Seonsaengnim (Chapter 16a)

A Storyline Present by @diantrf

Seonsaengnim

Main Cast:
Xiao Luhan, Park Chanyeol, Kim Junmyeon/Suho (EXO) | Park Cheonsa (OC)
Other Cast:
Oh Sehun, Kim Jongdae/Chen, Kim Minseok/Xiumin, Zhang Yixing/Lay, Wu Yifan/Kris, Byun Baekhyun (EXO) | Kim Myungsoo/L (Infinite) | Jung Jinyoung (B1A4) | Lee Gikwang (Beast) | Kang Jihyun/Soyou (Sistar)

Genre: Fantasy, Romance, Mystery, School-life | Rating: PG-17 | Length: Chaptered

Prev:
Part-1 | Part-2 | Part-3 | Part-4 | Part-5 | Part-6 | Part-7 | Part-8 | Part-9 | The Princess of Darkness (Teaser) | Intro Charas | The Princess of Darkness (1) | The Princess of Darkness (2) | Part-10 | Part-11 | Part-12 | Two Souls (Teaser) | Two Souls (1) | Two Souls (2) | Part-13a | Part-13b | Part-13c | Part-14 | Part-15

0o0

Tak tahu arah mana yang dituju, aku hanya melamun sepanjang perjalanan. Kuda ini pun hanya terdiam dan terus menggerakkan kakinya, berlari ke satu arah yang pasti. Seperti mimpi, aku hanya terdiam dan terus diam. Seperti mimpi, hanya ada bisikan angin. Seperti mimpi.

“Bunda!”

Seperti mimpi, tapi teriakan Sehun bukanlah mimpi bagiku. Terdengar sangat nyata, dan memang sejak meninggalkan kandang pun aku mendengar suara teriakan Sehun. Sialnya, aku tidak bisa menoleh ke belakang jadi aku tak dapat memastikan.

Ini seperti adegan kejar-kejaran dalam film peperangan kuno, hanya saja Sehun bukan dalam posisi sebagai musuh. Kini aku berada di antara dunia nyata dan mimpi dalam khayalan. Mungkin karena laju kuda yang terlalu cepat sehingga membuatku pusing dibuatnya.

Sebenarnya tempat itu ada di mana? Sepertinya sudah terlalu lama kuda ini berlari namun tak juga sampai ke tempat tujuan. Apa aku dikerjai? Apa jangan-jangan benar kata Baekhyun bahwa hantu penunggu hutan ini sering jahil dan mereka masuk ke dalam pikiranku, membuatku mendengar hal yang tidak-tidak?

“Putri, menunduklah!”

“Akh!” Terima kasih atas peringatannya tuan kuda, tapi itu terlambat.

Aku memejamkan mata sejenak, berusaha tidak melihat ke arah lengan kananku ini. Kuyakin ini berdarah, dan aku tak ingin melihatnya karena jika kulihat pasti rasa sakitnya akan semakin menjadi. That bastard branch!

“Bunda! Bunda, berhenti!—akh!”

Sehun? Sehun?! Kenapa, maksudku, Sehun kenapa? Apa ia terkena dahan pohon juga atau bagaimana? Tapi jeritan itu terlalu keras untuk ukuran terkena dahan pohon sepertiku.

“Oh, God, why these eyes must open?!”

Aku mengumpat kala tak sengaja mataku refleks terbuka mendengar teriakan kesakitan Sehun. Oh Tuhan, ini bukan hanya luka, lenganku benar-benar robek dari bahu sampai siku. Darah layaknya arus sungai yang dengan deras keluar, mungkin aku bisa mati saat ini juga jika tak kunjung sampai ke tempat Lily berada.

Suara Sehun tak terdengar lagi. Apa yang terjadi dengan anak itu? Jika Sehun terluka atau hal buruk lainnya terjadi maka aku tak akan sanggup memaafkan diriku sendiri. Lebih baik aku mati sekarang juga karena kehabisan darah.

“Putri, tutup matamu.”

“Apa? Hey!”

