All-Mate911 (Chapter 10)

All-Mate911

 

All-Mate911

A fanfiction by marceryn

Rating : PG-15

Length : Multichapter

Genre : AU, romance

Casts : EXO’s Chanyeol, Ryu Sena [OC], supporting by EXO’s members and others OCs

Disclaimer :: Except the storyline, OCs, and cover, I don’t own anything.

(dipublikasikan juga di wattpad pribadi)

 

~all-mate911~

-dicari : panduan mengalahkan kenangan-

 

“Dasar tidak tahu diri,” Jimin praktis langsung meludahkan makiannya langsung ke wajah Sena ketika ia duduk di hadapan gadis itu di kafe. “Apa kau tidak tahu kalau Kyungsoo seonbae adalah senior terbaikku di SMA dan kau sudah MENGHANCURKAN reputasiku dan membuatku mungkin DIUSIR dari acara reuni SMA?”

Sena menghela napas berat. Baiklah, ini dia. Ia sudah menunggu lama untuk momen ini.

“Kau bilang kau ingin mengenal pria baik-baik dan aku membantumu. Beraninya kau mencampakkannya begitu saja?”

“Aku tidak bermaksud begitu,” gumam Sena. “Ada sesuatu terjadi saat itu. Memangnya dia bilang apa padamu?”

Jimin bersedekap, wajahnya menggembung sebal. “Aku bertanya padanya bagaimana kencan kalian. Tahu, kan, basa-basi saja. Dan dia bilang, ‘Eh, tidak terlalu bagus. Sebenarnya, dia pergi sebelum makan malamnya selesai’.”

“Dan bagaimana reaksinya? Dia marah?”

“Yah, tidak. Dia oke-oke saja. Kupikir dia juga tidak tertarik dengan gadis sepertimu.” Jimin menunjukkan ekspresi paling menghinanya saat mengatakan ‘sepertimu’, tapi Sena tidak peduli. Selama ini bukan masalah bagi laki-laki itu, berarti ini bukan masalah bagi Sena juga. “Pokoknya ini terakhir kalinya, Ryu Sena. Aku tidak akan, dengan alasan apa pun, mengenalkanmu pada teman-temanku lagi.”

“Tidak perlu,” Sehun tahu-tahu menyela sambil meletakkan segelas ice latte di hadapan Sena meskipun ia belum memesan apa-apa. “Dia sudah punya pacar.”

Sena mendelik pada Sehun dan menampar bokongnya keras-keras. “Tutup mulut,” gumamnya dengan rahang terkatup rapat.

Sehun mengelus-elus bekas pukul Sena yang pedih dengan wajah mengerut merajuk. “Aku mengatakan hal yang benar,” gerutunya, lalu menambahkan lebih pelan, “Oke, calon pacar. Tapi sama saja.”

“Benarkah?” Informasi ini membuat Jimin melupakan kemarahannya seketika. Ia mencondongkan wajahnya sedikit dengan sepasang mata berkilat tertarik. “Siapa? Siapa orangnya?”

Sena menjawab, “Itu bohong,” bersamaan dengan Sehun berkata, “Kau bisa melihatnya segera.”

Aish,” Sena berdesis, tapi sebelum ia sempat memukulnya lagi, Sehun menghindar dengan sigap dan menyelamatkan bagian belakang tubuhnya.

Ya, kenapa kau suka sekali memukul pantatku?!”

“Karena kau pantas dipukul.”

Sehun mengerucutkan bibirnya sebal. “Aku ingin memperingatkan si Idiot untuk menyelipkan sepasang busa di pantatnya untuk berjaga-jaga dari tangan iblismu tapi aku khawatir dada ratamu kalah saing.”

“Sekali lagi kau menyebut-nyebut idiot atau dadaku…”

“Apa? Kau mau apa?”

Ya!”

Jimin tidak mendengarkan perkelahian kakak beradik itu. Mata elangnya menangkap sosok yang baru melintasi pintu kafe dan kedua matanya menjelajah seperti mencari sesuatu. Jimin memindai cepat (ia kagum dengan kemampuannya meneliti orang-orang) penampilan laki-laki itu dari atas ke bawah. Sepatu mengilap. Setelan jas yang kelihatan mahal. Leher jenjang yang menjulur dari kemeja putih yang kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Rambut ditata rapi. Pria kantoran dengan posisi tinggi. Sembilan setengah dari sepuluh.

