Millennium (Chapter 2)

Title : Millennium | Author : @nikitaidd | Genre : Romance, Friendship | Rating : PG-13/15 | Length : Multichapter | Main Cast : Han Yuhi (OC) , Xi Luhan (EXO) , Kim Jongin (EXO) |
Support Cast : Find it in the story
Disclaimer :
Member EXO punya Tuhan dan ortu masing-masing sedangkan OC tercipta dari pikiran author

 

This story is 100 % pure from my mind
No bash, No plagiarize

_______________________________________

 

 

A Chance? Maybe not

*****

Langkah kakinya yang terkesan buru-buru menggema di sepanjang koridor bercat biru muda. Ia terus berjalan menyusuri koridor yang serasa tak berujung itu. Berulang kali iris coklatnya menyempatkan untuk melirik gelang jam yang melingkar indah pada pergelangan tangannya. Anehnya, ia sama sekali tak bisa membaca angka yang tertera pada arlojinya sendiri. Ia kebingungan. Parasnya tak pernah berhenti menyiratkan kekhawatiran. Keringat dingin meluncur turun dengan mulus di wajahnya.

Tampak jelas bahwa gadis itu ketakutan. Dirinya tak pernah paham ada dimana ia sekarang dan sedang apa. Juga sampai kapan ia akan terjebak disana––di tempat yang ia rasa waktu selalu berjalan lambat, bagaikan 1000 tahun.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalanya hingga pada akhirnya secercah cahaya di ujung koridor membuat matanya berbinar, berharap disana ia akan mendapat pertolongan.

Tapi alisnya bertaut saat sadar bahwa ada seseorang disana. Seseorang yang berdiri bersama cahaya di ujung lorong gelap tersebut. Seseorang yang ia rasa sangat ia kenal.

Ia menggumamkan sebuah nama sebelum akhirnya ia berlari lebih kencang dari sebelumnya menuju orang itu. Senyumannya mengembang ketika ia bisa melihat sosok itu dengan jelas.

Hingga akhirnya, tangannya menggapai sosok itu tepat ketika sosok itu berbalik menghadapnya. Dalam sekejap senyuman itu lenyap dari wajahnya. Mata yang tertawa itu seakan-akan mati seketika. Tenggorokannya tercekat sampai-sampai ia tak bisa menjerit saking terkejutnya.

Sosok di depannya berubah. Gadis itu sama sekali tak mengenali siapa yang ada di depannya saat ini. Ia mundur dengan langkah lebar. Tapi sosok itu terus berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangannya ke depan. Hingga pada akhirnya mencengkeram bahunya dan…..

 

 

“Yuhi sayang, bangunlah. Sudah pagi. Kau harus ke sekolah.” Yuhi cepat-cepat mengangkat kepalanya dengan matanya yang masih terpejam ketika eomma-nya membangunkannya dari tidurnya. Ia segera duduk tegak lalu meregangkan otot-ototnya.

“Kenapa kau tidak tidur di ranjang, sayang? Tidur di meja belajar itu tidak baik. Lain kali jangan diulangi, arra?” gadis itu menyahut ibunya pelan sembari melepaskan headphone yang sudah semalaman ia pakai.

Sekilas ia melihat kalender yang bertengger di atas meja belajarnya. Tanggal 16 September 2013 adalah hari ini.

“Tadi aku mimpi apa, ya?” gumamnya sebelum beranjak dari kursi dan melangkah keluar sambil terus mencoba mengingat mimpi yang sama sekali tak bisa ia ingat itu.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

Jam digital di meja nakas sudah manunjukkan pukul 06.51 ketika pemuda itu baru saja membuka matanya. Ia melompat dan langsung menghambur ke kamar mandi. Barulah tiga menit kemudian ia keluar dengan rambut yang basah kuyup––yang tentu saja membuatnya terlihat lebih segar. Ia terlalu buru-buru memakai seragamnya sampai-sampai tak mengawasi langkahnya yang kemudian menginjak plastik bekas snack-nya tadi malam yang tergeletak di atas lantai kamarnya sehingga membuat dirinya terjatuh. Dengan pantat yang mendarat duluan.

“Baru bangun, hm?” suara seorang wanita membuatnya segera berdiri. Itu eomma-nya.