Oke, yang barusan itu seperti… menyeberangi dunia yang berbeda. Rasanya menggelitik dan sangat aneh. Apakah itu yang Vine katakan sebagai batas dimensi sihir? Apakah aku berhasil masuk ke wilayah tempat Lily berada? Tapi, di mana naga itu?

Di mana Luhan?

Kami—aku dan tuan kuda yang manis ini—masih berlari menembus pepohonan. Bukankah kami telah melewati perbatasan itu, tapi mengapa masih juga harus berlari sejauh ini?

Baru aku akan bertanya pada kuda ini, tapi ia telah lebih dulu berhenti. Aku segera turun dan menuntunnya untuk berjalan ke depan, memasuki semak-semak yang seperti tirai di hadapan kami. Begitu kusibakkan dedaunan ini, mataku hanya mampu membulat karena takjub.

Hutan ini memiliki aura yang remang, mungkin sedikit bumbu mistis dan hawa yang dingin. Namun yang di hadapan kami tak ayal bukanlah sebuah hutan yang sama. Hanya taman yang sangat luas, agak jauh dari kami berdiri bangunan batu yang sama persis dengan kandang naga sebelumnya. Mungkin itulah tempat di mana Lily berada.

Suasana di sini hangat, matahari yang terbenam tidak melunturkan kehangatan tempat ini. Sangat cantik, sampai aku melupakan rasa sakitku untuk sejenak.

Eh? Rasa sakit?

“Akh, Cheonsa kau memang bodoh!” unpatku setelah lagi-lagi melihat lenganku yang mengenaskan ini. Lukanya tidak tertutup otomatis seperti biasa, kurasa aku butuh donor darah setelah pulang nanti.

Dan satu lagi. Ingatkan aku untuk tidak membicarakan luka ini lagi. Sangat menyakitkan.

Mencoba fokus melupakan rasa sakit ini, aku kembali menuntun tuan kuda untuk berjalan menuju bangunan batu itu. Sepanjang jalan ini sunyi, hanya ada aduan rerumputan bersama angin sore, atau suara burung laut yang beranjak pulang ke sarangnya. Eh, burung laut? Apakah istana ini dekat dengan laut?

Kepalaku yang masih memikirkan sang burung laut itu terpaksa harus menerima asupan lainnya. Karena aku melihat banyak sekali bunga anyelir di sini, dan bodohnya baru menyadarinya sekarang.

Oh, jika hanya rumpunan bunga anyelir mungkin aku tak terlalu kaget atau sibuk menerka-nerka. Bunga anyelir yang kumaksud di sini ialah rangkaian bunga yang disambung membentuk tirai-tirai cantik di sekeliling pepohonan. Pasti dibuat oleh seseorang.

“Tuan kuda, tunggu di sini, ya?” tanyaku sambil mengikat tali kekangnya di salah satu pohon yang rindang. Ia hanya menunduk sekilas sebagai jawaban.

Setelah selesai aku langsung berjalan pelan menuju bangunan itu. Entah mengapa, seperti ada sihir yang sangat kuat di dalamnya. Sangat amat kuat. Tapi berbeda dari saat sebelumya, kepekaanku mulai meluntur perlahan. Mungkin beberapa menit lagi akan menghilang dengan sendirinya.

Tunggu, apakah perlu darah juga untuk masuk ke dalam?

“Eh? Darah? Ya, Cheonsa jangan pikirkan luka ini lagi!” Uh, ini membuatku semakin gila.

Mungkin aku benar-benar akan kembali menjadi manusia, karena sekarang aku mulai mual mencium bau darahku yang—huh, masih saja mengungkit tentang darah. Ya, stop it!

Berdiam diri sejenak, aku kembali melangkahkan kaki. Hingga tak terasa aku telah tepat berdiri di depan pintu batu berdaun dua seperti sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda kenop atau apa pun itu berarti pintu ini memiliki sistem kerja yang sama dengan sebelumnya.