“Kenapa wajahmu aneh begitu?” tanya Sena ketika melihat Jimin menyelipkan rambut ke telinga kanan dan tersenyum menyeramkan (mungkin maksudnya menggoda, tapi bagi Sena tampaknya menyeramkan).

“Ikan. Ikan yang sangat keren,” kata Jimin tanpa menggerakkan bibirnya, dan tanpa menatap Sena. “Aku akan menggunakan kekuatan pikiranku untuk membuatnya ke sini—tunggu, dia menatapku—hei, dia tersenyum—oh, tidak, dia benar-benar berjalan ke sini. Ternyata aku benar-benar punya kekuatan pikiran—astaga, kakinya seksi—oh, OH, dia melambai—kurasa dia akan—”

“Yo, Ryu Sena!”

Ujung-ujung bibir Jimin yang terangkat langsung terjun bebas ketika laki-laki itu duduk di kursi yang kosong di antaranya dan Sena. “Eh?”

Sena ikut menatapnya, tapi dengan keterkejutan yang seratus persen berbeda dari Jimin. “Apa yang kau lakukan di sini, Idiot?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Menemuimu. Hei, Sehun-ah!” Chanyeol mengangkat kepalanya dan melemparkan senyum iklan pasta giginya pada Sehun, lalu mereka berdua ber-high five. Sehun berbalik meninggalkan meja mereka sambil tertawa.

“Yah, aku tidak akan bertanya bagaimana kau bisa berada di sini,” kata Sena datar.

“Yah, kurasa tidak perlu,” Chanyeol meniru nada bicara Sena, lalu memalingkan wajahnya pada Jimin seakan-akan baru sadar ada entitas lain di sana. “Oh, maaf. Aku, hmm, temannya Sena, Park Chanyeol.”

Chanyeol menjulurkan tangan kanannya yang jemarinya kurus panjang dan Jimin menjabatnya dengan wajah merona. Sena memutar bola matanya dalam diam melihat tingkah temannya.

“Namaku Jimin. Han Jimin. Senang bertemu denganmu.”

“Aku juga, Jimin-ssi.” Chanyeol tersenyum lagi, dan Sena yakin jantung Jimin baru saja melompat saking girangnya. Suara berat Chanyeol memang punya efek seperti itu pada orang-orang.

Sena yakin, karena ketika Chanyeol memalingkan wajahnya kembali padanya dan bertanya ceria, “Bagaimana kabarmu?” Sena merasakan hal yang nyaris sama.

“Baik,” jawabnya, seperti biasa.

Sekarang Chanyeol tidak menunggu balas ditanya, ia menjawab sendiri, “Aku juga baik, meskipun kemarin aku pulang larut malam dan kurang tidur. Pekerjaan ini gila. Tapi, sekarang semuanya oke.” Lalu tanpa meminta izin, ia meraih gelas ice latte Sena dan menyeruput seperempat isinya dari sedotan yang menggantung di bibir gelas. “Omong-omong, apa kau punya rencana malam ini?”

Sena menggeleng.

“Serius? Di malam Sabtu? Tidak ada rencana apa-apa?”

“Berkacalah, Idiot. Kau juga tidak punya rencana, makanya kau bertanya.”

Chanyeol menyengir. Sejak dulu Sena heran bagaimana bisa suara berat dan cengiran konyol bergabung di satu tubuh makhluk ini. “Tepat sekali. Jadi, kurasa kau mau ikut denganku ke kelab nanti malam.”

“Kalau aku menolak?”

“Hmm, aku mengemis-ngemis sampai kau setuju, atau aku akan langsung menarikmu pergi saja. Well, sebenarnya aku tahu ke mana harus menelepon agar kau tidak bisa menolak, hanya saja aku ingin memintamu sebagai teman.”

Sena pura-pura menghela napas berat. “Apa kau tidak punya alasan lain yang lebih persuasif?”

“Kata-kataku memang tidak persuasif… tapi aku bisa membelikanmu buket bunga.”

Jimin membuat suara pfft di tenggorokannya. “Pergi saja, astaga,” katanya pada Sena. “Daripada nanti malam kau menggangguku dengan telepon-telepon kesepian.”