“Aduh, eomma kenapa tidak membangunkanku sih? Aku jadi kesiangan. Dah, eomma!” berlari keluar kamar sambil mengelus pantatnya yang sakit, lalu kembali lagi ke kamar karena lupa sama tasnya membuat sang eomma berdecak heran gegara tingkah putra tunggalnya.

 

“Sudah lewat satu menit!” pekik laki-laki itu yang masih berlari seraya melihat jam tangan hitam miliknya. Ia panik bukan main. Bel sekolah pasti baru saja berbunyi sementara setengah perjalanan pun ia belum sampai.

Ia mempercepat langkahnya ketika gerbang sekolah sudah nampak di depan mata. Hanya saja, sama seperti sebelum-sebelumnya, ia selalu datang ketika gerbang itu sudah tertutup. Tapi laki-laki tetaplah laki-laki. Pemuda yang kini sudah terlihat berantakkan itu selalu punya ide yang sama. Memanjat pagar, seperti yang sebelum-sebelumnya.

Tak butuh waktu lama agar ia bisa sampai di halaman sekolah. Kemudian, berjalan mengendap-endap di belakang pos satpam agar tidak ketahuan. Tapi sepertinya ia boleh lega sedikit. Karena, betapa beruntungnya ia kali ini, satpam sekolahnya tengah menonton berita pagi dengan amat serius. Sampai-sampai tak mengetahui adanya makhluk yang melanggar peraturan sekolah.

Laki-laki itu berlari masuk ke dalam gedung sekolah yang sudah sepi. Menyusuri beberapa koridor panjang bercat sama––biru muda.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

“Permisi, Guru Yang. Ada murid baru. Dia akan ditempatkan di kelas ini.” Seorang pria dengan wajah tegas tengah bertatap muka dengan seorang pria yang lain, yang tengah mengajar.

“Oh, ye. Tentu saja.”

“Sekarang, kau boleh memperkenalkan dirimu.” Ujar lelaki yang notabene sebagai kepala sekolah di SMA itu kepada gadis yang tengah bersamanya.

Gadis itu menghadap teman-teman barunya yang sepenuhnya telah memerhatikan dirinya.

“Ha–”

“Jeoseonghamnida, saem.” Perkataan gadis itu terputus. Benar-benar terputus ketika dengan tidak sopannya seorang lelaki menerobos pintu kelas dengan penampilan awut-awutan. Jelas saja hal itu menyita semua perhatian seisi kelas, tak terkecuali Guru Yang beserta kepala sekolah.

“Terlambat lagi, Xi Luhan?” tanya Guru Yang seraya menurunkan sedikit kacamata tebalnya untuk melihat penampilan Luhan dari atas sampai bawah.

“J-jeoseonghamnida.” Luhan membungkuk sempurna dengan perasaan tak karuan setelah menyadari bahwa kepala sekolahnya berada di kelas itu.

“Xi Luhan, duduklah. Ehem, lanjutkan.” Kepala sekolah memberi sinyal berturut-turut pada Luhan lalu pada gadis yang tadi datang bersamanya. Luhan tak langsung duduk di bangkunya. Dirinya menyempatkan beberapa detik untuk bertatap muka dengan gadis itu.

“Halo, namaku Han Yuhi, pindahan dari Busan. Mohon bantuannya.” Gadis yang memperkenalkan diri sebagai Han Yuhi itu menatap seisi kelas yang masih memerhatikan dirinya yang memasang wajah datar sejak masuk kemari.

“Nona Han, kau bisa duduk disana.” Kepala sekolah itu menunjuk sebuah bangku kosong yang berada di deret kedua dari kiri dan nomor dua dari belakang. Ia mendesah lalu berjalan menuju bangku tersebut. Saat ia melangkah, kepala sekolahpun juga ikut pamit.

Psst, mau tukar tempat? Aku ingin duduk di bangku itu.” seorang laki-laki berkulit putih seperti porselen yang duduk di sebelah bangkunya itu berbisik padanya. Sejujurnya ia tidak ingin. Toh bangku di seluruh kelas sama saja, ’kan?

Tapi sebagai murid baru, ia tidak boleh cepat-cepat merusak nama baiknya yang masih bersih. Ia harus baik hati.

“Tentu.” Sahutnya, masih dengan wajah cuek khas miliknya. Lalu ia pun segera berpindah ke bangku laki-laki tadi. Tapi baru saja ia hendak duduk seorang lagi-lagi bertanya padanya, apakah ia mau bertukar bangku?