Sialnya bagiku karena luka ini sudah tidak mengeluarkan darah lagi, hanya ada darah kering di sekitar lukanya. Mau tak mau aku harus memutar otak untuk mencari bagaimana cara membuka pintu ini.

Aku tak bisa melakukan sihir untuk memunculkan pisau seperti Baekhyun, dan sepertinya taringku sudah kehilangan nilai fungsinya sejak beberapa hari yang lalu. Apakah tak ada benda tajam apa pun di sini? Batu pipih tajam atau mungkin pecahan kaca dan sebagainya?

“Ah, itu dia!” Refleks aku berlari kecil menghampiri beberapa tumpukan batu di dekat dinding bangunan.

Setelah aku semakin mendekat, satu hal yang baru kusadari ialah bahwa itu bukanlah tumpukan batu. Agak mirip seperti batu memang, namun benda itu bening seperti kaca. Kuambil salah satunya, dan kembali aku menyadari hal lainnya. Ini bukan kaca, tapi bukan juga sembarang batu. Ini batu darah.

Ya, batu darah asli memanglah batu zamrud berwarna transparan atau bening, dinamakan batu darah karena batu ini bisa menyimpan sihir darah, seperti tiara yang kutemukan di kamar waktu itu. By the way, aku penasaran apakah tiara itu masih berada di tangan Sehun atau tidak.

Aku mengambil salah satu yang paling tipis dan tajam lalu kembali mendekati pintu batu. Awalnya aku agak ragu, apakah memang benar ini bangunan tempat Lily dan Luhan berada? Jangan-jangan ini hanya gedung tua kosong biasa. Hah, akhirnya aku sudah tak bisa merasakan sihir lagi, kurasa aku benar-benar akan menjadi manusia jika tak kunjung kutemukan Luhan.

Juga, aku masih ingat suatu fakta—entah mengapa aku bisa mengetahuinya—bahwa batu darah benar-benar bisa melukai manusia biasa. Aku tak tahu definisi dari kata ‘melukai’ itu akan seperti apa, mungkin terbakar atau meledak, tapi yang jelas aku harus memikirkan matang-matang hal ini.

Aku hanya punya satu kesempatan dengan beberapa kondisi. Pertama, aku harus yakin bahwa bangunan ini benar-benar sebuah kandang naga dan terdapat Lily juga Milan di dalamnya. Kedua, jika aku salah, aku bisa saja mati karena menggoreskan tanganku untuk hal konyol jika saja kondisi pertama tadi meleset dari perkiraan. Ketiga, sebenarnya aku takut dengan darah.

Oke, ini memalukan. Aku mungkin menjadi seorang jalang saat hidup sebagai manusia, tapi tetap saja aku hanyalah anak gadis yang memiliki beberapa pobia, salah satunya ialah ketakutan berlebihan terhadap darah. Hanya kakek yang tahu hal ini, bahkan Chanyeol tak tahu sampai sekarang—walaupun aku tak tahu apakah di masa lalu aku juga pobia darah atau tidak.

Menjadi vampir membuat pobiaku sedikit mereda. Bukannya apa, tapi memang tak ada pilihan lain karena aku harus mengonsumsi darah, mau tak mau. Kini tubuhku sedang labil apakah masih berwujud vampir atau tidak, dan pobiaku kembali seperti semula, dalam tahap ketakutan yang sangat.

Drrrrrrr…

“Eh?” Tubuhku hampir terjungkal karena kaget. Mungkin aku terlalu lama melamun dan berpikir, karena tahu-tahu pintu batu di depanku terbuka dengan sendirinya. Oh, mungkin ada seseorang yang membukanya. Apakah aku harus masuk? Yakin jika ini bukan jebakan dari vampir lain atau hal sejenis itu?

Kuedarkan pandanganku, dan mataku terpaku pada beberapa bunga anyelir yang tergeletak di rerumputan dekat kakiku. Aku mengambil satu dan menarik kelopaknya satu per satu. “Masuk. Tidak. Masuk—oh God, this is suck!”