Aish,” Sena mendesis.

Chanyeol tertawa. “Bagus. Kuanggap kau setuju,” katanya, kemudian melirik jam tangannya. “Aku ingin mengobrol lebih lama, tapi sisa waktu makan siangku tidak banyak. Jalanan macet sial. Kalau aku terlambat untuk rapat, aku pasti mati.”

“Kau tidak makan apa-apa?” Sena bertanya tanpa berpikir ketika Chanyeol berdiri dari kursinya.

Bukannya menjawab, Chanyeol berjalan mundur dengan langkah-langkah lebar dan mengedipkan satu matanya, lalu berkata keras sambil melambaikan tangannya, “Sampai jumpa nanti malam!”

Setelah itu, Jimin berdecak dan menggeleng-geleng. “Wow. Tadi itu seksi sekali.”

Sena menyipitkan matanya. “Apanya seksi?”

Whole package-nya,” jawab Jimin. “Terutama suaranya. Astaga. Bayangkan dia mendesah di dekat telingamu, sementara tangannya—”

“HENTIKAN!” Sena menggeleng-geleng cepat untuk mengusir pikiran yang baru saja Jimin tanamkan di kepalanya dan menyeruput sisa ice latte-nya dengan rakus untuk mendinginkan wajahnya.

Jimin tertawa. “Tapi, kau selalu mengejek bokong rata Luhan. Kau sudah lihat bokong Chanyeol? Seperti papan kayu.”

Sena hampir menyemburkan latte-nya di dalam mulutnya. “Kau memerhatikan bokong orang yang baru kau kenal sepuluh menit yang lalu?”

“Anggap saja membayar utang. Kau mengamati Luhan, aku mengamati pacarmu.”

“Dia bukan pacarku.”

Jimin memutar bola matanya. “Yah, kalau kau tidak mau mengakuinya, biar aku saja. Aku benar-benar ingin mendengar desahannya.”

Sena menepuk dahinya frustasi. Kenapa ia dikelilingi orang-orang gila?

 

***

 

Chanyeol tidak pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi memasuki kelab malam itu seperti memasuki dunia lain. Bukan dunia lain yang banyak hantunya. Lebih seperti dunia lain yang punya warna sendiri, musik sendiri, bahkan bau khas sendiri, dan orang-orang di dalamnya berbeda dengan yang ditemui di luar pintu.

Baiklah, itu random sekali. Chanyeol hanya mencoba mengalihkan pikirannya pada hal-hal sederhana karena entah parfum atau sampo apa yang Sena gunakan, tapi ia benar-benar suka harumnya. Bukannya Sena berusaha menarik perhatian. Malah, meskipun Chanyeol jelas memberitahunya ke mana mereka akan pergi, Sena hanya mengenakan kemeja polos tanpa lengan, celana pendek hitam, dan sepatu hak. Benar-benar biasa, apalagi dibandingkan dengan yang lain. Tapi mungkin itulah yang membuatnya mencolok. Chanyeol menyadari setidaknya ada selusin mata yang masih sadar mengikuti mereka sampai menoleh.

“Hei, Parkchan. Apa kabar?” Bartender yang berjaga di belakang meja bar malam ini bukan Baekhyun. Itu Jongdae. Chanyeol tidak terlalu sering bertemu dengannya, tapi mereka bisa dibilang cukup akrab. Jongdae jelas lebih baik daripada Baekhyun, dan selera humornya lebih bisa dipahami.

Mereka beradu kepalan tangan, lalu Chanyeol menunjuk Sena yang duduk di sebelahnya, “Ini Ryu Sena.”

Sena tersenyum (benar, Sena selalu ramah pada semua orang kecuali Chanyeol) dan menyapa, “Halo.”

Jongdae mengulurkan tangannya dan mereka berjabat tangan. “Hei. Aku Jongdae. Bartender, seperti yang bisa dilihat. Dan kau?”

“Temannya Chanyeol,” jawab Sena.

“Teman yang kadang berkencan, lalu berciuman—AW!” Chanyeol mengusap lengannya yang dipukul keras-keras oleh Sena. “Sakit sekali, tahu tidak?”

“Kalau begitu tutup mulutmu,” gerutu Sena.

Chanyeol mencebik sebal, lalu menoleh pada Jongdae yang menyeringai aneh. “Di mana Baekhyun?”

