mina tidak mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Tidak seperti Jaeyeon, ia punya waktu untuk menikmati berita-berita seperti ini.

Jaeyeon sendiri tidak memerhatikannya lagi. Ia menunduk, menatap dompet kulit yang menyembul dari dalam tasnya. Ini dompet laki-laki yang menolongnya di klub kemarin malam. Jaeyeon sudah melihat isinya saat menemukannya; tiga ratus ribu won, kartu kredit hitam, SIM, dan kartu tanda pengenal milik Kim Jongin.

Jaeyeon membenci orang kaya karena mereka lahir dan hidup dalam kenyamanan, tidak pernah menyentuh kesulitan seperti yang harus dilaluinya. Tapi, laki-laki yang menolongnya di klub kemarin tidak terlihat seperti orang brengsek yang dibicarakan Mina.

***

Perut Jongin mulas. Selalu seperti itu rasanya masuk ke ruang kerja ayahnya yang berbau seperti buku baru dan tertata rapi sampai tahap menyeramkan.

Ayahnya duduk di balik meja kerja kayu jatinya. Suara langkah kaki Jongin ketika berjalan masuk menggema di langit-langit.

“Ada yang ingin kubicarakan. Kupikir kau sudah tahu apa,” kata ayahnya setelah Jongin duduk di hadapannya.

Sudut bibir Jongin masih memar setelah kejadian kemarin malam, tapi sepertinya ayahnya tidak memerhatikan. Syukurlah. Jongin berusaha tidak terlalu mendongakkan kepala agar memar itu tidak memamerkan diri.

“Terima kasih telah menyelesaikan kasus itu,” Jongin berkata resmi sebelum diminta. Sebenarnya ia tidak merasa perlu berterima kasih—ia kan tidak bersalah—tapi ayahnya bisa saja membiarkannya duduk di kursi ini selamanya sampai ia mengatakan itu.

Ayahnya mendengus. “Aku tidak membereskannya untukmu, tapi untuk perusahaan. KJ Group tidak bisa diwariskan pada orang yang punya catatan kriminal.”

Aku tahu, Jongin menjawab bosan dalam hati. Selama sejenak keheningan mengisi ruangan, lalu ia berdeham dan bertanya, “Apa ada hal lain yang ingin Abeoji katakan?”

“Ya. Kau akan menikah.”

Jongin tidak merasa pernah menunjukkan keinginan menikah, atau gejala sedang mempersiapkan pernikahan, jadi ia tidak mengerti apa yang ayahnya bicarakan.

Tapi ayahnya sepertinya lebih tahu. “Kau akan menikah akhir musim gugur tahun ini, setelah putri keluarga Jang kembali dari Kanada.”

Jongin melupakan urusan memar dan mengangkat kepala menatap ayahnya dengan kedua alis bertaut. “Menikah? Putri keluarga Jang?”

“Semua orang setuju sudah saatnya kau berhenti bermain-main dengan hidupmu,” kata ayahnya dengan nada memerintah yang tidak ditutup-tutupi. “Putri keluarga Jang adalah pasangan yang tepat untuk mendampingimu sebagai pemimpin di masa depan. Dia pintar dan berasal dari keluarga terpandang. Keluarganya dan keluarga kita sudah lama berhubungan dekat dalam urusan bisnis. Dia perempuan yang bisa dibangga—”

Setiap kata yang meluncur keluar dari bibir ayahnya seperti menyulut kursinya dengan api. Jongin berdiri dengan satu sentakan keras. “Aku tidak akan menikah.”

Rahang ayahnya terkatup rapat dalam usaha menahan amarah. “Kau akan menikah,” katanya keras kepala. “Ini perintah.”

“Tidak akan pernah,” balas Jongin sama keras kepalanya. “Tidak peduli apa pun yang ‘semua orang’ itu atau Abeoji katakan.” Kemudian ia berbalik dari tempatnya.

“Kim Jongin, kembali ke sini!” Suara ayahnya menggelegar, memantul-mantul di antara dinding dan rak buku yang sesak, tapi Jongin membanting pintu ruang kerja di belakangnya dan terus berjalan meninggalkan rumah besar itu. Pelayan-pelayan rumah di pintu hanya berani menatapnya pergi tanpa berusaha mencegahnya.

Jongin menyetir mobil sejauh mungkin dari rumah terkutuk itu dengan kecepatan yang dihasilkan rasa marah, lantas berhenti mendadak di bahu jalan raya dengan kepala mendidih. Dalam kebenciannya, berbagai pengandaian bermunculan dalam kepalanya.

Seandainya saja ibunya tidak pernah bertemu pria kaya idamannya dan melahirkan Jongin, seandainya saja Jongin bukan anak laki-laki, seandainya saja hari itu Jongin melompat dari jembatan penyeberangan dan mati di tengah jalan raya yang padat… yah, hidupnya—atau matinya—pasti jauh lebih baik. Tidak ada yang akan mengatur-atur masa depannya dengan rencana yang bahkan tidak diinginkannya.

Ponsel di dasbor berdering nyaring dan Jongin menjawab ketus tanpa melihat peneleponnya, “Apa?”

“Astaga, menu makan malammu ikan buntal, ya? Durinya langsung masuk ke telingaku,” sahut Chanyeol di seberang sana dengan nada bergurau. “Aku bosan. Mau ke klub? Aku yang traktir.”

