데모스

demoseu by kiyorel

데모스

Author: l.joo//bekey [] Title: 데모스 [] Rating: PG-13 [] Length: Oneshot. 3270w [] Genre: slight!sad, incest, pedophillia-content [] Cast; EXO Jongin, OC Jaein & Josephine [] Note: karena disini Jongin pedofil… buat reader yang ga mau biasnya diginiin mending ga usah baca ya 😉 satu lagi, incest yang aku maksud disini bukan incest yang menuju ke NC yaa 😉

 

(big thanks to Kiyorel @ Poster Channel for dat awesome poster <3)

 

~~~
Jaein tidak lagi menyesal mencintai kakaknya sepenuh hati.
~~~

 

Tiga tahun bukanlah waktu yang banyak untuk melupakan seseorang.

 

Jongin sangat sayang pada kekasihnya dulu, namun ia pergi begitu cepat. Jongin masih ingat persis, ketika kekasihnya itu berkata bahwa ia mulai bosan dengannya dan mulai sekarang mereka tidak lagi menjalin hubungan, kemudian ia berlalu― tak memperdulikan Jongin yang masih tidak tau kepastiannya. Tangan ‘mantan’ kekasih Jongin melingkar erat di lengan lelaki lain yang menunggunya. Oh, pria barunya, rupanya.

 

Air mata mulai menggenang di ujung pelupuk Jongin. Bahunya bergetar, namun ia tidak menangis. Butir bening itu masih tetap menggantung di pelupuk matanya. Bahunya bergetar lebih kuat lagi, saat ia menatap sang mantan kekasih mengecup bibir pria barunya… di depan mata Jongin sendiri.

 

…Jongin hanya takut… takut untuk jatuh cinta lagi.

 

~~~

 

“Jaein! Sudah jam delapan, tau!!”

 

“APAA??!”

 

“Cepat masuk mobil! Aduh, sepatumu hilang kemana lagi?? Jaein, Kim Jaein! Cepat selesaikan PR-mu di mobil! Aku akan cari sepatumu!”

 

“Sepatunya sudah kupakai, dasar bodoh!”

 

“Siapa yang kau katakan bodoh, hah?! Tidak sopan kau!!”

 

Jongin menarik tas krem yang menggantung di punggung adiknya, menyeret gadis kelas 1 SMP itu dan melemparnya ke dalam mobil. Setiap pagi selalu dihiasi pertengkaran kecil mereka, Jongin suka itu karena ia pikir adik kandungnya ini lucu saat ia kerjai. Setidaknya untuk kembali membuatnya ceria― setelah kejadian saat itu.

 

Sudahlah. Jongin tidak mau membahasnya lagi.

 

Jongin melirik gadis cilik di sampingnya itu, sedang makan roti dengan mulut kelewat penuh, serta remah yang tercecer di buku PR-nya. Kakaknya hanya menggeleng kepala.

 

“Kim Jaein, kau itu perempuan, oke?” ucapnya, Jaein segera menoleh. “Kalau makan yang benar. Remahnya jangan tercecer begitu, siapkan tisu. Dan ya ampun, mana ikat rambutmu? Kau mau membiarkan rambutmu tergerai tanpa kau sisir? Jaein-ah, kalau begini penampilanmu… nanti tak ada lelaki yang suka padamu, lho,”

 

Yang di ceramahi pun mencibir. “Mana aku peduli. Urus dirimu sendiri sana, jangan urusi yang harusnya jadi urusanku,”

 

Jongin mengabaikan adiknya dan menginjak rem mendadak ketika gerbang sekolah mulai terlihat. Kepala Jaein terantuk dashboard mobil, ia protes― namun kakaknya tetap mengabaikannya. Jaein hanya cemberut saat pipinya dikecup sang kakak.

“Belajar yang rajin, Jae. Aku jemput seperti biasa, ya?” pesan Jongin.

 

Ay-ay kapten Jongin!” Jaein mengangguk patuh, ia mengucapkan see you dan kemudian berlari seiring bel sekolah yang berbunyi.

 

Jongin menatap gadis kecilnya― gadis dengan tas ransel krem dan surai cokelat kering.

 

…tapi mengapa bayangan itu terpikir kembali? Bayangan tentang mantan kekasihnya yang memiliki tas MCM krem dan surai cokelat mahoni.

 