Hingga akhirnya aku masuk ke dalam, dan hanya gelap yang mampu aku lihat. Aneh, saat di kandang sebelumnya bersama Baekhyun aku yakin bahwa ketika memasuki pintu hanya ada anak tangga di hadapanku. Namun sepertinya tak ada tangga di sini, karena ketika aku berjalan lurus aku tak menabrak apa pun.

Seandainya saja aku juga bisa mengeluarkan bola biru terang seperti Baekhyun, namun lagi-lagi aku hanya bisa menelan semua itu dalam khayalanku. Aku kenal dengan beberapa orang yang akan mati sesak jika berada dalam ruangan super gelap, dan untungnya aku hanya pobia dengan darah, jika tidak mungkin aku sudah mati hanya dengan berjalan beberapa langkah.

Aku masih terus berjalan, hingga sesuatu yang menyeramkan muncul di pikiran warasku. Mungkinkah aku kini sedang berjalan di bawah tanah? Karena sebelumnya ketika melihat tiga naga tadi aku dan Baekhyun melihatnya dari atas bangunan, dan nyatanya aku berjalan lurus dengan pijakan sedikit menurun. Semoga saja naga-naga ini tak suka daging manusia.

Ah, sepertinya aku melihat cahaya di depan sana. Agak senang, namun sebagian diri yang lain takut setengah mati. Apa aku harus terus berjalan atau kembali dan hanya menangis dalam pelukan Chanyeol? Entah, sepertinya aku lebih memilih opsi pertama utuk menuntaskan hasrat penasaranku.

Daebak. Ini seperti gua super luas, dinding batunya berkilau cantik diterpa sinar mentari dari atas sana. Sepertinya ada lubang besar di atas sana, tak terlalu jelas oleh pandanganku. Mungkin benar jika ini adalah kandang naga, tempat naga itu tinggal. Bukan hanya kepala dan lehernya saja seperti sebelumnya, tapi benar-benar naga keseluruhan. Aku kembali berdoa sejenak semoga saja mereka tak suka daging manusia—setengah vampir—yang cantik.

Tunggu, mengapa malam hari seperti ini terdapat sinar mentari yang menyilaukan?

“Putri?”

Uh, ini mulai menakutkan bagiku. Suaranya menggema di sekitarku, agak mirip dengan suara Rose. Mungkin ini naga betina—jika memang yang barusan kudengar ialah suara naga bukannya hantu atau sejenisnya. Oh, mungkinkah suara Lily?

“Lily, kau bicara dengan sia—“

Tepat di depanku, dengan surai kecokelatan yang senada dengan matanya, ia berdiri di sana. Untuk sesaat aku benar-benar terdiam, dengan pikiran kosong namun hati yang sesak oleh sesuatu yang menyenangkan. Seperti ledakan gletser? Hehe, mungkinkah perasaan rindu?

Ia masih terdiam di sana saat kakiku dengan otomatis melangkah mendekatinya. Wajahnya masih sama seperti beberapa hari yang lalu saat terakhir kali kami bertemu. Ada sirat terkejut namun tak lama senyum kecil terlengkung di bibirnya. Sinar mentari menjalankan tuganya dengan sangat baik di belakangnya, walaupun aku masih bingung bagaimana bisa ada sinar matahari saat malam.

Barulah kusadari bahwa tak hanya ada kami berdua di sini. Di ujung sana, duduk dengan tenang seekor naga yang mirip dengan Rose, hanya saja matanya berkilau merah seperti Luhan. Aku tak tahu pasti tapi sepertinya ia tengah tersenyum padaku.

“Cheonsa? Sedang apa di sini? Bagaimana bisa?”

Eh? Kukira ini semua Luhan yang merencanakan. I mean, aku terus mengingat sesuatu dari masa lalu tentang kami berdua hingga aku dengan nekat meninggalkan Baekhyun dan tak menggubris panggilan Sehun. Kukira Luhan memberiku semacam sihir atau apa yang membuat diriku ingin sekali datang ke sini. Kukira Luhan juga yang sengaja membuat dahan pohon tadi agak merunduk dan mengenai lenganku agar aku berhasil menembus dimensi sihir dengan darahku di sini. Kukira…

Mungkin aku terlihat seperti orang linglung saat ini. “You asked me? Bukankah Luhan yang merencanakan semua ini? Ular itu, segala memori… Oh, bahkan kuda?”