Tepat saat ia bertanya, objek yang dibicarakan muncul dan duduk di sebelah Sena yang lain.

“Hei, kalian. Dan, oh—” Sepasang mata Baekhyun membulat terkejut saat Sena menoleh padanya. Ia menudingkan jari telunjuknya pada gadis itu. “Kau?”

Sena mengerjap-ngerjap, tampak sama sekali tidak punya ide. “Eh… aku?”

Baekhyun mengalihkan matanya pada Chanyeol, yang langsung menyengir puas. “Kenalkan, ini—”

“Kau tidak ingat aku?” Baekhyun memotong Chanyeol dan bertanya pada Sena.

Sena memiringkan kepalanya sedikit, mengerutkan dahinya tipis, berusaha mengingat-ingat, tapi nihil. “Eh, apa kita pernah bertemu…”

Baekhyun berdecak, lalu meletakkan satu sikunya di atas meja bar untuk menopang sebagian berat tubuhnya ke samping. “Kau keterlaluan sekali, melupakanku begitu saja setelah kita pernah menghabiskan malam yang menyenangkan bersama.”

YA, BYUN BAEKHYUN!” Itu suara Chanyeol.

“OH, KAU!” Itu suara Sena. Kemudian ia menoleh berganti-gantian antara Baekhyun dan Chanyeol. “Tunggu, tunggu. Kalian saling kenal?”

Baekhyun tersenyum lebar, senang karena Sena mengingatnya. “Seoul sempit sekali, kan?” tanyanya. “Jadi, kau bukan Song Ahyoung?”

“Bukan,” Chanyeol yang menjawab, “namanya Ryu Sena. Dan tolong jangan menyebut-nyebut soal menghabiskan malam seperti itu. Kau membuatnya terdengar salah.”

Baekhyun sengaja mengabaikannya. “Akhirnya kita bertemu juga. Chanyeol banyak cerita tentangmu.”

“Oh, ya? Apa saja yang dia ceritakan?” tanya Sena ingin tahu.

Sebelum Chanyeol bisa mencegahnya, Baekhyun menjawab, “Sebagian besar tentang dia putus asa ingin tidur denganmu tapi kau tidak tertarik.”

“AKU TIDAK BEGITU!” seru Chanyeol. “Ya, Byun Baekhyun, terjun ke jurang sana!”

Chanyeol mengira Sena akan memukulnya lagi, tapi ternyata gadis itu hanya tertawa.

“Aku tidak mengerti sama sekali,” kata Jongdae riang. “Aku akan mengambilkan kalian berdua minuman saja.”

Baekhyun memerhatikan Sena dari atas ke bawah. Chanyeol menahan keinginan untuk menusuk bola matanya dengan garpu. “Kau terlihat berbeda, Ahyoung-ah,” kata Baekhyun. “Hm, maksudku Sena-ya.”

“Apanya?” tanya Sena.

Baekhyun pura-pura berpikir sebentar, lalu mengangkat bahu. “Entahlah. Kurasa itu hanya karena sudah lama kita tidak bertemu.”

Chanyeol terperangah. Oke, ini di luar rencana. Seharusnya ia yang memamerkan Sena, kenapa malah Baekhyun menggodanya?

Sena tertawa dengan satu tangan menutupi mulut (ih, sok sopan). “Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini?”

“Sebenarnya aku juga bartender di sini. Tapi hari ini bukan shift-ku. Aku datang karena tahu Ryu Sena akan ada di sini.”

“Ah, begitu?”

“Yah, tapi aku tidak menyangka kalau kau adalah kau.” Baekhyun tersenyum miring. “Mungkin ini takdir dan segala omong kosong itu.”

Sena tertawa lagi (kenapa ia mudah sekali tertawa malam ini?).

“Kita harus bertemu lagi kapan-kapan. Hei, datanglah ke sini kalau aku sedang bekerja. Kita bisa minum bersama. Atau, apa aku bisa menghubungimu lewat All-Mate?”

Sena mengangguk antusias. “Tentu saja. Pasti menyenangkan.”

“Halo, aku masih di sini,” sela Chanyeol. “Dan sebaiknya kau tidak mengganggunya, Byun.”

