The Rest Love Pieces 나머지 사랑 조각들 —Slice #2 [ 끝내다 — END ]

trlp

The Rest Love Pieces

나머지 사랑 조각들

Slice #2 [ 끝내다 — END ]

©2017 HyeKim’s Fanfiction Story

Starring With : ex-EXO’s Luhan as Luhan || OC`s Hyerim as Kim Hyerim

Genre : Romance, Drama, AU, slight!Medical ||  Length : Twoshot  || Rating : Teenagers

Poster by : NJXAEM @ Poster Channel (thankchu mih)

´Luhan merupakan dokter yang mengirim diri ke negara konflik sebagai relawan. Satu hal yang pasti, dirinya hanya ingin menemui Hyerim, istrinya yang pergi meninggalkannya setelah sebuah keributan di rumah tangga keduanya. Memangnya alasan apa lagi dirinya pergi ke daerah di mana dirinya bisa menyabung nyawa bila tidak masih mempunyai kepingan cinta untuk Hyerim?´

Disclaimer :  This is a work of fiction. Any similarity of plot, character, location are just accidentally. This contain is not meaning for aggravate one of character/organization. All cast belong to God, their parents, and their agency. But the storyline is mine. Plagiarism, copy-paste without permission, and be a silent readers  are prohibited. Leave this story if you don’t like it.


“Tidakah kamu lihat masih adanya sisa keping cinta diantara kita?


HAPPY READING

║█║✿║█║✿║█║✿║█║ ✿║█║ 

Partikel air langit mengguyur deras Seoul sore ini. Bunyi bell suatu kediaman menggema, menarik atensi lelaki yang tengah merebahkan diri di sofa ruang keluarga dengan televisi menemani. Diterkanya, mungkin Sang Istri lah yang baru saja pulang. Namun, dipikir lagi, Hyerim—istrinya—, mempunyai duplikat kunci jadi tak mungkin menekan bell tatkala berlabuh di rumah.

Maka dari itu, Luhan terpaksa menarik diri dari rebahan nyamannya. Menyeret langkah ke arah pintu dengan muka bantalnya—well, Luhan nyaris terlelap jikalau bell rumah tak menyentil kupingnya.

KLEK!

Sah lah pembatas rumahnya dengan dunia luar, dibuka oleh Luhan. Retinanya lekas disajikan sosok menggigil gadis ringkih yang memeluk diri—tak luput jua fakta badan si gadis basah kuyup—.

Sontak obsidian Luhan melebar. “Ahn Hyejin?” Imbuhan itu lolos dari mulut Luhan, masih pula dirinya diserang kaget. “Kenapa kamu di sini?”

Berusaha Luhan menata kata, meski tak paham kenapa salah satu rekannya—Ahn Hyejin, yang merupakan suster di Rumah Sakit Hanmyung, datang ke rumahnya dalam keadaan basah kuyup.

“Aku menunggumu,” getar aksara Hyejin dengan getaran di tubuhnya. Netra Luhan kian melebar mendengarnya, “ku menunggumu di Sungai Han, Lu. Kamu tahu sendiri, ‘kan perasaanku padamu dan kamu juga tahu juga maksudku mengajakmu pergi bersama, menonton berdua di bioskop, makan malam romantis di Namsan Tower. Aku kira kamu juga merasakan hal yang sama, maka aku memintamu datang ke Sungai Han bila kamu merasakan—”

“—Kamu tahu aku sudah punya istri, ‘kan?” penggal Luhan penuh penekanan pada sajakan Hyejin, dituruti juga netra kelamnya menusuk figur sang gadis.

Tentu saja si gadis Ahn ini bungkam. Ingin memecah tangis apalagi diafragmanya sudah naik turun terbelenggu sesak, tapi kembali benaknya membersitkan; dirinya hanya seorang penggoda lelaki yang jelas sudah terikat janji suci dengan orang lain.

Hyejin tahu bahwa Luhan sudah punya Hyerim, tapi dengan tidak malunya Hyejin mendekati pria Lu ini. Melihat respons Luhan yang tak keberatan menerima ajakannya, apalagi sikap dingin Luhan yang bahkan ditunjukkannya pada Kim Hyerim. Asa Hyejin jadi terjalin, dia kira bisa menembus hati Luhan dan berprasangka pria tersebut tidak sungguh-sungguh mencintai istrinya.

“Aku memang bersikap seakan tak acuh pada Hyerim. Tapi dia sendiri pun tahu bahwa aku mencintainya.” Lafal Luhan dengan hunusan dinginnya pada Hyejin yang kala ini bibirnya bergetar. “Jadi, kumohon, Hyejin-ssi. Berhenti menggodaku dan sekarang lebih baik kamu pulang—”

“—Uhuk!” 

Batukan Hyejin memotong kata-kata Luhan yang belum mencapai klimaks. Gadis marga Ahn ini melolongkan batuk demi batuk lagi, sepertinya efek berhujan-hujanan untuk waktu yang lama, tengah menerjang gadis ini.

Helaan napas Luhan terjadi dengan dwimanik terpejam. Meski berat hati memikulnya, silabel, “Masuklah dulu. Keringkan badanmu, gunakan saja kamar mandi di kamarku dan Hyerim, lalu pinjam satu baju Hyerim. Setelah itu, kamu baru bisa pulang.” Demikian lolos otomatis dari mulutnya.

Ajakan Luhan tentu tak disambut penolakan, apalagi hujan kian mengguyur bumi. Maka Hyejin menggunakan kamar mandi yang ada di kamar Luhan serta Hyerim. Sedang Luhan yang kebetulan ingin mandi juga, menggunakan kamar mandi lain di luar kamarnya.

Perkara timing nyatanya memang kerap kali menarik diri kepada kecelakaan. Tatkala Luhan dengan handuk melilit di sekeliling pinggang serta mengekspos tubuh bagian atasnya, tengah membongkar lemari guna mencari pakaian tidur. Hyejin juga keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi merangkum tubuh rampingnya, netra Hyejin melebar kaget saat melihat Luhan yang masih sibuk membongkar lemari dengan tubuh telanjang dada.