“Baiklah,” jawabnya sedikit terpaksa. Yuhi harus membawa tasnya ke bangku yang lain lagi. Lalu teman di sebelahnya juga meminta untuk bertukar bangku. Rasanya ia sudah mulai geram. Sudah tiga kali ia diminta untuk bertukar bangku. Apakah ini lelucon? Apa ia sedang dikerjai, karena ia murid baru? Tawa pun mulai terdengar dari beberapa anak di kelas itu, membuat Guru Yang harus berusaha sedikit untuk mengembalikkan perhatian murid-muridnya kembali ke papan tulis.

Dan sampailah Yuhi di bangku deret paling tepi dekat dengan jendela.

“Kau mau bertukar bangku juga?” tanyanya dingin pada laki-laki berkacamata yang duduk di pojok––di belakangnya.

“Tidak, tidak perlu.” Jawabnya sedikit gugup. Tanpa basa-basi lagi Yuhi segera mendudukkan dirinya di kursi setelah sempat berpandangan dengan orang yang duduk di bangku di depannya––Luhan.

 

 

Yuhi tidak tahu apakah ini hanya perasaannya saja atau memang kenyataan, tapi menurutnya bel istirahat di sekolah barunya cepat sekali berbunyi. Menyebabkan kebisingan yang luar biasa dikarenakan murid-murid yang selalu ingin segera keluar kelas.

Kelas nyaris kosong. Hanya ada dua anak saja. Yuhi dan anak kutu buku berkacamata yang duduk di belakangnya. Jika anak itu lebih suka untuk membolak-balik lembar-lembar usang bukunya, maka Yuhi lebih memilih untuk memasang headphone kesayangannya dan berpesta dalam dunianya sendiri.

Gadis itu sedang melihat pemandangan yang terlihat dari kelasnya ketika matanya menangkap seorang laki-laki berpawakan seperti ‘sahabatnya’ tengah melintas dipinggir lapangan basket. Tiba-tiba otaknya ingat bagaimana akhirnya ia berhasil pindah ke Seoul tiga hari lalu. Dan juga ketika orang tuanya memperbolehkan dirinya untuk memilih sekolah yang ia sukai. Tanpa sadar ia tersenyum saat ia mengingat alasannya bersekolah disini.

Jongin. Alasannya bersekolah disini adalah untuk bertemu dengan sahabatnya itu. Beberapa hari sebelum pindah ke Seoul ia mendengar berita bahwa Jongin bersekolah di SMA ini. Hanya itu kok, alasannya. Jongin.

 

 

Beberapa anak sudah kembali ke kelas ketika sekitar lima belas menit sejak awal jam istirahat telah lewat. Tapi gadis itu masih duduk diam sampai dirinya dikejutkan oleh seseorang.

“Hei, murid baru.” Yuhi sedikit tersentak ketika tiba-tiba seorang siswa laki-laki dengan entengnya langsung duduk di atas mejanya tanpa permisi. Ia pun melepas headphone-nya.

“Junmyeon. Ketua kelas di kelas ini.” Laki-laki dengan kulit putih porselen itu mengulurkan tangan. Yuhi memicingkan matanya menatap laki-laki itu. Perlu beberapa detik bagi Yuhi untuk menyadari bahwa laki-laki dengan nametag Kim Junmyeon itu adalah anak yang pertama kali memintanya untuk bertukar tempat duduk. Barulah setelah itu Yuhi membalas uluran tangannya.

“Hm, aku hanya ingin memberitahumu kalau besok kau kebagian jadwal piket. Tiap hari kami melaksanakan piket bergiliran.” Yuhi hanya memutar mata mendengar hal itu. Tentu saja ia tahu hal itu. Kalau tidak ada jadwal piket ia malah akan heran.

“Dan aku harap kau bisa bekerjasama dengan teman-teman yang lain yang juga akan piket denganmu besok. Kami melaksanakan piket sepulang sekolah.” Ia mengakhiri penjelasannya lalu beranjak pergi tanpa menghapus senyumannya yang sejak tadi ia tampakkan.

Setelah kepergian Junmyeon, gadis cuek itu lagi-lagi memasang headphone­-nya untuk melanjutkan aktivitasnya yang sempat terusik.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

Bagi Yuhi hari ini adalah Hari Rabu yang singkat. Ia rasa ia baru datang dua jam lalu tapi entah bagaimana sekarang bel pulang sudah berbunyi.