“Benar, Byun, sebaiknya kau tidak mengganggunya,” Jongdae membeo seraya meletakkan segelas wiski untuk Chanyeol dan koktail untuk Sena. “Kenapa kau tidak mengganggu Chanyeol saja?”

“Aku sudah bosan dengan laki-laki.”

Sena mematung menatap Baekhyun. “Apa? Kau—”

“Tidak,” kata Chanyeol buru-buru—lebih untuk menyelamatkan reputasinya sendiri. “Baekhyun tidak menyukai laki-laki. Well, dia juga tidak menyukai perempuan. Maksudku dalam konteks seksual. Dia belum pernah melakukannya. Eh, bukannya aku tahu pasti,” tambah Chanyeol salah tingkah. “Itu menurut pengakuannya.”

Jongdae tertawa, lalu berpindah ke ujung lain meja bar untuk menerima pesanan tamu lainnya.

“Itu benar,” sahut Baekhyun ringan. “Aku tipe talk more do less. Dan omong-omong soal itu, aku jadi ingat. Bukankah kau pernah berkencan dengan Kim Minseok?”

Chanyeol melirik Sena dari gelas yang menempel di bibirnya. Raut wajah gadis itu seketika mengeras, tapi ia menutupinya dengan baik dan mengangguk.

“Dia orang yang seperti apa?”

“Baik,” jawab Sena singkat.

“Itu saja?” desak Baekhyun.

Sena mengangkat bahu dan meraih gelas koktailnya. “Pendapatku mungkin tidak akurat karena kami sudah lama berpisah. Orang-orang berubah,” katanya sebelum menyesap minumannya.

Baekhyun baru akan membuka mulutnya lagi, dan Chanyeol akan menyuruhnya diam, tapi ternyata tidak perlu, karena tahu-tahu seseorang menepuk bahu Chanyeol. Chanyeol menoleh, Baekhyun melongok ke arahnya, dan Sena ikut berputar di kursinya.

Tiffany tersenyum secerah matahari ketika melihat Chanyeol, kemudian matanya tidak sengaja berpindah pada Sena, dan senyum itu buyar begitu saja.

 

***

 

Gadis itu terkejut. Sena tidak menyalahkannya. Sena sendiri sangat terkejut. Jantungnya serasa berhenti mendadak.

“Ryu Sena?”

Sena mendapati dirinya membalas, “Hwang Miyeok?”

God, it’s ‘Miyeong’,” ralat gadis itu dan memutar bola matanya. “Dan lagi, nama yang kupakai sekarang adalah Tiffany.”

“Kalian berdua saling kenal?” tanya Baekhyun.

Sena mendengus. “Tentu saja. Kami satu kelas waktu SMA.”

“Bertiga; aku, dia, dan Chanyeol,” imbuh Tiffany. “Meskipun kurasa orang-orang tidak akan percaya. Kau kelihatan… tua sekali sekarang, eh, Ryu Sena? Dan tambah gemuk.”

Sena ingin melepas stiletto-nya dan memukulkan haknya ke kepala Tiffany, tapi ia menahan diri dan tersenyum ramah dibuat-buat. “Kau sendiri semakin cantik. Aku benar-benar ingin bertemu doktermu. Mungkin dia bisa memperbaiki mataku juga.”

“Dokterku sangat mahal, mungkin tidak sesuai untukmu,” balas Tiffany dengan nada manis yang keji. “Omong-omong soal tidak sesuai, bagaimana kau bisa berada di sini?”

Baekhyun menanggapi dengan kecepatan kilat, “Wow, santai saja, Tiffany. Biar kuperkenalkan kalian.” Ia menoleh pada Sena dan menunjuk Tiffany.” Sena-ya, ini mantan pacar Chanyeol.” Lalu sebaliknya. “Dan Tiffany, ini pacarnya Chanyeol.”

Tiffany membulatkan matanya tidak percaya. “What?!

“Aku bukan pacarnya,” bantah Sena di saat yang sama.

“Kalau begitu, kau mau jadi pacarku?” seloroh Baekhyun.

Ya, Baekhyun-ah,” Chanyeol menyela dengan nada tajam. Kedua telinganya merah, entah ia kesal atau malu.

“Hanya bercanda. Kau sensitif sekali.”