Tak puas sampai situ, kenop pintu kamar berputar diiringi figur wanita lain muncul di daun pintu. “Luhan, aku pu—” Hyerim, yang baru saja muncul di daun pintu, membungkam mulutnya saat irisnya melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.

Kedua insan yang bernaung di dalam kamarnya ini, hanya menatapnya dengan cetak kaget di paras. Dijajah oleh pikiran kosong, perlahan Hyerim mengalihkan sorot pandang ke arah lain. Terlihat baju basah Hyejin tergeletak di lantai kamarnya secara sembarang, lalu entah mengapa kasur kamarnya sedikit acak-acakan—padahal memang tadi sempat Luhan terlelap di siang hari dan lupa membenahinya—, ditambah Luhan yang telanjang dada dan hanya dililit handuk di pinggang, serta Hyejin yang hanya dilapisi jubah mandi.

Likuid hendak meluncur bebas di pipi Kim Hyerim, tanpa dikomando pun, netranya telah berkaca-kaca disertai sesak membelengungi.

Hyerim tahu bahwa Luhan kerap kali menghabiskan waktu bersama dengan Ahn Hyejin. Tetapi ia tidak menyangka bahwa suaminya akan sebrengsek ini, padahal Hyerim selalu memupuk kepercayaan pada Luhan, yang mana kepercayaan tersebut baru saja pecah belah kala ini.

Jalang. Brengsek. Berani-beraninya keduanya memakai kamar ini—kamar yang notabene berkepemilikan dirinya dan Luhan—, untuk melakukan hal kotor seperti itu. Hal tersebut lah yang terbesit di pikiran Hyerim, tubuh wanita garis Kim ini pun perlahan berputar dengan tetesan kristal mulai menganak sungai sambil pula tangan kanannya membekap mulutnya—menahan isakan terlolongkan dengan nada miris menyayat hati—.

Luhan yang sedari tadi beraksi patung, baru mengerjapkan mata saat punggung Hyerim perlahan menjauh dari jangkau pandangnya.

“Hye—Hye—rim .…” Sendat Luhan dalam perkataannya yang hanya angin lalu ketika punggung Hyerim kian mengecil.

Dan bodohnya seorang Luhan, dia bukannya menyeret diri mengejar Hyerim; menariknya ke sebuah rengkuhan, melafal lembut bahwa semuanya salah paham. Ya, Luhan hanya bergeming dengan pikiran kusut. Gengsi serta egonya kepalang membentur langit. Ahn Hyejin? Dia juga hanya kaku di tempat sembari menggigit bibir bawah dihampiri rasa bingung.

║█║✿║█║✿║█║✿║█║ ✿║█║

Lamunan panjang dengan topangan dagunya tengah menimpa pria bernamakan Luhan tersebut. Masih rinci terekam dalam benak, kala malam tadi sebuah tamparan keras melukiskan kemerah-merahan tertorehkan ke pipi kanannya oleh Hyerim. Ya, wanita bernama lengkap Kim Hyerim itu menamparnya saat keduanya selesai berciuman. Pikiran Luhan hilir mudik tak menentu, apa salah dirinya mencium istrinya sendiri? Tanpa sadar, Luhan sudah memegang pipinya yang ditampar Hyerim, seraya napasnya terhela.

DUK!

“Aw!” Adalah rintihan Luhan dengan tangan mengusap belakang kepalanya yang menjadi sasaran tempeleng Xuan Yi—yang datang-datang dengan muka, pun sorot  intimidasi dan malahan mengibarkan bendera perang—.

Sebuah ketajaman berasal dari iris Luhan, dihunuskan pada Xuan Yi yang sedang berkacak pinggang di hadapannya yang terduduk di sebuah tangga nan berposisi di depan sebuah bangunan klasik.

“Apa-apaan kamu main menempelengku?” Hardikan Luhan menggelegar, elusan di belakang kepalanya masih terlaksana dengan tampang mengerut serta bibir mencebik.

Xuan Yi menyetir tubuhnya menunduk serta condong pada Luhan, setia melekatkan juga manik tajamnya tertoreh pada Luhan, mau tak mau membuat Luhan penasaran kenapa gadis Wu ini mesti menatapnya tajam penuh intimidasi. Hei, memangnya Luhan berbuat salah apa?

“Dasar lelaki brengsek tak tahu malu.” Desisan Xuan Yi menggema tepat di depan parasnya. Refleks Luhan membulatkan mata, kaget bercampur tak paham. “Bisa-bisanya tebal muka menemui istrimu padahal sudah selingkuh.” Xuan Yi berkesinambung bersajak, kala ini decakan dengan gelengan tak percayanya terlakoni.

Luhan lekas membuang napasnya cukup berat, paham akan rekannya yang sepertinya tahu perihal dirinya yang selingkuh—tidak, Luhan sama sekali tidak selingkuh di belakang Hyerim. Disarangkan oleh Luhan sebuah tatapan lurus-lurus pada Xuan Yi yang kini memangku tangan depan dada dengan tubuh tegapnya.

“Dengar,” imbuh Luhan penuh penekanan, pun terpampang pula paras seriusnya. Segera Wu Xuan Yi menumbukkan tatapan dalamnya pada Luhan, senantiasa dirinya menjadi pendengar. “Aku tidak pernah selingkuh, Xuan Yi. Hyerim salah paham padaku. O, ayolah, mana mungkin aku selingkuh darinya saat aku sudah ditolak tiga kali ketika kuliah dulu? Hei! Aku yang mengejar-ngejarnya karena dia bilang tak suka lelaki dingin sepertiku.”

Rengut raut Luhan tersapu menjadi memelas. Sedang Xuan Yi diserang kebungkamannya, menilik Luhan yang tak membinarkan dusta sama sekali. Merasa ayat kata Luhan seribu persen realita, Xuan Yi memasukkan dalam-dalam pasokan oksigen ke diafragmanya.

“Baiklah, aku percaya padamu,” ujar si gadis Wu, kemudian, “lalu kenapa Hyerim bisa salah paham bahwa kamu selingkuh? Walau, well, aku percaya padamu. Tetapi, Hyerim bilang dia kehilangan kepercayaan padamu padahal dia selalu mengerti dirimu.”