Ia baru saja merasa senang karena sudah waktunya untuk pulang. Ia ingin segera sampai di rumah lalu segera makan siang––karena ia belum makan seharian ini. Dan juga istirahat di atas kasurnya karena seingatnya tadi malam dirinya hanya tidur tidak lebih dari empat jam saja. Tapi bayangan menyenangkan itu seketika hilang saat Junmyeon mengingatkannya bahwa hari ini adalah gilirannya piket.

Dengan terpaksa, ia melaksanakan tugasnya yaitu menyapu bagian belakang lantai kelas tanpa semangat. Sepuluh menit berlalu dan ia hampir menyelesaikan dua per tiga tugasnya. Tapi tiba-tiba kepalanya terasa pening. Gadis itu berinisiatif untuk memijit keningnya pelan walau tidak ada pengaruh apapun, menurutnya.

Malah ia merasakan cairan dingin mengalir dari dalam hidungnya. Dan benar saja. Dalam sepersekian detik setetes cairan berwarna merah meluncur turun dan jatuh tepat di atas lantai kelas yang putih bersih itu.

Spontan Yuhi cepat-cepat mendongakkan kepalanya ke atas, berharap agar darahnya segera berhenti.

“Yuhi-ssi, gwaenchanayo?” tanya seorang teman perempuannya yang langsung menghampiri. Tak lama kemudian, Yuhi telah duduk dikelilingi oleh teman-temannya.

“Wajahmu pucat sekali.” Ujar gadis tadi. Yuhi tidak tahu namanya. Ia belum bisa menghafal semua temannya.

“Biar kutebak. Kau belum makan apa-apa seharian ini?” tanya anak laki-laki berkacamata sambil menjentikkan jarinya. Sedangkan Yuhi hanya bisa tersenyum tipis sambil mengangguk.

“Sudah kuduga! Aku sudah banyak menemui kasus seperti ini.” Ujarnya kemudian dengan wajah bangga.

“Ya! Kim Jongdae! Ayo kita pulang sekarang! Aku lupa ada janji dengan adikku siang ini!” seseorang tiba-tiba menerobos masuk pintu kelas. Membuat orang-orang yang berada di dalamnya menoleh serempak. Ternyata itu Minseok. Teman sekelas Yuhi yang baru saja kembali dari membuang sampah.

“Hah, sekarang? B-baiklah.” Anak bernama Jongdae – yang berkacamata dan seorang kutu buku – dengan kilat mengambil tasnya di bangku pojoknya. Lalu berpamitan pada semuanya sebelum berlari bersama Minseok.

“Boleh aku pulang? Aku ingin tidur siang.” gadis yang tadi menghampiri Yuhi pertama kali itu bertanya sembari menguap. Luhan menjawabnya dalam diam. Baru setelah itu ia berjalan pelan-pelan keluar kelas.

Jadi, sekarang hanya ada Yuhi dan Luhan di kelas.

Iya, Luhan. Mantan tablemate-nya.

“Apa darahnya sudah berhenti?” pertanyaan yang aneh untuk membuka obrolan, pikir Yuhi. Tapi ia tetap menjawabnya. Hanya dengan anggukkan.

“Kau mau pulang sekarang? Aku bisa mengantarmu.” Yuhi menimbang jawaban cukup lama.

Sebenarnya ia mau-mau saja pulang sama Luhan. Menurutnya, bersama siapapun ia pulang tak berpengaruh apapun baginya jika ia tetap bisa sampai di rumahnya. Namun ia juga berpikir bagaimana nantinya kalau ia berjalan pulang dengan Luhan di sampingnya. Pasti akan jadi sangat awkward. Mengingat ia punya salah pada Luhan sejak di bangku SD dan belum minta maaf hingga sekarang.

“Oke.” satu katu saja yang gadis itu lontarkan sebelum akhirnya berdiri meraih tasnya dan berjalan keluar dengan diikuti Luhan di belakangnya.

Mereka berjalan dalam diam menuju halte bus. Mereka masih berjarak cukup jauh dari halte ketika sebuah bus tengah berhenti disana.

“Kita tunggu bus berikutnya saja bagaimana?” tanya Luhan tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.