Kini ia yang mendekat ke arahku, menyentuh keningku seolah aku baru saja terjun dari tebing dan membentur bebatuan tajam lalu mendadak amnesia atau sejenisnya. “Kau yakin tak berjalan sambil tidur dengan teleportasi dari Seoul ke sini? Cheonsa, ini bukan Seoul, bagaimana bisa kau ada di sini, terlebih lagi sampai di sini?” Luhan sayang, I wish I could, tapi nyatanya kekuatanku telah hilang.

“Luhan bahkan tak tahu bahwa Cheonsa ada di sini? Di Selandia Baru, istana Chanyeol?” Daebak, he doesn’t have any idea of me.

Hanya gelengan yang kudapati sebagai jawaban. Keren, lalu penjelasan ilmiah apa yang masuk akal untuk semua kejadian aneh yang kualami di sini? Oh, aku bahkan kembali ingat pasal gaun putih dan tiara yang tiba-tiba saja ada di kamarku. Baru saja aku ingin bertanya pada Luhan tapi ia telah menarik tanganku dan membuat kami berjalan mendekati Lily.

Lily sangat mengagumkan. Entah ia albino atau tidak tapi warnanya putih bersih dan sangat cantik. Bulu matanya sangat lentik dan entah apa lagi hal mengagumkan lainnya yang tak mampu terucap dengan kata-kata. Di dekatnya, ada satu ekor naga kecil yang mungkin besarnya setara dengan gajah dewasa. Apa… itu anaknya?

“Terakhir kita bertemu beberapa hari yang lalu setelah rapat dan kau syok. Entahlah, aku tak tahu lagi bagaimana kabarmu karena ada sesuatu yang memanggilku untuk datang kemari. Benar saja, kemarin Lily melahirkan dan aku membantunya.”

Luhan masih terus menjelaskan padaku sampai kami telah berdiri di hadapan si naga kecil—ya, jika ukuran setara gajah bisa disebut kecil. Tapi sungguh, ia tergolong kecil jika dibandingkan dengan induknya yang sangat sangat sangat besar. “Namanya Princess.”

Matanya hijau, persis dengan milikku dulu. Warnanya putih namun seperti ada sedikit aksen keemasan di beberapa bagian, entah hanya muslihat sinar mentari atau memang demikian. Tanpa sadar aku tersenyum kecil, Lily sepertinya sangat bahagia akan hal ini.

“Cheonsa, belum bertemu Milan?” tanya Luhan akhirnya setelah cukup lama kami berdua diam, menikmati pemandangan membahagiakan ini. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. “Kandang ini luas, jadi mungkin saja kau sudah tahu. Mungkin Milan berada di suatu tempat, ia pasti akan datang.”

“Ne, aku ke sini untuk bertemu Milan. Sangat mengejutkan mendapati hanya ada tiga naga dalam kandang sebelumnya—“

“Kau sudah ke sana?” Wajah Luhan selalu seperti itu saat terkejut, tidak ada yang berubah sama sekali dalam dirinya. Hanya seorang Luhan yang kutemui pertama kali dengan senyum menyebalkan dan tatapan mesum serta segala tingkah manisnya. Mau tak mau aku kembali mengingat masa lalu.

“Putri?”

Kami berdua sama-sama menoleh pada seekor naga besar berkumis panjang dengan mata hijau berkilaunya. Tubuhnya berwarna keemasan dan semakin berkilau saat ia berjalan di bawah sinar matahari. Apakah ini yang namanya Milan?

Aku terdiam sebentar, menyempatkan diri untuk melirik Luhan sebentar dan kuyakin bahwa Luhan mengangguk pelan, bahwa yang berada di hadapanku ini ialah Milan. Keren, akhirnya aku bisa bertemu dengannya dan fakta bahwa aku memiliki seekor naga sendiri. Aku benar-benar akan membuat buku diari mulai saat ini, segalanya luar biasa di sini.