Xuan Yi menuntut penjelasan, dalam hati ia sudah senantiasa akan mengulurkan bantuan pada Luhan jikalau perselingkuhan Luhan hanyalah salah paham dari pihak Hyerim. Akan tetapi, di sisi hati lain, terbesit rasa penasaran belakalah pertanyaannya nan menuntut beberan lebih rinci.

“Ceritanya panjang. Hanya dia tak sengaja melihat gadis yang disangka selingkuhanku, di kamar kami berdua, dan gadis tersebut hanya mengenakan jubah mandi. Sementara aku pun hanya mengenakan handuk di pinggang. Hari itu, gadis yang menyukaiku datang ke rumah dengan basah kuyup. Karena iba, aku izinkan dia mandi serta meminjam baju Hyerim sekalian. Aku yang baru beres mandi di kamar mandi lain pun, tengah mencari baju di kamar saat bersamaan gadis yang menyukaiku baru selesai mandi. Tapi sayangnya, Hyerim datang kala itu, timingnya sungguh tidak tepat sehingga terjadi salah paham.” Luhan membeberkan panjang lebar dengan satu tarikan napas, tanpa mempause sama sekali.

Berperan sebagai pendengar, Xuan Yi mengerjapkan dwimaniknya sebelum akhirnya membuka lebar mulutnya. 

“Lalu? Kenapa kamu tidak menjelaskannya saja? Kenapa kamu biarkan Hyerim pergi ke sini? Kamu bodoh, Luhan!” 

Jelas Xuan Yi menghardik, tak habis pikir akan kebodohan yang menjerat Luhan. Rasanya sia-sia saja lelaki ini menyandang sarjana kedokteran jikalau mempunyai kapasitas otak nan bodoh kala menghadapi masalah seperti ini.

Tatapan Luhan menerawang disertai kepala menunduk. Jemarinya saling terpaut dan meremas keras satu sama lain, kemudian matanya terpejam kuat-kuat. 

“Aku tahu, Xuan, aku tahu aku bodoh. Aku hanya diam dan pergi ke Beijing saat gadis yang menyukaiku masih mengejarku, bahkan meski lari, aku tidak menyetujui perceraian bahkan menghubungi Hyerim sama sekali.”

Sejenak, frasa Luhan terhenti. Hela napas beratnya mengambang, perlahan kepalanya terangkat, menusuk pandang dalam pada Xuan Yi dengan binar kornea pedihnya. 

“Ego dan gengsiku tinggi. Aku menyesal, Xuan, maka aku ada di sini. Aku di sini karena merindu terlalu lama, karena membendung sesal yang kian menumpuk.”

Menyensor kelelahan rinci terangkum di kornea juga paras Luhan, Xuan Yi menarik kurva menguntas senyum tipis. Walau tahu sedikit lancang, Wu Xuan Yi melempar diri untuk memeluk Luhan dan menyarangkan tepukan di punggung—bentuk semangat dalam bisu—. Luhan sendiri, entah mengapa, tanpa komando, likuid hangat meluncur refleks membasahi pipinya. Air mata pertanda lelah serta sesal yang telah lama terbendung dalam dirinya.  

║█║✿║█║✿║█║✿║█║ ✿║█║

“Adeline!” Namanya mengambang di udara, disajakkan dengan nada agak tinggi oleh bass seorang pemuda.

Langsung jua Adeline—yang bisa disebut pula Hyerim—, membanting arah kepalanya ke oknum yang memanggilnya. Johnny Walker, pemuda berdarah Inggris itulah yang memanggilnya dan tengah merajut langkah mendekatinya seraya menyungging senyum manis. Hyerim secara refleks menguntas senyum yang tak kalah manisnya.

“O, hai! Johnny!” sapa Hyerim, ala kadarnya melambai singkat dari posisi duduknya di atas velbed.

Spasi antaranya dan Johnny, sudah tersisa beberapa jengkal saja. Pemuda Inggris ini dengan tak sopan menarik pipi kanan Hyerim. “Bagaimana keadaanmu huh? Sudah membaik belum? Kamu tahu, tenaga medis di MSF sedikit berkurang karena kamu terluka dan aku jadi makin repot, tahu.”

Sembari menumbukkan tatap jengkel pada Johnny sebab pipinya yang ditarik menghantarkan rasa sakit, Hyerim buka suara, “Hei! Jauhkan tangan kotormu dari pipi halusku!”

Di timing yang bertepatan, Luhan menampakkan diri di pintu masuk tenda yang menaungi Hyerim serta Johnny. Tak sengaja menangkap interaksi keduanya, Luhan bergeming, matanya tertancap dalam pada Hyerim serta Johnny yang tampak akrab dipandangannya. Api cemburu lekas menghampiri hati Luhan, tanpa sadar menciptakan kepalan di kedua tangannya dengan rahang mengatup.

Menyeret tungkai lebar-lebar, Luhan menampik keras tangan Johnny yang berada di pipi Hyerim. Kedatangan Luhan, pun aksinya membuat Hyerim maupun Johnny diterjang kaget dengan membulatkan mata. Di sisi Luhan, dia berkacak pinggang dengan menyorot tajam Johnny yang tengah menatapnya terkaget-kaget. Hyerim sendiri mendengus super keras saat kagetnya tersapu jauh.

Don’t dare you touch, Hyerim! She is mine, dude! (jangan berani-beraninya kamu menyentuh, Hyerim! Dia milikku, kawan)” Aksara Luhan dijejali penekanan keras di dalamnya.

Tentu saja reaksi Johnny adalah cengo, tak luput pula muka tolol dengan mulut terbuka lebar. Johnny sadar betul bahwa Luhan mempunyai ‘sesuatu’ dengan Adeline, bahkan pria ini berani memanggil Adeline dengan nama aslinya; Kim Hyerim. Johnny sih santai saja tanpa cemburu membelit, namun Luhan hanya kelewat posesif, sepertinya.

“Emmm … are you Adeline’s boyfriend? (Apa kamu pacarnya Adeline?)” Johnny mengutarakan tanya dengan wajah membingkai rasa penasarannya.

Lidah Luhan sayangnya kalah cepat saat Hyerim sudah menyambar lebih dulu. “Absolutely no! (tentu saja tidak)” Ujung netranya menghunus tajam Luhan dengan bibir terangkat menggambarkan kesinisan.