“Tidak masalah.” Gumam Yuhi juga tanpa menoleh. Berbeda dengan Luhan yang memerhatikan jalan, gadis itu memerhatikan segerombol siswa yang berseragam sekolah sama sepertinya. Laki-laki diantaranya cukup menarik perhatiannya. Laki-laki berpawakan seperti Jongin. Mungkin itu laki-laki yang kemarin ia lihat, pikirnya. Dan ia rasa itu bukan Jongin.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

Yuhi sedang mendengarkan musik lewat headphone kesayangannya sembari melihat-lihat yang bisa ia lihat dari jendelanya. Ia selalu melewati istirahat dengan cara yang sama selama sepuluh hari ia sekolah disini.

Istirahat nyaris usai saat Luhan menyenggol lengannya pelan, membuatnya menoleh. Luhan hanya mengedikkan kepalanya ke arah pintu kelas ketika Yuhi melemparkan pandangan bertanya padanya. Yuhi pun melirikkan matanya ke arah yang ditunjuk Luhan.

Detik pertama Yuhi tidak percaya apa yang ia lihat. Tapi kemudian ia mulai melepaskan headphone­-nya dan berjalan ragu-ragu ke arah sosok yang tengah menunggunya. Sosok itu memerhatikannya dengan wajah sumringah. Senyum lebar nampak di wajah itu. Wajah yang sangat dikenali Yuhi dan juga wajah yang selama ini ia rindukan.

“Jong.” Hanya itu yang sanggup ia ucapkan saat dirinya benar-benar berdiri di depan sosok tersebut.

“Yuhi-ya!” cepat dan tanpa basa-basi, laki-laki itu mendekap Yuhi erat. Tak memedulikan banyaknya pasang mata yang melihat kejadian itu. Entah murid-murid di sepanjang koridor ataupun teman-teman Yuhi yang berada di dalam kelas.

“Kau pindah ke Seoul juga! Akhirnya,” ujarnya masih memeluk Yuhi. Yuhi hanya diam. Jujur, ia senang sekali Jongin memeluknya walau ia cukup terkejut tadi.

“Beruntung sekali bisa satu sekolah lagi denganmu.” Ujar Jongin––tanpa melepas senyum gembiranya.

“Sebenarnya aku mendengar bahwa kau sekolah disini. Jadi, saat appa pindah tugas ke Seoul aku sengaja memilih sekolah ini.” Ungkap Yuhi sambil tersenyum. Ia senang tentu saja.

“Jinjja? Wah, kau sengaja menyusulku, ya? Ah, kau teman yang hebat!” Untuk kedua kalinya, Jongin memeluk Yuhi lagi. Sementara itu Yuhi hanya tertawa dalam pelukan sahabatnya tersebut.

“Kita harus sering-sering menghabiskan waktu bersama lagi! Kau harus memberitahuku dimana kau tinggal. Supaya tiap pagi aku bisa menjemputmu lalu kita pergi ke sekolah sama-sama. Seperti dulu!”

Entah Jongin menyadari atau tidak, tapi secara otomatis senyuman Yuhi bertambah lebar setelah mendengar ucapannya barusan. Tidak ada yang spesial. Gadis itu hanya merasa senang karena Jongin masih mengingat hal-hal kecil tentang mereka berdua yang dulu.

Yuhi baru saja mau menjawab ketika sebuah suara berat masuk menembus gendang telinganya.

“Membolos lagi, Kim Jongin? Dan sekarang kau mau mengajak muridku?” ternyata Guru Yang.

Jongin membungkuk hormat, begitu pula Yuhi. Rupanya mereka tidak sadar bahwa bel masuk sudah berbunyi.

“Tidak, saem. Saya baru saja hendak pergi.” Ujar Jongin dengan senyum yang tidak biasa ketika ditegur guru seperti tadi. Kemudian pemuda itu membungkuk sekali lagi lalu berlari kecil menjauh.

Yuhi memerhatikan Jongin yang berulang kali menengok ke belakang dengan senyum yang tidak segera hilang dari wajahnya.

Tampan, pikir Yuhi.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

“Yuhi, mari pulang.” ajak Luhan ketika ia selesai membereskan barang-barangnya.

“Eh, sebentar. Aku kehilangan penghapusku.” Jawab Yuhi sambil berjongkok mencari penghapusnya yang mungkin jatuh.

“Yuhi-ya!” seseorang memanggil namanya. Sontak ia menoleh. Ah, ternyata Jongin.

“Ada apa, Jong? Kau tidak pulang?” tanyanya sembari bersandar di ambang pintu.