~~~

 

“Aku diajak makan di toko es krim,” ucap Jaein tiba-tiba. Sore itu, ia dan sang kakak sedang menonton Spongebob Squarepants sambil bergumul pada beberapa camilan.

 

“Dimana?”

 

“Toko es krim baru dekat TK,”

 

“Dengan siapa?”

 

“Jeno,”

 

Jongin memicingkan matanya. “Jeno? Jeno siapa? Kau punya pacar, Jaein?”

 

“Yah, oppa!” teriak Jaein, ia melempar bantal di pangkuannya ke arah wajah Jongin yang memasang muka heran. “Jangan salah sangka! Kami hanya teman,”

 

“Kau yakin?”

 

“Aku tidak terlihat mencurigakan, kan?”

 

Lelaki berumur sekitar 27 tahunan itu mengangguk paham. “Eung, boleh,”

 

Mata adiknya segera berbinar, menatap senang pada Jongin. “Benarkah??”

 

“Asalkan aku ikut,”

 

Jaein melengos, mengerucutkan bibirnya ketika menerima kenyataan sang kakak. “Ah, tidak asik

kalau begitu,” ia berbalik memunggungi Jongin yang sedang berpikir.

 

“Begini saja,” Jongin memutar tubuh adiknya sehingga mata gelap itu bertatapan dengan mata Jongin. “Hari Sabtu besok, kau ke toko es krimnya denganku. Lalu lusanya, baru kau ke toko es krimnya dengan Jeno. Bagaimana?”

 

“Kenapa begitu?” protes Jaein.

 

“Hanya… eum, memastikan apakah tempatnya nyaman,” ucap Jongin beralasan.

 

“Yah, oke… kita kan jarang pergi bersama, ya? Itu ide bagus, kok. Aku senang,”

Senyum sang kakak merekah. “Sepulang sekolah pukul dua, ya? Aku tunggu di taman. Kau bilang pada Jeno bahwa kau tidak bisa makan dengannya, oke?”

 

“Baiklah! Oppa Janji?” mata Jaein menyiratkan kebahagiaan.

 

“Janji,”

 

Jaein balas tersenyum lebar. Ini kali pertama Jongin melihat adiknya senang karenanya. Biasanya, Jaein-lah yang biasa melihat kakaknya senang karena dirinya. Jongin sedikit merasa gagal menjadi kakak, mengingat dirinyalah yang lebih sering bersandar pada sang adik ketimbang Jaein sendiri.

 

~~~

 

@ Joojiral Company

“Kudengar dia cantik, Kkamjong. Dia akan masuk ke ruanganmu setelah aku keluar. Kau beruntung punya asisten baru yang muda & cantik. Uh, tapi kau harus memanggilnya noona karena ia lebih tua 2 tahun darimu. Ya sebenarnya, tidak apa sih… yang penting dia benar-benar cantik, rawr! Aku iri karena kau begitu cocok jika menjadi pacarnya, Jongin!” kicau Kim Taemin― partner proyek Jongin, tanpa henti.

 

Jongin mengedarkan pandangannya keluar jendela, langit biru cerah dengan awan dapat memperbaiki suasana hatinya. Ia tidak mendengarkan Taemin yang sedari tadi berceloteh tentang asisten-baru-yang-muda-dan-cantik itu. Memang apa gunanya? Jika nantinya saling memiliki namun berakhir dengan perpisahan yang menyakitkan.

 

“Lalu?” Jongin bersedekap, sebelah alisnya terangkat saat menatap Taemin. “Asisten Bendahara Kim, kau kemari untuk membicarakan proyek denganku. Jika kau ingin membicarakan wanita, keluar saja dari ruangan ini. Kau sama sekali tidak berguna,”

 

Taemin berdiri dan mengangkat kedua tangannya. “Kbye. Aku tidak keberatan, kok. Selamat memikirkan proyek sendirian,” lelaki dengan surai pirang itu meleletkan lidah. Jongin harap Taemin cepat-cepat di pecat dari perusahaan ini.

 

“Ugh… Kim Jongin?”

 

Tepat saat Jongin menggenggam bolpoinnya untuk di goreskan, suara ringan khas perempuan menyapa. Ia mengangkat dagunya untuk menatap sumber suara. Betapa terkejutnya saat ia menemukan seseorang di hadapannya ini. Seseorang yang selama satu tahun membayangi pikiran Jongin.

 

Wanita ini penampilannya masih sama dengan dulu. Dengan tas MCM krem dan surai cokelat mahoninya.

 

“Apa yang kau lakukan disini?!”

 

Ia tersenyum tipis, rambut cokelat mahoninya bergoyang ketika menunduk― sama seperti dulu.

 

Yoon Josephine. Tiga tahun lamanya sosoknya menghilang tapi terus membayangi pikiran Jongin. Dan sekarang, di saat Jongin tidak menginginkan kehadirannya― mengapa ia menampilkan diri kembali?

 

“Memperbaiki apa yang seharusnya kuperbaiki?” Josephine balik bertanya. “Menurutmu, Jongin?”

 

“…”

 

“Kau masih mencintaiku, kan?”

 

Deg. Jantung lelaki berkulit gelap itu berdetak tak karuan, setitik keringat terjatuh di pelipisnya. Ia memang benar-benar jatuh cinta kepada Josephine, tapi atas dasar cinta… sesakit itukah menerima kenyataannya? Kenyataan akan Josephine yang jika nantinya akan pergi kembali.

 

“Lupakan semua itu,” Jongin hanya bisa mengalihkan perhatian. Ia beranjak untuk mengerjakan tugas proyeknya, namun tangan Josephine menahan.

 

“Aku… masih suka padamu,”

Jongin membelalakkan matanya.

 

“Aku memang bukan remaja kuliahan lagi, umurku 29 tahun… tapi aku juga ingin punya kisah cinta seperti anak muda,”

 

Sekali lagi, Jongin hanya terdiam.

 

“Hari ini, pukul dua. Kutunggu di toko es krim baru dekat TK, ya? Kita kencan seperti dulu,”

 

Jongin mengangguk cepat. Nyatanya, ia masih mengharapkan Josephine karena tak bisa menolak ajakannya.

 