Yes, she is not my girlfriend but she is my wife. (Ya, dia bukan pacarku tapi dia istriku)” Dengan kalem, Luhan berfrasa sambil menatap Johnny dengan senyum simpul.

Bukan hanya rahang Johnny nan serasa ingin jatuh dari penempatan, rahang Hyerim juga demikian. Tak menyangka Luhan akan blak-blakan mengikrarkan diri sebagai suaminya. Tengkuk Johnny, digaruk olehnya dengan wajah kaget yang setia terpampang.

“O, aku tidak pernah tahu bahwa Adeline sudah menikah.” Johnny terlihat bingung ingin berekspresi layaknya bagaimana dan setia menggaruk tengkuknya. “Emmm … aku pamit dulu, ngomong-ngomong. Ehehe, pekerjaanku banyak di klinik.” Finalnya, Johnny berpamitan dan buru-buru angkat kaki dari situ lantaran atmosfernya jadi sedikit aneh.

Dan atmosfer aneh kian terjalin setelah Johnny angkat kaki. Hyerim yang memasang tameng datar dengan raut jengkel, menatap tajam Luhan yang berlakon santai dengan ranum menyungging senyum hangat.

“Kamu gila,” imbuh Hyerim, akhirnya dengan gertakan di giginya. Luhan malah tersenyum simpul dan memangkas spasi dengannya lebih dekat, pun Luhan menunduk, mensejajarkan diri dengan Hyerim sampai wajah keduanya saling berhadapan. “Setelah menciumku tadi malam, kamu dengan percaya dirinya mengatakan bahwa kamu suamiku? Hei! Luhan, aku tidak sudi menjadi istri dari lelaki penyelingkuh sepertimu!”

Meski hatinya mewajari  ucapan sarkastik Hyerim, namun hatinya juga seakan ditampar keras menciptakan luka memar dalam. Pandang sayu Luhan segera tersaji di depan muka mengolok serta sinis khas Hyerim, dan pandang sayunya lekas melunturkan paras mengolok dan sinis milik Hyerim.

“Sehina itukah diriku dimatamu?” ujar Luhan, sorot netranya membingkai kesedihan mendalam yang memancarkan keterlukaan hatinya. Seketika Hyerim terpaku dengan kelu menyerang bibirnya melihat sisi rapuh Luhan. “Aku tidak pernah selingkuh darimu, Kim Hyerim.” Dengan berani, Luhan meraih kedua tangan Hyerim, memberikan sebuah genggaman erat. Obsidian keduanya kala ini saling sapa dengan dalamnya. “Tidak pernah sedetikpun aku lewati tanpa mencintaimu,” lirih Luhan dengan obsidian bergetar, jelas Hyerim dapati eksistensi kristal bening yang siap meluncur di ujung mata pria China ini.

Hati Kim Hyerim bersuara agar tak terperangkap dengan bodohnya pada Luhan, tapi sisi lain berikrar bahwa pria di hadapannya ini tak berakting sekalipun. Ludahnya terteguk dengan susah payah oleh Hyerim, berusaha menghapus kelu di bibir namun berujung nihil, ia tak sanggup merangkai aksara sama sekali.

Hening nan terjalin, pecah kala Luhan kembali berucap, “Semuanya salah paham, Hyerim. Salah paham,” berusaha Luhan pupukan kepercayaan pada diri Hyerim yang masih mematung, ditusuk dalam-dalam iris wanitanya, “aku tidak pernah tidur dengan Hyejin, tidak pernah pula selingkuh dengannya. Aku memang bodoh saat dengan maunya menerima ajakan-ajakannya yang jelas-jelas mengharapkan sebuah perasaan dariku. Saat itu dia hanya menumpang mandi karena ke rumah kita dengan basah kuyup, lalu aku yang baru beres mandi pun sedang mencari baju. Di waktu itu kamu lah datang serta salah paham.”

Hyerim tambah tak bisa berkata, mulutnya hanya membuka tanpa meloloskan silabel apapun. Sementara Luhan, dia memberikan remasan lembut di tangan Hyerim yang berada dalam kuasa genggamnya, bibirnya pun tersenyum tipis.

“Untuk apa aku ke sini bila tidak masih mempunyai keping cinta untukmu, Kim Hyerim? Aku bisa menyabung nyawa di sini. Ego dan gengsiku, kulunturkan. Karena apa? Karena aku masih mempunyai keping cinta untukmu.”

Luhan sendiri bukan seorang yang cengeng apalagi dia terlahir sebagai seorang lelaki, namun, sekon ini, sebuah kristal bening dengan tak sopannya meluncur bebas di parasnya. Menumpah ruahkan semua rasa yang kepalang membelitnya sangat kuat, perasaan yang Luhan sendiri susah mengurainya.

Lama beraksi patung, akhirnya Hyerim membuang muka tanpa mau menatap Luhan yang menangis—mana hal tersebut nyatanya menyebabkan sebuah getaran terjadi di hatinya—, sebuah gigitan diberikan Hyerim di bawah bibir.

“Pergilah. Aku tidak mau melihatmu lagi.” Dari semua kata, hanya itu yang dilayangkan Hyerim tanpa menatapnya, membuat Luhan kian diserang sesak yang menjamahi hatinya.

Dibelenggu tak rela, Luhan melepas genggaman eratnya pada Hyerim. Air matanya terus-menerus menyusuri pipinya bahkan saat dirinya menggiring diri berdiri dan berbalik pergi. Tanpa Luhan ketahui, Hyerim juga menahan likuidnya sejak tadi, hingga akhirnya saat dirinya pergi, likuid yang berada di pelupuk, terealisasikan untuk lolos di wajah ayunya. Hyerim memejam netra, berusaha meminalisir sesak yang terjerat dalam diri dengan diafragma turun naik tak menentu.

║█║✿║█║✿║█║✿║█║ ✿║█║

Kala esok menyinsing, keadaan Hyerim telah membaik bahkan wanita garis Kim itu sudah berkutat kembali di klinik, menyerong diri ke sana-kemari untuk menyembuhkan pasien. Sedangkan Luhan, dia juga sama tenggelam dalam hilir mudik kesibukan sebagai dokter MSF. Namun, kerap pria China ini mencuri pandang pada Hyerim dengan binar sendu.