“Apa tadi aku tidak bilang kita akan pulang sama-sama?” Jongin mengerutkan alisnya. Yuhi hanya menggeleng pelan.

“Ah, ya sudah kalau begitu. Lupakan. Kita tetap akan pulang bersama. Ayo!” Jongin menggandeng dan menarik pelan tangan Yuhi, memberi tanda untuk pergi. Tapi Yuhi menahannya.

“Ada apa?” Jongin menoleh pada sahabat sehidup-semati-nya yang belum mau beranjak dari sana. Gadis itu menatap ke dalam ruang kelasnya. Tepatnya ke arah bangkunya, tempat dimana Luhan menunggu.

“Tasku masih di dalam.” Jawab Yuhi kalem. Perlahan ia melepas genggaman tangan Jongin padanya lalu berlari-lari kecil untuk mengambil tasnya. Setelah itu melesat tanpa menghiraukan Luhan yang menatapnya lekat.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

“Yuhi, ayo pulang.” Seperti kemarin-kemarin, Luhan menghampiri Yuhi yang baru saja keluar dari kelas. Sekarang memang sudah waktunya pulang.

“Ah, maaf, Lu. Tapi aku sudah bilang pada Jongin akan pulang bersamanya.” Jelas Yuhi. Ia merasa tidak enak menolak ajakan baik Luhan.

“Oh. Baiklah, tidak masalah. Aku bisa pulang dengan Jongdae dan Minseok, kok.” Luhan tersenyum seperti biasa. Namun justru hal itu yang membuat Yuhi makin merasa bersalah menolaknya.

“Aku pergi dulu. Sampai besok.” Pamit Luhan sebelum berbalik dan berjalan dengan dua tangan di saku celananya. Yuhi memerhatikan Luhan yang berjalan makin jauh. Dan entah apa yang membuatnya ingat kalau kemarin ia sama sekali mengabaikan Luhan untuk pulang dengan Jongin. Hal itu makin membuatnya tambah merasa bersalah berkali-kali lipat.

“Luhan!” panggilnya. Yang punya nama menoleh. Yuhi pun berlari menyusul Luhan yang hampir berbelok di koridor di depan.

“Aku minta maaf. Untuk kemarin.” Ucapnya pelan. Luhan hanya diam sebelum ia tersenyum sebagai respon. Lalu pergi tanpa berkata apapun.

Yuhi masih berdiri diam cukup lama menatap punggung Luhan yang menjauh sampai tidak terlihat sama sekali.

“Yuhi-ya!” seketika gadis itu menoleh dengan senang. Orang yang ia tunggu akhirnya datang juga.

“Yuhi, a-aku tidak bisa pulang denganmu. Maaf.” Jongin memegangi lututnya mencoba mengatur napas. Ia pasti berlari untuk menuju kemari. Untungnya Jongin sedang menatap ke arah bawah. Sehingga ia tidak melihat ekspresi wajah Yuhi yang berubah drastis.

“Kenapa?” tanya Yuhi. Sedikit ada nada kecewa dalam suaranya.

“Aku ada kerja kelompok. Maaf, ya.” jelas Jongin yang lagi-lagi disertai kata maaf.

“Oh. Baiklah, tidak masalah. Aku bisa pulang… sendiri, kok.” Yuhi menelan ludah. Kata-kata yang ia ucapkan adalah kata-kata yang baru saja ia dengar. Luhan yang baru saja mengatakannya. Ia jadi gugup sendiri.

“Tidak apa-apa kau pulang sendiri?” tanya Jongin yang sepertinya merasa bersalah.

“Iya, tidak apa-apa.” Yuhi tersenyum dengan sedikit dipaksakan.

“Kalau begitu, aku akan pergi sekarang. Teman-temanku sudah menunggu. Kau, hati-hati ya kalau pulang. Dah!” Jongin berlari menjauh seraya melambaikan tangannya. Yuhi membalasnya berat.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

Sudah lima hari belakangan Yuhi pulang sendirian. Selama itu Jongin selalu tidak bisa pulang bersamanya dikarenakan alasan ini dan itu. Yuhi menghela napas berat mengingat Jongin. Ia kecewa, sungguh. Padahal ketika pertama kali bertemu Jongin di sekolah ini ia menaruh harapan besar supaya bisa menghabiskan banyak waktu bersamanya lagi. Untuk mengganti enam tahun tidak bertemu, boleh ‘kan?