~~~

 

Sabtu siang ini tidak terlalu terik dikarenakan gumpalan awan mendung yang sedang menyelubungi langit. Jaein sedang duduk di atas dahan pohon yang kokoh, teman dekatnya― Jeno, duduk di sampingnya. Tadi Jaein bilang ia tidak bisa pergi makan es krim hari ini, Jeno berkata tidak apa-apa. Dia setia menemani Jaein yang menunggu dijemput kakaknya di taman. Dua gelas bubble tea rasa cokelat menemani keduanya.

 

“Kakakmu baik, ya, Jaein?”

 

Gadis dengan surai cokelat kering itu mengangguk semangat. “Tentu saja! Kakakku baik, dia suka senyum pada siapa saja,” Jaein dapat melihat aura iri dari mata Jeno. “Tapi… walaupun kakakku laki-laki, dia masih sering menangis,”

 

“Menangis? Ada masalah apa?”

 

“Masalah wanita. Kakakku sayang sekali sama pacarnya dulu, tapi sekarang kakakku ditinggal sama si pacar itu,” Jaein mendengus keras. “Cewek itu sialan, menyebalkan… karena membuat kakakku menangis,”

 

Jeno mengangguk tanda mengerti. “Kalau kakakku… malah lebih sering membuat lelaki menangis,”

 

“Eh?”

 

“Kakakku suka ganti pacar terus. Heol, aku merasa risih, dia seperti wanita murahan,” lelaki kecil itu mengedikkan bahunya. “Tapi… yah, setidaknya aku harus menerima kakakku apa adanya,”

Jaein tersenyum. “Di hidupku Jongin oppa-lah yang terbaik,” ucapnya tulus.

 

Lelaki disamping Jaein ini tertegun sejenak. Ia memberi sedikit jeda. Kedua alisnya saling bertautan, dahinya berkerut.

 

“Eung, siapa… nama kakakmu?”

 

“Jongin. Kim Jongin,”

 

Jeno menggaruk tengkuknya, terlihat ragu. “Kenal dengan kakakku, dong? Kakak perempuanku, Josephine,”

 

Jaein mendelik tidak percaya. “…Josephine eonni itu kakakmu??”

 

“Iya! Kakakku jadi asisten manajer Joojiral Company! Satu perusahaan dengan kakakmu!”

 

Mereka saling berpandangan.

 

“Berarti… kakak kita dulunya sepasang kekasih?”

 

Rintik hujan mulai menurun saat Jeno menanyakan hal itu. Titik pertama jatuh di atas hidung Jaein, ia menengadahkan wajahnya dan butiran air mulai menghujani wajah manis itu. Gerimis.