“Kita baru mendapat kabar bahwa salah satu pabrik asing diserang. Banyak korban yang berjatuhan terkhususnya para pekerja pabrik. Beberapa dokter MSF harus turun ke lapangan sekarang juga.” Sebuah interupsi menggelegar. “Sekiranya kita butuh sepuluh dokter untuk turun, bagi yang merasa tidak terlalu sibuk, cepat siapkan diri kalian.”

Merasa tak dibelit kesibukan yang serius di klinik, Luhan mendorong diri untuk turun ke pabrik. Tatkala dirinya tengah mematut diri untuk bersiap pergi, pandangannya tak sengaja bertemu dengan Hyerim. Akan tetapi, Hyerim buru-buru memutus kontak matanya dengan Luhan. Keduanya sama-sama mendorong diri untuk turun ke pabrik yang baru diporak-poranda.

Timing yang terbuang tak cukup panjang untuk sampai ke pabrik. Kurang lebih sepuluh menit, sepuluh dokter MSF pun sampai ke pabrik yang dimaksud. Situasi kacau balau menyambut indra ke sepuluh dokter yang baru menginjakkan kaki di pabrik. Beberapa pekerja yang berhasil selamat, tampak terseok menghampiri para dokter. Pertambangan nan semula berpijak kokoh, kini runtuh sebagiannya.

“Ya Tuhan.” Sebuah desahan prihatin lolos dari bibir Wu Xuan Yi yang berdiri di sebelah Luhan—Xuan Yi turut ikut juga untuk membantu korban di pabrik—.

“Cepat! Tidak ada waktu berleha-leha, kerahkan tenaga kalian sekarang juga!” Imbuhan dari Daniel—salah satu dokter MSF—, mengudara, menarik para rekannya bergegas untuk melakukan pertolongan.

Aktivitas menolong para korban pun lekas terlaksana. Para dokter MSF yang datang pun tenggelam dalam kesibukan, meski korban yang ditangani hanya ditorehi luka kecil, mereka tidak boleh menganggapnya sebagai perkara sepele. Di satu sisi, Hyerim tengah menangani pasien yang sekarat dibantu oleh Xuan Yi. CPR dengan menekan dada pasien tengah dilakoni Hyerim berserta kerut pias di rautnya.

“Kurasa pasien mengalami pendarahan internal.” Hyerim menukas diagnosisnya seraya membelokkan kepala menusuk paras Xuan Yi, tatkala detak jantung pasiennya kembali. “Kita harus mengoperasinya sekarang, tapi klinik penuh.” Hyerim pun menghela napas. 

“Kalau begitu, kita harus bagaimana?!” Si gadis Wu terlihat resah dan bingung di keadaan genting begini, nada bicaranya pun panik. 

Lantas Hyerim menumbukkan tatap pada Xuan Yi seraya napasnya terembus kembali. “Tentu saja, mau tidak mau, mengoperasinya di sini,” pungkas Hyerim, membuat Xuanyi menatapnya ragu—tidak kaget karena sudah pasti mereka harus mengoperasi si pasien—. “Pilihan kita adalah membiarkan pasien ini hidup atau mati. Kamu harus terbiasa dengan pemikiran itu di tempat seperti ini.” Hyerim mulai membopong pasiennya. “Aku akan mengoperasinya sekarang. Apa kamu mau ikut membantu?” tanya Hyerim sambil melirik dara China di sampingnya.

Menelan ludah, Xuan Yi mengangguk. “Aku akan membantumu.”

Ikut serta lah Xuan Yi membopong pasien tersebut, sekiranya membantu pikulan Hyerim menjadi lebih ringan. Sehabis menilik singkat, Hyerim mendapati tempat yang memungkinkan menjalani operasi.

Menyerong dagu ke objek yang dituju, Hyerim melafal, “Kita operasi di sana.” Dan Xuan Yi meresponsnya dengan anggukan.

Ketika menyeret langkah ke tempat pilihan Hyerim, keduanya tak sengaja berpapasan dengan Luhan. Tanpa sengaja jua keduanya mendengar titahan sebagian dokter untuk menerobos masuk ke pabrik lantaran sebagian korban masih terjebak di dalamnya.

Airbags telah diisi dan digunakan untuk membuka celah masuk ke pabrik. Sekitar sepuluh pekerja masih terjebak di dalam. Kuharap kalian juga berhati-hati.”

Anggukan patuh mengawali jamahan keempat dokter pada sisi dalam pabrik. Secara perlahan keempatnya memasuki pabrik dengan bantuan airbags yang menciptakan celah masuk. Keempatnya menjamah teliti sisi dalam pabrik dengan penlight menemani sebagai sumber penerangan. Luhan pun menelaah ke sekitar dengan fokus, mencari eksitensi korban yang tengah meregang nyawa di dalam.

“Help! Help! (Tolong! Tolong!)” Getir frasa tersebut menyentil gendang Luhan, ketukan bising dari batu nan bertabrakan dengan besi pun turut mengudara.

Sebisa mungkin indranya Luhan pertajam, tungkainya diayunkan menuju sumber suara. Kian dekat, kian juga jelas Si Korban bervokal dalam pendengarannya. Kelegaan diwakili oleh hembusan napasnya teraksikan, saat Luhan berhasil menemukan korbannya yang terperosok ke dalam sebuah lubang dengan luka lumayan parah. Luhan menyetir tubuh berjongkok, semat senyum menenangkannya terkembang.

“To … long … aku.” Frasa getir menggetarkan hati tersebut, berkumandang kembali dari korban temuan Luhan.

Mencoba menenangkan dengan paras serta senyumnya, Luhan berkata: “Tenang saja, aku akan menolongmu.”

Gerak perlahan menyeimbangi Luhan untuk turun ke dalam lubang yang menaungi pasiennya. Sekali hentakan, dengan aman Luhan mendarat ke dalam lubang. Hati-hati, Luhan menyingkirkan batu besar yang menimpa sang pasien, hingga finalnya batu tersebut tersingkir, memantulkan tubuh terluka dengan berbagai goresan serta darah menghiasi dari pasiennya. Luhan membingkai raut ibanya, tubuhnya berjongkok kembali dengan lengan terulur membantu pasiennya hingga terduduk.