Teeet..Teeet..Teeet..Teeett…

Bel pulang lagi-lagi berbunyi. Yuhi keluar kelas dengan lesu. Ia berjalan pelan sepanjang koridor. Ia jadi berharap Luhan akan mengajaknya pulang bersama. Sedikit perasaan menyesal hinggap padanya. Pasalnya, akhir-akhir ini Luhan tidak pernah mengajaknya pulang bersama lagi. Mungkin Luhan bosan karena Yuhi selalu menolak ajakannya.

Gadis itu berjalan melewati perpustakaan sekolah, jalan memutar yang cukup jauh untuk menuju gerbang depan. Ia sengaja lewat sana untuk sekalian mampir ke toilet. Juga supaya ia lebih terbiasa dengan sekolah barunya. Karena ternyata sekolahnya ini besar sekali.

Ia hendak berbelok di samping perpustakaan ketika ia mendengar ada sesuatu yang menghantam dinding pelan. Ia mengintip sedikit. Tapi ia menyesal melakukannya. Sangat menyesal.

Disana, ada Jongin. Kim Jongin sahabatnya, sedang mengunci seorang gadis diantara dinding dan dirinya. Lalu entah bagaimana selanjutnya, Yuhi sudah melihat bibir mereka bertautan satu sama lain. Melumat dengan penuh nafsu.

Yuhi tidak tahan melihatnya.

“Yuhi?” Seseorang di belakangnya menyerukan namanya Yuhi. Tentu saja membuat Yuhi menoleh cepat pada orang itu.

“Jongdae?” Yuhi menyahut dengan setengah berbisik.

“Apa yang sedang kau lakukan?” Jongdae juga ikut merendahkan suaranya lalu melakukan apa yang baru saja Yuhi lakukan. Mengintip di balik dinding.

“Astaga. Aku tidak percaya mereka melakukannya lagi. Itu membuatku muak. Itu menjijikkan. Sudahlah, ayo pergi. Kita tidak boleh melihat yang begituan.” Kata Jongdae pelan seraya berbalik dan melangkah menjauh dari sana. Yuhi mengikutinya walau sekali-kali ia menolehkan kepalanya ke belakang dengan tatapan yang tak dapat diartikan.

“Omong-omong, aku baru saja dari perpustakaan. Kau mau pulang, ‘kan? Kita bisa pulang bersama, bagaimana?”

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

Cuaca hari ini sedang tidak bagus. Nampaknya kurang bersahabat bagi orang-orang yang hendak pergi keluar. Buktinya saja sudah sejak tadi pagi langit mendung dan disertai hujan gerimis yang tidak putus-putus. Membuat orang-orang di Kota Seoul memiliki sugesti bahwa sore ini kemungkinan besar akan hujan deras.

Han Yuhi sama sekali tidak memerhatikan guru yang mengajar sejak jam pelajaran pertama. Ia selalu melihat keluar jendela saat guru menerangkan. Ia yakin orang tuanya tidak akan suka jika ia bercerita demikian. Tapi apa yang harus ia lakukan saat otaknya benar-benar sedang ingin istirahat dari hal-hal semacam matematika, fisika, serta sejarah? Memaksakan diri tentu saja bukan hal yang bagus.

Maka dari itu, daripada otaknya rusak karena dipaksa untuk berpikir, lebih baik ia mengistirahatkannya daripada membeli yang baru lagi, benar?

“Yuhi-ssi, apa tugasmu sudah selesai?” tanya seseorang di sela-sela lamunannya.

“Belum.” Yuhi hanya menjawab sekenanya.

“Kau terlihat tidak baik. Apa kau sakit?” tanya orang itu lagi yang menjabat sebagai ketua kelas. Itu Kim Junmyeon.

“A-aku baik-baik saja. Hanya sedang malas untuk berpikir.” Gadis itu berusaha menjawab apa adanya.

“Kalau kau sakit sebaiknya pergilah ke ruang kesehatan. Itu akan lebih baik. Atau kalau kau sedang punya masalah, kau bisa bercerita padaku atau pada teman yang lain. Kami semua kan temanmu sekarang. Jangan dipendam sendiri.” Tuturnya seraya tersenyum ramah seperti biasa.