 

“Mungkin iya―”

 

“Hujan, Jaein!!!”

 

Ucapan gadis kecil itu terpotong oleh teriakan teman dekatnya. Jeno mengambil tas hitamnya yang digantungkan di dahan pohon yang lain, satu tangan lainnya digunakan untuk menarik lengan Jaein.

 

“Ayo pulang! Nanti kebasahan, tau!” seru Jeno sekali lagi.

 

“Mmm, aku sedang menunggu Jongin oppa disini. Nanti dia mencariku kalau aku hilang tiba-tiba,”

 

“Kalau kena hujan kau akan sakit, Jae!”

 

“Jeno pulang saja dulu… aku harus menunggu kakakku disini,” ucap Jaein tetap pada pendiriannya.

 

Jeno mulai merasakan air merembes ke dalam rompi jas seragamnya, membasahi tiap helai rambut hitam itu serta wajah tampannya. Ia mengalah pada Jaein, menggunakan tas sebagai payung dan berlari untuk segera pulang.

 

See you, Jae!”

Jaein mengabaikan lambaian lelaki kecil itu dan memilih untuk melamun. Matanya mengawang sedih, memikirkan sang kakak.

 

Ada apa?

 

Ada apa dengan Jongin dan Josephine?

 

Wanita itukah yang membuat Jongin bersandar pada Jaein selama tiga tahun ini?

 

Ratusan pertanyaan tak terjawab berkelebat di otak gadis bersurai cokelat kering itu. Satu tahun adalah waktu yang lama, mengapa Jongin masih tidak bisa melupakan wanita yang ternyata adalah kakak Jeno?

 

“Selama ini aku sudah jadi sandaranmu ketika sedih, oppa,”

 

Jaein menggumam, suara pelannya nyaris tidak terdengar ditelan gemuruh angin. Bibir sewarna cherry itu di gigitnya, ia tidak tau perasaan sakit seperti ini. Jaein tidak pernah mengalaminya.

 

“Aku yang mencintaimu… tapi mengapa oppa malah mencintai orang yang tak lagi bersimpati pada oppa?”

 

Air mata yang meleleh ke pipi Jaein tertutupi oleh aliran air hujan. Ia menggeret tas krem-nya dengan lesu, bibirnya mengeluarkan isakan kecil. Jaein tidak ingin pulang ke rumah sekarang. Ia butuh Jeno di sampingnya.

 

~~~

 

Jongin tidak tau apa yang merasuki sang mantan kekasih, namun disinilah ia terduduk sekarang. Cafe es krim keluarga dengan pemandangan hujan yang dapat dilihat lewat jendela besar. Secangkir mocca latte panas tak bisa menghangatkan telapak tangannya yang sedingin es balok. Jongin hanya takut setelah sekian lama tidak bertemu dengan Josephine, mantan kekasih yang terus membayangi pikirannya selama ini.

 

“Jadi bagaimana?”

Jongin mengangkat dagunya, menatap Josephine yang berbalik menatap sendu. Ia menyiratkan banyak tanda tanya di tiap lekukan wajahnya.

 

“Bagaimana?” ulang Jongin.

 

“Eung, aku… ingin kembali seperti dulu,”

 

“Maksudmu?”

 

“Aku ingin kita saling mencintai lagi seperti dulu,” tegas wanita itu. Alisnya yang bertautan menandakan bahwa ia tidak menerima penolakan.

 

Jongin terdiam. Bukankah ini kesempatan yang begitu besar baginya? Kesempatan yang hanya datang seumur hidup sekali? Kesempatan akan sang mantan yang masih dicintainya meminta berbalikan kembali. Pria berkulit gelap itu menggeleng pelan. Ia tidak bodoh, ia tak mau jatuh ke lubang yang sama untuk ke dua kalinya.

 

“Menolakku?” tebak Josephine. Bibirnya bergetar.

 

Jongin menaikkan bahunya, tidak tau harus menjawab apa.

 

“Karena siapa?” Josephine tetap menuntut Jongin untuk menjawab pertanyaannya, dan sekali lagi pria yang ditanyai itu hanya terdiam. “Jongin! Jawab aku!” suaranya berubah meninggi.

 

“Sudah kubilang aku tidak tau!” Jongin balas berteriak.

 

“Apa karena adikmu?” wanita ini bangkit dan menunjuk-nunjuk dada pria dihadapannya. “Jawablah!! Apa karena Kim Jaein?!”

 

“Aku tidak–”

 

Perkataannya terhenti, pria ini melemas, teringat sesuatu saat Josephine menyebut nama sang adik. Ia mengutuk diri sendiri dalam hati. Ia ingat bagaimana ia berjanji pada adiknya tepat satu hari yang lalu. Mengingat wajah senang Jaein malah membuat Jongin semakin kesal dengan perbuatannya.

 




“Hari Sabtu sepulang sekolah pukul dua, ya, Jaein? Oppa jemput di taman,”

 

“Baiklah! Oppa janji?”

 

“Janji!”


 

Shit!!” umpat Jongin tiba-tiba. Ia tidak bisa memaafkan dirinya mengapa bisa sebodoh ini. Di luar sana hujan dan sudah pasti si adik setia menunggu di taman dengan tubuh menggigil. Telapak tangannya memukul keras meja cafe, dan setelah itu ia berlari keluar. Tak peduli dengan Josephine yang meneriakinya.

“Hei, Jongin! Kita belum selesai bicara― Jongin!!!”

 