“Uhuk, uhuk.” Sebuah batuk lolos dari pasiennya. Dengan senantiasa, Luhan mengurut pelan punggung sang pasien. “Dokter, kurasa aku tidak bisa berjalan,” ucapnya sambil menatap Luhan dengan iris lemah.

Sebuah tepukan di bahu disarangkan Luhan, tersungging senyum menenangkan dari pria marga Lu ini. “Jangan khawatir. Aku bisa menggendongmu.”

Di masa Luhan menuntun pasiennya untuk naik ke gendongannya. Ketiga dokter lain telah memulangkan beberapa pasien yang masih bertahan, sementara yang lainnya ditemukan dalam keadaan mengenaskan tak tertolong—dalam kata lain, telah memutus napas di dunia ini—.

“Dokter,” panggil pasiennya kepada Daniel sembari menarik lengan dokter berwarga negara Amerika tersebut. Daniel menatapnya dan dihadapi oleh obsidian ketakutan si pasien. “Kita harus cepat keluar dari sini. Para tentara yang menyerang tadi, meletakkan bom peledak di sini. Sepertinya sebentar lagi bom tersebut meledak.”

Sontak pupil Daniel melebar. Cekatan dirinya menarik walkie talkie keluar, dan menginformasikan hal tersebut ke rekannya yang lain. 

Test, test. Bagi para dokter yang memasuki pabrik, secepatnya keluar dikarenakan adanya bom yang sebentar lagi akan meledak di sini. Kuulangi, cepat keluar dari pabrik karena adanya bom! Cepat keluar karena adanya bom!”

Riuh segera menerjang, dokter-dokter yang menjamah sisi dalam pabrik pun berbondong-bondong keluar, termasuk Daniel dengan pasien yang menginfokan hal tersebut. Di sisi lain, Luhan sedang terseok menggendong pasiennya di punggung, tentu dia menerima info akan bom. Namun jarak keluar dari tempatnya masih jauh. Bisa saja Luhan berlari secepat kilat dengan meninggalkan pasiennya, tetapi terbesit rasa tak tega membelit dirinya.

“Dokter, kamu bisa meninggalkanku di sini dan berlari keluar untuk menghindari bom.” Dalam gendongannya, pasiennya berucap, merasa prihatin bila Luhan harus menyabung nyawa hanya karena menggendongnya.

Gendongannya dibetulkan lebih dahulu. “Tidak apa, aku akan membawamu keluar.” Luhan menukas penuh tekad.

Namun, sayangnya, bom peledak yang terpasang telah menunjukkan waktu untuk meledakan diri hingga ….

BYAR!

Suara ledakan dahsyat menggelegar, menyebabkan netra Luhan melebar diikuti jua bangunan pabrik yang belum runtuh total, bergoyang hingga roboh tak berbentuk. Hujan bebatuan dan besi bangunan mulai menyerang Luhan dan pasiennya. Sampai sebuah batu besar melayang menuju keduanya, netra Luhan telah menangkapnya lebih dahulu.

“AWAS!” tukas Luhan dengan bass super tinggi. Kegesitan Luhan teraksi dengan memutar tubuh dan melindungi pasiennya dalam dekapannya, juga memposisikan tubuhnya berjongkok.

DUK! BRUK!

Di timing bersamaan, bangunan pabrik hancur total melukis serpihan mengenaskan bebatuan serta besi yang berceceran di atas bumi. Dokter-dokter MSF yang sekon lalu berjelajah ke dalam pabrik, sedang menetralkan napas serta diri, syok dengan insiden sepersekian detik saat bom meledak.

“Tunggu,” ucap Daniel dengan tubuh berdiri serta menyisir fokus kepada rekan-rekannya yang selamat dari bom peledak di dalam pabrik. Atensi para rekannya tertancap pada cetak cemas muka Daniel yang menjilat bibir atasnya. “Di mana Luhan?”

Keributan terselip kecemasan besar lekas menerjang para dokter MSF, dengan walkie talkie mereka berkomunikasi menanyakan eksistensi Luhan yang mungkin saja sudah berada di luar sebelum mereka semua.

“Luhan, Luhan. Kamu di mana? Jawab! Luhan?”

“Hei, apa ada yang lihat di mana Luhan?”

“Luhan tidak ada di sini. Apa di masih di dalam pabrik?”

“Luhan menghilang! Sepertinya dia terjebak di pabrik yang hancur!”

Bising percakapan rekannya di MSF, menghancurkan fokus Hyerim. Xuan Yi yang sedang memegang walkie talkie dan berperan sebagai pendengar, secara refleks menjatuhkan benda tersebut dari kukungan tangan dengan raut kosong. Hyerim yang telah mencapai titik finish mengoperasi pasiennya yang mengalami hemoperitoneum, melukis mimik kaku, pun pikirannya kosong dengan hati terhantam keras hingga berdenyut nyeri.

PRANG!

Pisau operasi yang dipegang Hyerim, menyapa bumi. Obsidian si dara mengkilapkan kaca-kaca dengan diafragma kembang kempis terbelenggu sesak tak berujung. Sebuah lengan menyentuh bahu Kim Hyerim, saat menoleh, eksistensi Xuan Yi dengan wajah pucat serta senyum tipislah yang menyambut retina Hyerim.

“Tenang saja, mungkin Luhan—“

Enggan mendengar ucapan Xuan Yi, Hyerim membawa dirinya berlari. Persetan akan pasiennya yang semestinya masih harus ia tangani, besit penyesalan tengah timbul dalam diri Hyerim, mendesak air mata untuk keluar hingga finalnya bercucuran di pipi tirusnya. Siluet bayangan Luhan menghantui benaknya. Wajah dinginnya, senyumannya, tatapannya.

“… Hei! Luhan, aku tidak sudi menjadi istri dari lelaki penyelingkuh sepertimu!”

“Sehina itukah diriku dimatamu?”

“Aku tidak pernah tidur dengan Hyejin, tidak pernah pula selingkuh dengannya. Aku memang bodoh saat dengan maunya menerima ajakan-ajakannya yang jelas-jelas mengharapkan sebuah perasaan dariku. Saat itu dia hanya menumpang mandi karena ke rumah kita dengan basah kuyup, lalu aku yang baru beres mandi pun sedang mencari baju. Diwaktu itu kamu lah datang serta salah paham.”