Tiffany menatap mereka bertiga bergantian, lalu sengaja meluruskan kepalanya ke arah Chanyeol sebagai tanda ia mengacuhkan Baekhyun dan Sena. “Aku datang dengan teman-teman dari universitas. Mereka pasti ingin bertemu denganmu. Ayo.”

Sena memutar bola matanya dengan muak ketika Tiffany menyelipkan kedua tangannya di lengan Chanyeol. Chanyeol turun dengan enggan dari kursi tinggi bar dan ragu-ragu menatap Sena seolah bertanya. Sena berkata datar, “Pergi saja.”

Jadi Chanyeol membiarkan dirinya diseret pergi.

“Kalau aku jadi kau, aku akan mencakar mukanya,” kata Baekhyun setelah Chanyeol dan Tiffany menghilang di antara keramaian. “Aku cukup yakin Chanyeol mengharapkan hal yang sama.”

Sena mendengus, lalu kembali memutar kursinya menghadap bar dan menghabiskan sisa koktailnya. “Kenapa aku harus melakukannya?”

Baekhyun mengabaikan pertanyaan retoris itu dan membalas, “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padanya sampai dia bertekuk lutut seperti itu.”

“Tidak.”

“Ya. Kalau kau menyuruhnya mengambil bulan, dia akan mencari cara melakukannya.”

Sena tertawa hambar. “Jadi, dia dan si Miyeok pernah berkencan? Kenapa mereka berpisah?”

“Kenapa semua orang minta informasi padaku?” gerutu Baekhyun dengan tampang lelah berlebihan.

“Karena kau kelihatan pintar.”

Well, alasan bagus,” gumam Baekhyun setuju. “Oke, akan kuberitahu, tapi tidak gratis.”

Sena menoleh dengan tatapan bertanya.

“Pergi kencan denganku sekali.”

Sena mendelik padanya. “Kupikir kau di pihak Chanyeol?”

“Aku di pihak Baekhyun,” kata Baekhyun seraya mengedipkan satu matanya. “Kenapa? Atau jangan-jangan…”

“Apa?”

Jeda singkat, lalu Baekhyun berkata, “Kau juga bertekuk lutut padanya.”

“Astaga, tidak!”

Tapi Baekhyun tidak bisa dibantah. Ia tertawa seakan-akan ini adalah hal paling lucu yang pernah terjadi dalam hidupnya. “Menarik sekali.”

“Aku tidak bertekuk lutut,” Sena berkeras. “Dia juga tidak.” Lagipula, istilah apa sih itu, bertekuk lutut? Kedengarannya seperti istilah yang populer pada zaman ibunya masih muda.

“Oke, terserah. Tapi ada satu yang jelas pernah bertekuk lutut. Menolehlah.”

Sena tidak ingin menurut, tapi kepalanya bergerak begitu perintah itu memasuki telinganya. Matanya langsung menemukan Kim Minseok berjalan ke arahnya, dan jantungnya nyaris berhenti. Sena tidak mengerti kenapa ia masih merasa seperti ini setelah bertahun-tahun. Ia bahkan tidak bisa mendengar Baekhyun menggumam, “Asyik.”

“Hei.” Minseok tersenyum dan Sena merasa sesak napas. “Kita bertemu lagi.”

Sena tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya mengangguk.

“Halo, Hyeong,” Baekhyun menyapanya. “Duduk saja. Aku permisi ke kamar mandi.”

Sena menoleh pada Baekhyun, berusaha berkata Jangan! tapi Baekhyun pura-pura tidak melihatnya dan melompat turun dari kursi tinggi. Ia mengikuti Baekhyun dengan sepasang mata memelas, lalu saat ia menoleh, Minseok duduk di kursi yang sebelumnya ditempati Chanyeol. Oh, tiba-tiba Sena jadi merindukannya—maksudnya, ia lebih baik menghadapinya daripada ini.

“Bagaimana kabarmu?” tanya Minseok.

“Baik,” jawab Sena. “Bagaimana denganmu, Minseok-ssi?”

“Aku juga.” Minseok menatap sekitarnya sekilas. “Kau datang dengan siapa?”

Betapa baiknya, Minseok menyimpulkan Sena tidak mungkin datang sendirian. “Chanyeol.”

“Ah, benar juga.” Minseok mengangguk-angguk mengerti. “Di mana dia?”