~~~

 

…kacau.

 

Taman, sekolah, rumah teman, tempat les, Jongin mencari Jaein yang entah menghilang kemana. Air mata penyesalan berkilat melapisi bola mata indah itu. Tidak, jangan bilang Jaein kabur karena marah padanya. Apalagi, saat informasi tentang sahabat Jaein, atau bisa dikatakan adik kandung Josephine― Jeno, dari teman kantor Josephine yang dilihatnya bersama di taman. Jongin berpikir buruk, bayangan akan Jeno yang menceritakan hubungannya dengan Josephine pada Jaein. Bangkai yang dikubur dalam-dalam sedemikian rupa akhirnya tercium bau busuknya juga. Jaein mengetaui apa saja tentang hubungannya dulu. Bad.

 

Jongin membanting setir. Membelokkan mobil ke arah rumah besar tempat tinggalnya, satu-satunya harapan akan keberadaan Jaein adalah disini. Jongin tidak mau jika ia menemukan rumah kosong melompong tanpa Jaein di dalamnya. Yang ia mau adalah bertemu dengan Jaein dengan piyama motif Pororo-nya sekarang juga.

 

BRAK!!

 

“Jaein! Kim Jaein!!!”

 

Bantingan dan teriakan semuanya sia-sia. Jongin menjatuhkan diri saat menemukan rumah gelap tidak berpenghuni. Air mata meleleh di kedua belah pipinya. Mendadak dadanya terasa sakit. Bukan. Bukan rasa sakit seperti ketika melihat Josephine dengan orang lain… bukan. Ini ratusan kali lipatnya.

 

“Jaein… oppa kakak yang buruk ya?!”

Isakan pria itu menggema ke seluruh ruangan rumah yang kosong.

“Asal kau tau Jaein-ah, oppa mencintaimu lebih dari oppa mencintai Josephine noona!” teriak Jongin.

 

Seperti tadi, teriakannya dibalas oleh keheningan. Isakannya semakin menjadi.

 

“Aku… aku… malah mencintaimu bukan seperti adik… tapi―”

 

Jongin tersadar dan segera menutup bibirnya. Apa yang ia katakan? Ia sama sekali tidak tau bahwa orang yang dicintainya adalah Kim Jaein, bukan Yoon Josephine. Malam ini tidak ada Jaein dan ia merasakan kesepian yang sebenarnya.

 

Bahkan, rasanya Jongin mencintai Jaein lebih dari seorang adik.

 

Gila? Mungkin.