“Pergilah. Aku tidak mau melihatmu lagi.”     

Refleks, konversasinya semalam dengan Luhan, berputar-putar dalam benak Kim Hyerim. Menambah kristal bening di pipinya kian bercucuran dengan derasnya, pun terjerat juga sebuah kesesakan dalam dirinya. Hyerim rasa, dirinya kejam, dirinya selama ini menuntut penjelasan Luhan akan hari di mana Hyejin berada di kamar keduanya, tetapi kala Luhan semalam membeberkan bahwa semuanya salah paham, dirinya malah menampik dengan tak percaya. Dirinya terlalu gengsi untuk mengakui bahwa dia juga masih memiliki keping cinta untuk Luhan.

Pacuan lari Kim Hyerim terhenti ketika dirinya berpijak tepat di hadapan reruntuhan pabrik yang sudah tak ayal menjadi tumpukan bebatuan dan besi-besi tak terurus. Kaki Hyerim bergetar, sampai akhirnya tubuhnya merosot menyapa tanah dengan tangisannya yang pecah.

“LUHAN!” Teriakan Hyerim pecah dengan tangis menyayat hati mendominasi. Beberapa rekannya yang lain telah datang mendekatinya, pun Wu Xuan Yi senantiasa memeluk tubuh ringkihnya. “Luhan … brengsek! Kamu akan pergi dengan begini? Ya! Aku belum memaafkanmu, bajingan.” Di tengah tangisan dan kesedihannya, sempat Hyerim menyelipkan umpatan untuk Luhan.

Pelukan Xuan Yi dieratkan untuk Hyerim, turut juga dirinya meloloskan air mata. “Hyerim… tenang, mungkin saja Luhan selamat—“

“—Aku baru mau memaafkannya, baru mempercayainya, aku baru sadar bahwa aku terlalu kejam dengan tidak mau percaya dan memaafkannya.” Hyerim memotong dengan isakan mendominasi.

Rekannya yang lain hanya menoreh tatapan iba menyaksikan kehilangan wanita garis Kim itu. Di tengah duka yang terjalin, sebuah suara bising diikuti seseorang bersuara dengan lemah, menerobos ke liang dengar Hyerim dan Xuan Yi, pun para dokter MSF yang lain.

Here, here … please, help us. (Di sini, di sini … kumohon, tolong kami)”

TUK!

Sebuah batu lantas terlempar setelah seseorang bersuara demikian. Terpaksa Hyerim menghentikan tangis, melepas diri dari pelukan Xuan Yi yang kini mengernyit, Hyerim menarik diri berdiri serta menyeret tungkai menuju sumber suara. Sampai akhirnya titik suara pun ditemukan Hyerim, sebuah bebatuan besar yang sepertinya menimpa seseorang—atau mungkin lebih?

Help us, please. Someone is dying here. (Tolong kami. Seseorang sedang sekarat di sini)”

Guys!” panggil Hyerim, mengedar kilat ke arah rekannya yang sudah tenggelam bersama para pasiennya. Kembali Hyerim menghunus bebatuan yang merupakan asal muasal suara barusan. “Ada seseorang di bawah sini, ada juga yang sekarat!”

Seruan Hyerim mengundang beberapa dokter mendekati titik tumpu bebatuan besar yang menimpa korban yang masih berada di dalam pabrik kala bom meledak. Hyerim pun membantu rekan-rekannya menyingkirkan bebatuan tersebut, asa Hyerim terjalin bahwa salah satu sosok di bawah bongkahan batu besar tersebut adalah Luhan.

SRAK!

“LUHAN!” Teriakan Hyerim pecah tatkala retinanya dijatuhi sosok tak berdaya Luhan ketika batu besar tadi berhasil disingkirkan, pria itu mengorbankan diri dengan memeluk pasiennya agar tak tertimpa bebatuan.

Luhan masih bernapas meski pendek. Lekas dokter MSF yang lain membantu membawa tubuh tak sadarkan diri Luhan dan tubuh lemah pasien yang diselamatkannya. Melafal syukur dalam hati, kembali Hyerim meneteskan air matanya.

║█║✿║█║✿║█║✿║█║ ✿║█║

Setelah insiden Luhan yang menyabung nyawa di pabrik asing, malam menyapa Baghdad. Dengan setia, Hyerim menemani Luhan yang masih belum jua membuka mata. Beruntungnya, meski tertimpa bebatuan sebesar itu, Luhan hanya mengalami gegar otak ringan dan terluka di bagian kepalanya yang mengeluarkan darah. Setidaknya, Tuhan masih menyayanginya. Perlahan, Hyerim mengelus tangan kanan Luhan, mata sembabnya terjatuh pada sosok Luhan yang diperban di bagian kepala.

Kepala Hyerim terbaring di samping velbed di mana Luhan terbaring. “Lu …,” ucap Hyerim, penuh kegetiran. “Maafkan aku.” Isakan Hyerim mulai mengudara lagi dengan diafragma kembang kempis. “Maaf karena kejam padamu. Sepertinya dengan dirimu begini, menyadarkan diriku bahwa aku … aku … sebenarnya mempercayaimu saat kamu menjelaskan semuanya salah paham. Aku juga telah memaafkanmu. Aku—“

“—Aku juga apa, hm?” Bariton khas Luhan seketika menyalip penuturan Hyerim, yang mana hal tersebut membuat mata Hyerim membola dan buru-buru mengangkat wajah. Lekas dirinya disambut Luhan yang sudah duduk di atas velbednya dengan menyungging senyum simpul. “Sepertinya tidak sia-sia aku terluka bila akhirnya kamu memaafkanku.”

Lengan berkepemilikan Luhan melayang, mengusap lembut paras Hyerim, menghapus jejak likuid di muka wanitanya dengan menyungging senyum manis. “Maafkan aku,” lirih Luhan dengan kepala menunduk, membuat Hyerim mengerjap, menarik diri ke realita serta menghapus jejak kaget saat mendapati Luhan sudah sadar. Luhan mengangkat wajah, menyelami dalam obsidian Hyerim. “Maafkan aku yang dulu dengan bodohnya melepasmu disaat aku sebenarnya ingin menahanmu. Maaf karena membuatmu salah paham begitu lama.”