“Pergi ke sana dengan, itu, siapa tadi, eh, temannya.” Sena menunjuk asal-asalan entah ke mana.

Setelah itu hening panjang, jenis keheningan yang membuat Sena merasa seperti ada sebaris paku di kursinya. Ia merasa perlu mengakhirinya sebelum suasana jadi terlalu canggung, jadi ia melontarkan pertanyaan pertama yang terpikir olehnya, “Apa kesibukanmu belakangan ini?”

Pertanyaan payah.

“Melakukan ini-itu di sana-sini,” jawab Minseok dengan seulas senyum kecil. “Dan kau?”

“Aku tidak pernah sibuk,” balas Sena. Ia tidak mungkin berkata, Oh, aku menjual waktu dan tenaga di situs yang menyewakan pertemanan. Maksudnya, betapa murahannya itu.

Minseok tertawa malu-malu dan Sena merasa sebagian dari tubuhnya meleleh. Mungkin ususnya. Atau otaknya.

“Hei, Sena-ssi, kau mau tambah—oh! Minseok Hyeong!” Jongdae berseru ceria. “Tunggu, kalian saling mengenal juga?”

“Bisa dibilang begitu,” Minseok menjawab.

“Keren. Seoul seperti kota kecil saja sekarang.”

Kedua laki-laki itu bertukar kabar dan mulai mengobrol seru. Sena diam-diam menghela napas lega. Astaga, kelab ini mimpi buruk. Sena akan membunuh Chanyeol untuk membalas semua ini nanti. Membunuhnya, menghidupkannya, lalu membunuhnya lagi.

“Hei, Sena-ssi,” tahu-tahu Jongdae memanggilnya. “Kau ingin minum sesuatu yang lain? Tequila? Atau Sweet Manhattan? Ah, itu favoritku.”

Sena mengerjap, lalu mengangkat bahu. “Apa saja.”

“Oke, tunggu sebentar.” Jongdae berbalik ke rak minuman untuk meracik koktailnya.

“Kau minum alkohol?” tanya Minseok dengan nada terkejut.

“Eh… ya.”

Minseok tersenyum, tampak sedikit tidak nyaman. “Oh. Aku tidak tahu. Maaf.”

Sena mengalihkan tatapannya ke arah lain, kemudian berdeham salah tingkah. Minseok tidak tahu. Tentu saja. Memangnya apa yang Minseok tahu tentangnya? Tidak ada. Sena tidak pernah mencoba membuka diri, khawatir kalau Minseok tahu seperti apa dirinya yang sebenarnya, laki-laki itu tidak akan menyukainya. Sementara dengan Chanyeol… yah, Chanyeol tahu segalanya justru ketika Sena mencoba menutupinya. Dulu soal keluarganya, lalu sekarang All-Mate.

Hidup ini memang ironis.

Tidak ada yang bicara kecuali berterima kasih saat Jongdae mengantarkan minuman mereka. Sena menenggak minumannya pelan tapi pasti dan meletakkan gelasnya kembali ke atas meja bar.

“Kau suka menari?” tiba-tiba Minseok bertanya.

Sena menatapnya bingung. Menari apa maksudnya? Ada banyak jenis menari. Senam juga menari. Tunggu, maksudnya pasti bukan senam. “Entahlah. Mungkin?”

Minseok menganggap itu berarti iya. “Kalau begitu, ayo.”

Laki-laki itu turun dari kursinya dan Sena mengikutinya. Mereka naik ke lantai dua dan menyelip di antara orang-orang yang bergerak acak sampai ke tengah lantai dansa. Mereka berdiri berhadapan dengan canggung.

“Apa yang harus kita lakukan?” Sena setengah berteriak untuk mengalahkan latar belakang musik disko yang berisik.

“Aku tidak tahu!”

“Apa katamu?”

“Aku tidak tahu!” ulang Minseok lebih keras. “Kurasa mereka hanya membiarkan musiknya mengambil alih!”

Sena menutupi sebelah telinganya agar bisa mendengar suaranya sendiri. “Lalu kenapa kau mengajakku menari?”

“Apa?”

“Kenapa—mengajakku—menari?”

“Aku tidak tahu!”

Tawa Sena meledak. “Masa bodohlah!”

Minseok ikut tertawa.

 

***

 

“Aku harus kembali.”