 

~~~

 

Jaein merapatkan mantel tebal yang Jeno pinjamkan kepadanya. Seragam hem putih dan kaus kaki yang basah teronggok di sebelah. Pukul tujuh malam, hujan sudah reda dan sesuai pemikirannya, Jaein tidak mau pulang ke rumah. Jadilah ia disini– melihat jembatan Gwangan yang gemerlap bersama Jeno. Hatinya masih sesak saat bayangan tentang Josephine dan Jongin terlintas di benaknya.

 

“Jaein… i’m sorry,”

 

Gadis kecil itu menoleh pada teman dekatnya yang menunduk. Ia mengerutkan dahi bingung. “Sorry for what?” tanyanya.

 

“Seharusnya aku tidak cerita tentang Josephine noona… kau menjadi kacau,” ucap Jeno parau. Nada suaranya terdengar menyesal.

 

Jaein tersenyum lembut. Ia menarik bahu Jeno untuk mendekat kepadanya, menidurkan kepalanya di bahu mungil Jaein, sambil menyisir rambut si lelaki kecil ini pelan-pelan. Jaein ingat benar bagaimana ia menghibur sang kakak jika sedang menyesal, ia akan melakukan ‘ini’ dan Jaein mencoba melakukannya pada Jeno, berusaha membuatnya tenang.

 

“Aku malah senang… kalau misalnya kau terbuka di depanku,” ungkap Jaein.

 

“Benarkah?”

 

Yeah,”

 

Keheningan mulai melingkupi keduanya. Jaein masih terpikir sang kakak. Apa yang dilakukannya sekarang? Dimana? Dan dengan siapa? Hatinya mengatakan bahwa malam ini Jongin sedang makan malam bersama Josephine― pasta, beef, dan anggur di restoran Italia yang mewah.

 

“Jaein-ah… apa kau memikirkan kakakmu?” tanya Jeno. “Ia pasti sedang menangis sekarang,”

 

“Eh? Menangisi apa?” Jaein mengabaikan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya.

 

“Menangisimu,”

 

Jaein menunduk. Ini buruk, dengan kepala yang tertunduk butiran air mata akan lebih mudah mengalir di kedua pipi merahnya. “Eh, itu… tidak kok, mungkin sekarang Jongin oppa sedang makan bersama Josephine eonni,”

 

“Kok kau bisa tau?”

“Tadi kau bilang Josephine eonni jadi asisten manajer Joojiral Company,” Jaein menggigit bibirnya, menahan isakan yang akan keluar. Rambut panjangnya menjuntai menutupi wajahnya yang pasti buruk sekali.

 

“Lalu apa hubungannya?” lelaki kecil disampingnya ini masih kebingungan.

 

“Jongin oppa itu… manajer Joojiral Company,” satu butir air mata berhasil lolos, “pasti mereka terus bersama mulai tadi pagi, kenyataan akan mereka yang berbalikan itu sangat besar. Mungkin malam ini mereka sedang berkencan. Aku tidak boleh mengganggu. Lagipula… aku tidak memikirkan kakakku, kok. Hiks,” Jaein mengangkat dagunya, menatap kembali pada jembatan

Gwangan. Ia tersenyum begitu pahit.

 

Jeno tersadar bahwa gadis di sampingnya sedang menangis, ia menegakkan kepala yang bersandar di bahu sang sahabat. Ditepuknya punggung Jaein dan menggenggam telapak tangannya agar tenang. “Jangan menangis!” hanya itulah satu-satunya kata yang dapat diucapkannya saat ini. Ibu jari yang kurus itu berusaha menghapus satu demi satu butiran air mata di pipi Jaein.

 

“Aku… aku menyesal mencintai Jongin oppa,” isak Jaein, dicengkeramnya bahu Jeno dengan kuat. “Disini sudah ada aku, tapi kenapa ia memilih yang lain? Bahkan, ia malah mencintai seseorang yang tidak punya simpati lagi terhadapnya,”

 

“Tidak, Jaein. Mencintai orang terkasih bukanlah suatu penyesalan. Kau hanya harus… menunggu. Menunggu orang itu mencintaimu lebih dari kau mencintainya,”

 

“S-siapa bilang…” Jaein menengadahkan wajahnya yang merah, menatap wajah lembut Jeno. “Tiga tahun lamanya aku menunggu, setia menjadi tempat sandarannya ketika ia menangis. Tapi ia tidak pernah menyayangiku lagi sejak hari itu!” jeritnya pilu.

 

Jeno menghela napas. “Coba pikirkan dulu Jaein-ah. Selama ini, siapa yang menemanimu di saat genting dan di saat senang?”

Jaein terdiam, ia menggeleng pelan.

 

“Siapa yang menghapus air matamu di kala sedih dan menjaga senyummu di saat bahagia?”

 

Sekali lagi, Jaein tetap terdiam.

 

“Itu kakakmu. Jongin oppa-mu yang kau sayangi, Jaein-ah,”

 

Tangis Jaein sedikit mereda, ia menatap Jeno ragu, mencoba mencerna semua perkataan yang dilontarkan sang sahabat. Perlahan segaris senyum tipis mulai menghiasi wajah mungil Jaein.

 

“Benarkah??” wajahnya terlihat kelewat senang.

 

“Tentu,”

 

Mereka saling pandang dan melempar senyum satu sama lain, sebelum berjalan ke arah bus stop untuk kembali pulang ke rumah. Kalimat-kalimat Jeno berhasil membuat hati Jaein menghangat. Mereka tetap terdiam dalam perjalanan pulang. Jeno membiarkan sahabatnya untuk tenggelam dalam pikirannya sendiri.

 