Milan menunduk hormat pada kami—aku dan Luhan. Sepertinya ia juga sedang tersenyum seperti Lily. “Akhirnya aku menemukanmu,” ucapku juga dengan senyum lega. Melupakan fakta sebanyak ini membuatku merasa bersalah, namun sangat melegakan jika bisa mengungkapnya satu demi satu, apalagi dengan fakta bahwa Milan dan Lily—

“Tunggu,” kataku dengan nada terpotong, “Jangan bilang jika Milan dan Lily…”

Mataku berbinar kabur saat Luhan menggenggam kedua tanganku, memainkan jari-jariku. “You said there’s memories about me here. What kind of, exactly?”

Salah satu kebiasaan Luhan ialah, tidak menjawab pertanyaanku tapi malah menanyakan suatu hal lain padaku. Memang agak menyebalkan, tapi segala yang berasal dari Luhan entah mengapa memiliki alasannya tersendiri, dan itu termasuk hal terlogis yang pernah kuketahui.

Belum sempat aku menjawab karena tiba-tiba Luhan menarik pinggangku dan menciumku. Oh, sebenarnya bukan hanya mencium melainkan juga menyuapiku darahnya. Sepertinya aku terlalu terkejut akan dirinya yang tak tahu keberadaanku sampai aku lupa bahwa kini aku setengah vampir dan memang sangat membutuhkan darahnya.

Agak amis dan rasanya menjijikkan di awal—wah, aku benar-benar hampir menjadi manusia lagi—namun agak lama sampai rasa menjijikkan ini berubah menjadi nikmat seperti biasanya. “Kau terlalu banyak melamun, itu tidak sehat, Cheon.” Ia terkekeh kecil lalu menjauhiku yang masih mematung. Ya, Luhan!

“Sebenarnya ada apa di sini? Segalanya aneh dan—Luhan?” Sial, ia masih terus berjalan menjauh ke arah lain dari tempat ini. Tak sengaja aku menatap Lily, tak banyak membantu karena ia hanya balik menatapku. Pandanganku beralih pada Milan.

“Putri sebaiknya ikuti Tuan Sheol.”

Aku tersenyum dan mengangguk kecil lalu agak berlari menyusul langkahnya yang lebar. Oh, Luhan keluar dari kandang ini. “Luhan!”

Bagus, akhirnya ia berhenti, membuatku kini tepat berada di sampingnya dan kembali berjalan berdampingan. “Sebaiknya kita bicara di luar, telinga Princess masih rawan untuk mendengar dan butuh ketenangan untuk beberapa minggu kedepan.

Aku mengangguk setelah mendengarkan penjelasannya. Kami berhenti tepat di depan sebuah pohon besar yang teduh. Ia duduk dan aku menyusul di hadapannya. Iya, di hadapannya dan bukan di sampingnya. Aku rindu melihat wajahnya.

“Jadi, Cheonsa, bisa jelaskan dari awal kau bisa sampai di sini hingga cerita terakhir kita bertemu seperti ini? Agak aneh, menurutku.” Suaranya serius, begitu pula dengan wajahnya. Aku tak yakin apakah aku benar-benar harus menceritakan semuanya atau tidak.

Pasalnya, hal pertama yang terlintas dalam benakku saat semua kegilaan ini berlangsung ialah bahwa Luhan yang mengatur semuanya agar aku kembali mengingat masa lalu, saat aku masih bersamanya. Tapi mendengar bahwa Luhan tak tahu apa-apa soal ini semua membuatku bingung sendiri.

Apa yang sebenarnya terjadi di sini? “Luhan yakin tidak menggunakan sihir apa pun padaku, atau bukan Luhan yang mengirimi Cheonsa segala kenangan itu?”