“Oh, ya ampun.” Tiffany meraih tangan Chanyeol untuk menahannya. “Sena tidak akan ke mana-mana. Ada Baekhyun bersamanya di bawah.”

“Justru itu,” balas Chanyeol.

Ia memutar lengannya untuk melepaskan pegangan Tiffany secara halus (terutama karena mantan teman-teman universitasnya ada di sini dan Chanyeol tidak ingin memberi mereka dugaan yang salah) tapi perkataan gadis itu menghentikannya, “Jangan berlebihan. Memangnya dia tidak mengizinkanmu mengobrol dengan teman lama?”

Chanyeol mendengus pelan. Rasanya sangat menjatuhkan harga dirinya kalau ia memberitahu bahwa Sena kemungkinan besar tidak peduli ke mana Chanyeol pergi, jadi ia berkata, “Aku yang tidak suka meninggalkannya.”

Tiffany memaju-majukan bibirnya, pura-pura merajuk. “Hello? Ke mana Park Chanyeol yang asli? Dia tidak sebegitunya padaku dulu.”

“Orang-orang berubah,” kata Chanyeol. “Dan aku benar-benar harus kembali sekarang.”

Chanyeol sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk melihat Sena tepat ketika ia mengangkat wajah. Penerangannya payah, tapi ia yakin itu Sena di antara orang-orang di lantai dansa. Gadis itu menari. Yah, bukan benar-benar menari. Hanya bergerak kiri-kanan dan mengangkat tangan seperti orang bodoh.

Masalahnya—sialan—kenapa si mantan pacar yang mendadak ada di mana-mana itu di sana bersamanya?

Selama beberapa saat Chanyeol menonton Sena tertawa lepas dengan kepala mendongak ke langit-langit. Kim Minseok menatapnya dan ikut tertawa.

Minseok hyeong sepertinya masih menyukai Sena-mu, waktu itu Baekhyun berkata demikian padanya. Kalau instingku benar—dan aku selalu benar—Sena juga masih menyukai Minseok hyeong.

Selama dua puluh delapan tahun hidupnya, Chanyeol tidak pernah merasa begitu… kalah.

Ya, Chanyeol-ah, kau melihat apa?” Tiffany memanjang-manjangkan leher untuk melihat apa yang membuat Chanyeol tertegun, tapi ia tidak menemukan apa pun.

“Aku harus melakukan sesuatu.” Chanyeol melepaskan pegangan Tiffany dan berderap. Bukan ke arah mereka berdua. Tadinya ia memang sempat berpikir untuk menggunakan cara penyelaan lama, tapi mendadak ia punya ide bodoh. Ide bodoh yang keren (menurutnya).

Karena bukan Park Chanyeol namanya kalau mundur begitu saja.

 

=to be continued=

LOL. Maaf untuk update yang sangaaaat lama (nggak juga sih). Aku lupa kalau aku belum ngirim ke blog, dasar -_____________- Eniwei, silakan tebak Chanyeol mau ngapain~ (jangan nyari jawaban di wattpad ya) (kayak bakal ada yg nyari aja). Oke. Sampai jumpa lagiii~

Rin

9 pemikiran pada “All-Mate911 (Chapter 10)

  1. Di ff manapun kalo tiba2 pcy gegayaan itu rasanya kayak liat aslinya gitu, gegayaan. Wkwkwkwkwkwk
    Gemeeees sumpaaaaaah, duuh knapa sih mereka ga jadi an ajaa? Kan gemeeeees, lagipula sehun udah okeoke aja gitu. Kalo jafian kan lebih seru, hahahahahahaha

  2. Wah gila, chanyeol udh sinting. Firasatku sih blg kl dia mau kayang smbl jalan d lantai dance trus salto ke meja dj, trus nge dj sambil teriakin nama sena, yawla absurd sekali :” sudah abaikan saja. Sm td si jimin y tuhan, frontal y? Wkwkwk derita cogan kali y. Pantat sehun itu emg g ada duany, mau dbandingin sm kai yg seksi skali pun, jg g bs nandingin. Pantatny dia tuh semok *eh*, bikin seakan akan member yg lain itu kyk triplek 😂😂😂 ditunggu kelanjutanny yaaa, semangat nulisnyaa ^^

Tinggalkan Balasan ke April_pcy Batalkan balasan