~~~

 

Tangan Jongin masih bergetar saat menggenggam gagang telepon rumah yang berada di dekat dapur. Pukul setengah sembilan dan adiknya tak kunjung pulang juga. Air mata tak henti-hentinya mengalir di pipi tirus itu, membuat basah wajahnya seperti hujan yang juga mengguyur Seoul lagi barusan.

 

“Jaein-ah, k―”

 

BRAAAAKKKK!!

 

Jantung Jongin hampir keluar lewat mulutnya ketika pintu terbanting dengan sangat keras. Hawa dingin dari hujan deras ikut masuk ke dalam rumah seiring dengan seseorang dengan tubuh basah melangkahkan kakinya ke dalam juga. Jongin membulatkan matanya. Gadis itu… gadis kecil miliknya itu tealh kembali.

 

“JONGIN OPPAAAAAA!!”

 

“JAEIN-AAAAAAHHH!!”

 

“Huaaaaaaaa!!!”

 

Keduanya saling menghambur dalam satu pelukan. Mereka menangis dengan keras― seperti anak kecil yang kehilangan mainannya secara bersama-sama. Jongin memeluk kuat-kuat pinggang adiknya yang juga mencengkeram kuat bahu kakaknya. Mereka tidak ingin saling kehilangan lagi.

 

“Jaein kemana saja?? Oppa hampir kehilangan akal sehat karena kau tak kunjung pulang..” isak Jongin di bahu adiknya.

 

“Jeno cerita semua padaku… aku pikir bahwa itu peluang besar bagi oppa dan Josephine eonni untuk berbalikan lagi,” Jaein balas menangis tergugu.

 

“Kau ngomong apa, bodoh?! Oppa hanya sayang padamu!”

 

“Yah aku kan tidak tau! Hiks hiks, dan jangan panggil aku bodoh, dasar bokong monyet!”

 

Jongin melepaskan pelukannya, ia menangkup wajah mungil adiknya yang basah akan air mata dengan kedua telapak tangannya. Di saat seperti ini mereka masih saja terus berseteru. Namun, perlahan senyum Jaein merekah diikuti ujung bibir kakaknya yang juga terangkat. Mereka saling menatap, manis sekali.

 

“Aku sayang Jongin oppa…” lirih Jaein pelan.

 

Oppa sayang sama Jaein…”

 

Untuk pertama kalinya, bibir Jongin serasa disentuh marshmallow ketika sang adik mengecup singkat bibirnya. Namun Jongin tidak suka yang terlalu singkat seperti itu, ia memperpanjang ciumannya dengan mendorong tengkuk adiknya lebih dekat. Ia memiringkan kepalanya, mencium Jaein lebih dalam lagi. Mereka saling tersenyum saat bibir mereka bertautan satu sama lain. Satu menit lamanya dan Jaein melepaskan ciuman mereka― tidak terbiasa dengan apa yang dilakukannya dan kakaknya memakluminya. Jongin menjilat kedua belah bibir miliknya. Rasa cherry.

 

Oppa, aku diajari Jeno sebuah kata,” ucap Jaein.

 

“Apa itu?”

 

“Ini bukan sembarang kata, hanya bisa diucapkan pada orang yang disayanginya,”

 

“Beritau padaku,”

 

Jaein mendekatkan bibir mungilnya ke telinga sang kakak, membisikkan tiga patah kata dengan pelan. Jongin yang mendengarnya tersenyum lebar, hatinya meledak-ledak.

 

“……. I love you too, Jaein,” balas Jongin.

 

Jaein tersenyum begitu lega, sekali lagi ia memeluk kakaknya dan malam ini mereka saling berbagi tawa. Sekarang ia tidak lagi menyesal mencintai sang kakak.

 




#fin

 

I  N E E D  Y O U R  R C L !

3 pemikiran pada “데모스

Tinggalkan komentar