Kau bosan nyaris setiap malam, Jongin hampir berkata begitu, tapi mengurungkannya dan malah mengiyakan. Lagipula ia juga tidak berencana pulang ke rumah sampai ayahnya berangkat kerja besok pagi.

Jongin memutus sambungan dan meletakkan ponselnya kembali ke dasbor. Ia baru melepas rem, memutar setir kembali ke jalan raya, dan akan menginjak pedal gas ketika matanya tidak sengaja melirik ke arah trotoar yang lengang dan melihat seorang gadis melangkah sempoyongan.

Ia mengerjap-ngerjap. Bukankah itu gadis yang ada di klub kemarin?

Gadis itu hampir menabrak pohon dan berjalan oleng menghindarinya, satu tangan memegangi kepalanya seolah takut kepalanya lepas. Sepertinya gadis itu akan jatuh kapan saja.

Jongin mendapati dirinya mendengus dan menyeringai miring ketika mengingat kejadian kemarin. “Apalagi yang dia lakukan sekarang?” gumamnya. Lantas, sebelum genap menimbang-nimbang, ia batal menginjak pedal gas dan turun, langsung menghampiri gadis itu. “Hei, Nona—”

“Oh?” Gadis itu mengangkat matanya yang tidak fokus, menatap Jongin, lalu tersenyum lebar seperti orang bodoh. “Wah, lihat, ini malaikatku! Hai, Malaikat~”

Belum sempat Jongin mengerutkan wajahnya mual, gadis itu tahu-tahu melemparkan dirinya dan memeluknya erat-erat sampai Jongin hampir terhempas ke belakang.

Ya! Lepas—”

“Tidak boleh pergi,” gadis itu berseru melengking. “Jangan ke mana-mana. Bantulah aku. Kumohon. Aku tidak punya siapa-siapa selain kau. Aku membutuhkanmu.”

Jongin mengerang, “Oh, ya ampun,”

“Apakah itu surga? Apakah kau tinggal di sana?” Gadis itu mengacung-acungkan satu tangannya ke atas dengan liar, sementara tangan yang lain masih mencengkeram pinggang Jongin. “Kau datang untuk menjemputku, kan? Ayo, kita pergi ke sana, ayo…”

“Sinting,” Jongin mendesis. Gadis itu praktis bergelantungan di tubuhnya, dan walaupun kelihatan kurus, ternyata ia lumayan berat.

Gadis itu tertawa-tawa seperti anak kecil mendapat permen, mendongak, dan berseru keras-keras, “Haloo! Malaikatku sudah tiba. Langit, cepat bawa kami pergi dari sini! Yuhuu~”

Beberapa kepala menoleh pada mereka dengan terkejut, kemudian menggeleng-geleng. Jongin terbakar malu dari kepala sampai ujung kaki. Ia menyentakkan gadis itu lepas darinya, tapi mungkin ia terlalu kasar, karena gadis itu langsung terduduk di aspal, kemudian terkulai ke samping dan meringkuk.

“Masa bodohlah,” gerutunya dan kembali ke mobil. Tapi ia merasakan tatapan orang-orang di belakangnya, tatapan mencela, ingin tahu, menghakimi. Apakah kejadian ini akan masuk koran lagi? ‘Calon Pemimpin KJ Group Menelantarkan Gadis Mabuk Di Jalanan’? Terbayang kembali wajah ayahnya, mata menyala murka, menyumpah-nyumpah. Mungkin kali ini Jongin akan langsung dikirim ke barak militer.

Degan berat hati, ia memutar langkah kembali pada gadis itu, membantunya berdiri, dan memapahnya masuk ke kursi depan mobilnya, lalu berjalan memutar ke kursi kemudi dan menutup pintu mobilnya.

“Rumahmu di mana?”

Gadis itu menggumam-gumam tidak jelas.

Ya, rumahmu di mana?”

“Di mana pun.”

Jongin menarik napas dalam-dalam. Sabar. “Aku akan mengantarmu pulang. Cepat katakan.”

“Bubumba,” gadis itu mengigau dan meringkuk menghadap jendela.

Ya, Nona.”

Hening.

“Nona?”

Gadis itu tidur.

Jongin membentur-benturkan dahinya pada setir, merutuk frustasi. Sekarang ia sedang melibatkan diri dengan apa?

=to be continued=

Haaaaaai ._.)/

Rasanya makan waktu lamaaaa buat nulis cerita baru setelah Ten Years Forwarded. Kayaknya aku kebanyakan menikmati liburan *sigh* dan kurasa aku sakit waktu nulis ini #plak ehem. Oke. Sebagai author-nya Chanyeol *dont correct me i like that name LOL* aku berusaha keluar dari zonanya sementara dan berpetualang dengan karakter lain. Haha. Kuharap hasilnya bakal oke (nggak berharap terlalu banyak tapi biarlah, haha). Tell me what do u think about this XD

XOXO!

12 pemikiran pada “The Loveless Covenant (Chapter 1)

  1. Penasaran lanjutannya seperti apa.. Apa nanti Jaeyeon akan minta tolong tentang utangnya ke Jongin?
    Ohiya ini baru pertama kalinya aku baca ceritamu dan sepertinya aku suka, aku juga mau baca karya-karyamu lain..

Tinggalkan komentar