“Terimakasih, Junmyeon-ssi.” Orang itu langsung pergi begitu Yuhi berkata terimakasih. Dan Yuhi baru saja hendak memanggilnya kembali karena ingin berbagi tapi bel pulang tiba-tiba berbunyi. Membuat Yuhi harus membatalkan acara sharing bersama Junmyeon.

Seperti biasa, Yuhi selalu keluar kelas agak terakhir. Soalnya, dia menunggu koridor agar sepi dulu. Ia tidak yakin kalau dirinya suka bersesak-sesakkan dengan murid-murid lain di koridor.

“Yuhi!” ia menoleh ke belakang. Terlihat Jongin yang sedang berlari menuju dirinya. Ia hanya menatap laki-laki itu pedih.

“Kau mau pulang, ‘kan? Ayo,” seperti biasa, Jongin selalu menggandeng tangan Yuhi. Kali ini tak ada senyum maupun kata yang Yuhi tampakkan.

“Kau diam saja sejak tadi. Kenapa?” tanya Jongin masih dengan wajah semangatnya. Yuhi hanya menggeleng sebagai respon. Bayangan tentang Jongin kemarin masih melekat jelas di otaknya. Ia jadi merasa aneh berada di dekat sahabatnya sendiri.

“Oppa!” Jongin yang tiba-tiba berhenti, membuat Yuhi yang berada di sampingnya juga ikut berhenti.

“Kau mau pulang? Kau akan mengantarku pulang, ‘kan?” seorang gadis menghampiri Jongin dan bertanya pada Jongin dengan senyum lebar.

“Ehem. Jinri, ini Yuhi temanku. Yuhi, ini Jinri dia–”

“Choi Jinri. Aku kekasihnya Jongin oppa.” Perempuan bernama Jinri itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum angkuh. Yuhi menatap tangan itu, merasa ogah-ogahan untuk membalasnya.

“Aku akan pergi.” Yuhi berujar dingin setelah berjabat tangan dengan gadis bernama Jinri tadi.

“Eh, bukankah kita akan pulang bersama?” Jongin menoleh pada Yuhi dan menatapnya penuh tanya.

“Kasihan pacarmu kalau kau pergi denganku. Sampai jumpa.” Yuhi segera berlalu dari sana. Ia bahkan tak memedulikan suara Jongin yang masih memanggilinya.

Tak lama ia pun sampai di halte. Dia hanya duduk dan diam. Mencoba berpikir betapa menyedihkannya dirinya.

Jalanan sangat sepi saat ini. Tak banyak orang yang berlalu-lalang. Toh gerimis juga mulai turun deras. Gadis itu sesekali menengadahkan tangannya untuk menangkap beberapa rintik air hujan yang turun melalui atap halte.

 

“Apa aku masih punya kesempatan?”

Yang ia harapkan hanyalah kesempatan. Kesempatan emas yang menghampiri dirinya. Kesempatan yang membuatnya bahagia. Ia tak pernah tahu sejak kapan ia berharap lebih pada sahabatnya. Yang ia tahu adalah ia terlalu menyayangi orang itu. Bahkan mungkin ia tak akan pernah rela untuk melepasnya. Karena melepaskan sesuatu yang kita sayangi itu tidak mudah.

 

“Yuhi-ya!” sebuah suara membuatnya menoleh. Suara itu masuk ke telinganya bersamaan dengan langkah kaki yang berlari di atas kubangan air.

“Boleh aku menunggu bus bersamamu?” dan untuk pertama kalinya, Yuhi tersenyum mengetahui kehadiran orang di depannya.

 

Sometimes, people can’t realize a ‘little thing’ around them.
And they never know that ‘little thing’ may change everything.

 

 

XXXXXXXXXX

 

 

[TO BE CONTINUED]

_______________________________________

Chapter 2nya gimana menurut readers? Gak menarik? Dohh… sori, sori, soriii. Ini author pas lagi gak punya ide, jadinya kayak gini dehh. Jelek buangett T.T
Ada yang nunggu next chapter ndak? Buat chapter 3nya author usahain bikin dengan kesungguhan hati -,-9
Seperti biasaa… Saya mohon maaf jika ada kesalahan pada FF ini jugaaa kalau misalnya aja jarak per chapter terlalu panjang. Soalnya sekarang saya lagi fokus ke pelajaran, taun depan UN soalnyaaa hehe 😀
OK! Trimakasih buat reders semuaa ^.^

2 pemikiran pada “Millennium (Chapter 2)

Tinggalkan komentar