Aku takut Luhan belum sepenuhnya menjadi baik. Maksudku, aku takut Luhan masih memiliki banyak set permainan lagi dalam pikirannya untuk balas dendam, jika hal ini bisa disebut balas dendam. Luhan bisa saja berbohong padaku bahwa ia tak tahu apa-apa namun nyatanya bahwa ialah dalang di balik semua ini.

Tapi matanya bicara padaku, bahwa ia benar-benar tak tahu dan bahkan terkejut segalanya bisa terjadi secara kebetulan. Aku yang ikut dengan Chanyeol kemari dan juga bertepatan dengan Lily yang melahirkan. Apakah semuanya memang seperti ini? Bukan hanya rekayasa semata?

Alih-alih terkejut, ia tersenyum kecil padaku. “Masih belum bisa percaya padaku, hm?” tanyanya, dengan tangan kanan yang mengusap rambutku.

“Sudah kubilang, aku lelah menjadi monster, Cheon. Mungkin hidup ratusan tahun sama sekali sia-sia bagiku karena tingkah kekanakanku tempo hari. Namun sesuatu menyadarkanku, bahwa cinta sejati pasti akan memiliki caranya sendiri untuk kembali. Seperti sepasang—”

“Naga?” potongku. Luhan menaikkan sebelah alisnya. “Cinta seekor naga adalah keabadian yang nyata. Walaupun terdapat jarak yang membentang luas, atau pagar takdir yang menjulang memisahkan mereka. Mereka akan saling menjaga dan mendoakan satu sama lain. Akan saling mencintai satu sama lain dari kejauhan. Akan terus mengingat bagaimana rasanya cinta bahkan ketika mereka tak mampu lagi untuk mengingat.”

Kalimatku berakhir bersamaan dengan senyum Luhan yang manis. Tangannya yang lain menggenggam jemariku. “Jadi, kau mengingat hal itu?”

Aku mengendikkan bahu dan tersenyum jahil, “Entah? Hanya salah satu dari semua kejadian aneh di sini.”

“Kau harus menceritakan segalanya, Cheon. Setelah yang satu ini.”

Kami tertawa sebelum Luhan menciumku dengan lembut. Udara dingin malam membuat Luhan mengeratkan pelukannya padaku. Mataku terpejam, namun pancaran cinta dan kasih sayang tak membutuhkan mata untuk melihat segalanya. Cukup dengan perasaan yang tulus menerima dan ikhlas untuk menatap apa yang tersaji di hadapan.

Ya, Luhan adalah orang yang mampu memenangkan kewarasannya dengan pikiran dewasa, penuh cinta dan sedikit bumbu kerinduan yang menghidupkan keikhlasannya.

TBC

Dibagi dua part ya chapter ini, hehe. Yang kangen Luhan mana suaranyaa, kkk. Yang sayang Chanyeol jangan nangis dulu ya, nanti Chanyeol bakalan dateng kok. What do you think?

5 pemikiran pada “Seonsaengnim (Chapter 16a)

  1. Waaaaa. .
    jujur jadinya bingung.. cheonsa sebenernya cinta n bakalan sama siapa?
    chanyeol atau luhankah?
    Klo sama chanyeol knpa msh mesra sama luhann. .
    apa krn luhan bagian masa lalunya??
    hhuhu authornim help me please. .

    Eh cheonsa itu Parseltounge??

    Selalu nunggu kelanjutannya. . semangatt thor! keep writing!! ^^

  2. Ya ampun mengapa cheonsa bisa sampai ditempat itu dan chanyeol kemana??? Emang sih kemarin itu penasaran dengan menghilangnya luhan gak taunya ia membantu lily melahirkan. Bagaimana ini ?? Apa yang akan terjadi selanjutnya .
    Next partnya ya

  3. nahlo si cheonsa mesre”an sama lu trus yeol apa kabar wahh rakus nih cheonsa bagi satu lahh eh gak deh aku sama anak mu yg unyu itu aja yaa *lirikhunnie* *apadeh* hahaha lanjut atuh ah 🙂 😉

Tinggalkan Balasan ke Rona Batalkan balasan