Hyerim mencetuskan gelengannya, senyum tipisnya terukir, diraihnya tangan Luhan yang berada di pipinya, lalu dirinya menautkan jari-jari miliknya dengan milik Luhan.

“Aku sudah memaafkanmu, Lu,” ucap Hyerim, sebuah senyum turut terselip difinal ucapannya. “Maaf juga aku … yang sepertinya terlalu kejam padamu. Apalagi kemarin malam saat kamu menjelaskan semuanya tapi aku malah—“

Jari telunjuknya diarahkan Luhan ke bibir Hyerim, memaksa wanitanya mengatup mulut dan menatapnya dalam. “Sshhh … aku paham kenapa kamu begitu, Hyerim. Aku lah yang salah di sini. Maafkan aku, hmm?”

Obsidian Luhan memancarkan kelembutan, menghantarkan kehangatan memeluk hati Hyerim, otomatis juga Hyerim menampilkan senyuman manisnya. Dengan yakin, Hyerim mengangguk kemudian mencondongkan tubuh pada Luhan untuk sekedar mengecup kurva ranum prianya singkat.

“Sudah kubilang, aku sudah memaafkanmu,” kata si wanita dengan senyuman manisnya, tak peka telah membuat getaran mini di rongga Luhan saat sebuah kecupan disarangkan olehnya.

Ludah Luhan terteguk masuk, dengan wajah merah, dirinya menghunus dalam Hyerim. “Astaga! Harusnya aku yang menciummu, kenapa malah kamu yang menciumku?” ujar Luhan, menggaruk tengkuknya dengan wajah kepiting rebus.

Tentu saja Hyerim mendapati rona di wajah Luhan. Efek lama tidak diberi kecupan olehnya bahkan ciuman beberapa hari lalu adalah paksaan dari Luhan, pria marga Lu ini jadi bereaksi seperti ini. Kekehan Hyerim jadi lepas mengudara melihat lucunya reaksi Luhan yang buang muka segera karena malu. Telunjuk kanan Hyerim menusuk-nusuk pipi kemerahan Luhan dengan gemas.

“Lama tidak diberi ciuman olehku, heh?” goda Hyerim dengan sungging senyum nan serupa: menggoda suaminya.

Seakan belum puas memberi kecupan di bibir Luhan, Hyerim mengikis spasi lagi hingga sebuah kecupan di pipi merona Luhan diberikan oleh bibir. Spontan Luhan menoleh atensi kembali pada Hyerim dan dihadapkan dengan senyum polos istrinya yang sedang mengacak-acak pelan surainya.

“Ck, kamu ini.” Akhirnya, Luhan hanya mendecak dengan gelengan singkat. Kedikan bahu Hyerim menyambut Luhan setelahnya. “Jadi, kamu akan membatalkan surat cerai kita, ‘kan?” kata Luhan seraya menyelipkan helai rambut Hyerim ke belakang telinga.

Respons Hyerim ialah anggukannya. “Hmmm … tentu saja. Lagipula, kamu tidak pernah menandatanganinya, tinggal kurobek saja.”  

Mau tak mau, senyum lebar Luhan mengembang mendengarnya, diacak-acak lah surai sang istri hingga kerucutan bibir Hyerim terukir. 

“Hei! Kenapa mengacak-acak rambutku segala, sih?” protes Hyerim, kemudian membuat Luhan mencubit bibirnya yang tengah mengerucut. “Luhan ….” Hyerim merengek dengan tubuh goyang-goyang, melepas kekehan Luhan mengambang di udara.

“Ngomong-ngomong,” Luhan berfrasa, seakan mencoba menciptakan atmosfer serius. Hyerim dengan otomatis menatap Luhan dalam dengan muka bertanya, “aku ingin kita pulang ke Korea secepatnya. Kamu ke sini hanya untuk menghindariku dan aku ke sini hanya untuk menyusulmu. Jadi, lebih baik kita pulang saja, ‘kan?”

Bola manik Hyerim tampak berputar dengan gumaman mengikuti, setelahnya barulah dirinya menatap Luhan dan mengangguk. “Tentu, kita bisa pulang. Lusa kita pulang saja, bagaimana?”

Dengan senang hati, Luhan mengiyakan usulan Hyerim. Dicubit lah ujung hidung sang istri. 

“Saat nanti kita di Korea, kita mulai semuanya dari awal. Seperti pengantin baru. Juga, sepertinya ini waktu yang tepat kita memiliki anak.” Luhan menambahi senyum miring, giliran Hyerim yang kala ini merona. Dilayangkan pukulan pelan di lengan Luhan oleh Hyerim yang segera menunduk.

Masih menunduk, Hyerim mulai menguntai aksara dengan intonasi pelan. “Tentu, kita buat satu nanti untuk menemani kita berdua.”

Sekon berikut, keduanya saling menyelami obsidian masing-masing dengan Luhan yang mengangkat dagu Hyerim serta menorehkan ciuman singkat di kurva ranum wanitanya. Keduanya saling mengulum senyum hangat berpancar kebahagiaan.

“Hei, kalian yang sudah berbaikan. Aku tidak paham kalian bicara apa saja tadi menggunakan bahasa Korea. Tapi, kalian tidak berniat meninggalkanku sendiri di sini, bukan?” Vokal khas Xuan Yi menyapa runggu pasangan suami-istri tersebut, menyebabkan Hyerim dan Luhan menoleh serta tertawa pada Xuan Yi yang sejak barusan menguping dan sedang berkacak pinggang.

Dengan sisa keping cinta yang ada, Luhan dan Hyerim pada akhirnya bisa bersama lagi, bukan?

—끝내다/END—

Tadinya mau aku buat karakter Luhan ini mati, tapi ah kok gak sampe hati ya LOL walau endingnya agak aneh, gak apa deh wkwkwk.

See you later!

 

2 pemikiran pada “The Rest Love Pieces 나머지 사랑 조각들 —Slice #2 [ 끝내다 — END ]

Tinggalkan Balasan ke Mueezachann Batalkan balasan